Zakat Perdagangan Dihitung dari Mana?

Bismillah. Ustadz mohon penjelasan zakat tijarah diambil dari modal/harga beli ataukah dari keuntungan/laba yang diperoleh. 08772227xxxx
Memang ada dua pendapat. Pendapat ulama mayoritas/jumhur diambil dari harta yang dimiliki (keuntungan/aset) dari hasil perdagangan. Sebagian ulama lainnya memfatwakan dari harga beli/modal barang yang diperdagangkan. Dalil yang biasa dijadikan pegangannya adalah hadits Samurah ibn Jundub tentang mengeluarkan zakat dari barang yang dipersiapkan untuk dijual. Hadits tersebut matan yang lebih lengkapnya ada dalam riwayat ad-Daraquthni sebagai berikut:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ  قَالَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} مِنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ إِلَى بَنِيهِ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَأْمُرُنَا بِرَقِيقِ الرَّجُلِ أَوِ الْمَرْأَةِ الَّذِينَ هُمْ تِلَادٌ لَهُ وَهُمْ عُمْلَةٌ لَا يُرِيدُ بَيْعَهُمْ, فَكَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ لَا نُخْرِجَ عَنْهُمْ مِنَ الصَّدَقَةِ شَيْئًا وَكَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ مِنَ الرَّقِيقِ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ

Dari Samurah ibn Jundub ra, ia berkata: “Bismil-‘Llahir-Rahmanir-Rahim. Dari Samurah ibn Jundub kepada anak cucunya. Semoga keselamatan tercurah untuk kalian. Amma ba’du, sungguh Rasulullah saw memerintah kita terkait hamba sahaya lelaki atau perempuan yang mereka adalah harta yang dimiliki dan para pekerja yang tidak akan dijual, beliau memerintah kita untuk tidak mengeluarkan zakat sedikit pun dari mereka. Beliau memerintah kita mengeluarkan zakat dari hamba sahaya yang dipersiapkan untuk dijual.” (Sunan ad-Daraquthni bab zakat malit-tijarah no. 2027)
Bisa disimak dengan jelas, hadits ini tidak sedang menjelaskan harta perdagangan yang dizakati adalah harga beli/modal barang yang didagangkan. Hadits ini sebatas menjelaskan harta yang dizakati itu harta yang diperdagangkan, sementara harta yang tidak diperdagangkan tidak perlu dizakati. Hadits ini mengandung ihtimal (ketidakjelasan) untuk dijadikan dalil zakat perdagangan diambil dari harga beli. Kaidah fiqih menyatakan: Ma’al-ihtimal yasquthul-istidlal; selama masih ihtimal (tidak jelas) tidak bisa dijadikan dalil. Maka dari itu kami tidak berhasil menemukan adanya fatwa ulama salaf dan khalaf yang menyatakan bahwa zakat perdagangan diambil dari modal barang dagangan saja tanpa keuntungan. Seandainya hadits di atas bermakna demikian, tentu akan banyak ulama salaf dan khalaf yang juga menjelaskan demikian.
Dalil lain yang biasa dijadikan rujukan adalah atsar ‘Umar ibn al-Khaththab yang menagih zakat perdagangan dari Himas, seorang penjual kulit sebelum ia menjual kulitnya (Musnad as-Syafi’i bab zakatil-‘arudl no. 710). Tetapi tidak disebutkan jelas bahwa ‘Umar hanya mengambil dari modal barang dagangannya saja. Yang disebutkan jelas hanya ‘Umar ra menghitungnya dan kemudian memungut zakatnya. Sangat mungkin ‘Umar menghitung dengan keuntungannya, lalu memungut zakatnya. Imam al-Qazwini penulis Syarah Musnad as-Syafi’i sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘Umar menghitung itu adalah menghitung barang dagangan Himas saat itu apakah sudah wajib zakat atau belum, dan ternyata sudah. Sementara Imam ad-Daraquthni memberikan tarjamah untuk atsar di atas: ta’jilis-shadaqah qablal-haul; mendahulukan zakat sebelum datang haul. Artinya dalam kasus Himas tersebut bisa jadi ia bayar zakatnya didahulukan. Bukan berarti bahwa zakat diambil dari harga beli/modal barang dagangan.
Zakat perdagangan kembali lagi pada ketentuan zakat harta secara umum, yakni bahwa yang dizakati itu adalah harta yang dimiliki, tentunya dalam konteks zakat tijarah adalah dari hasil perdagangan. Maka dari itu dihitung dari nilai barang yang akan dijual, kas keuangan yang dimiliki, dan piutang dari pihak luar, sesudah dipotong utang, sebab utang adalah harta yang tidak dimiliki, melainkan milik orang lain. Jadi jika seorang penjual semen memiliki stok semen 200 sak di tokonya, tetapi statusnya masih utang kepada pihak lain, maka itu belum terkena kewajiban zakat, sebab semen itu belum jadi miliknya. Kalau kemudian terjual semuanya Rp. 10.000.000,- dan ia hanya mendapatkan 20%: Rp. 2.000.000,- sebab yang Rp. 8.000.000,- nya dibayarkan kepada pabrik/agen, maka yang dizakati itu yang Rp. 2.000.000,-. Lain halnya kalau semen yang 200 sak itu sudah ia beli lunas dengan uang miliknya (bukan dari pinjaman), maka itu sudah menjadi hak miliknya. Maka harta yang dimiliki (modal dan keuntungan) dari kegiatan penjualan semen itu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Dalam kasus perdagangan yang rugi, misalkan modal awal yang dimiliki (bukan pinjaman) Rp. 100.000.000,- tetapi sesudah menjalankan usaha perdagangan menyusut menjadi Rp. 50.000.000,-, maka yang dihitung zakatnya itu yang Rp. 50.000.000,- tersebut. Demikian halnya jika perdagangannya untung, misalkan modal awal yang dimiliki Rp. 100.000.000,- lalu berkembang menjadi Rp. 150.000.000,-, maka yang dihitung zakatnya yang Rp. 150.000.000,-.
Kaum muslimin berhak memilih ijtihad ulama yang ada. Akan tetapi hemat kami ijtihad ulama jumhur lebih selamat karena lebih menjamin semua harta yang dimiliki dikeluarkan zakatnya. Wal-‘Llahu a’lam.