Yang Mana Harta Kita?

Nabi ﷺ sering mengingatkan bahwa harta itu bukan yang diperoleh dan dinikmati atau yang disimpan di dunia, tetapi yang didermakan dan ditabungkan di akhirat. Setiap orang dituntut oleh Nabi ﷺ untuk sampai pada perenungan sudah seberapa banyak harta yang dimilikinya. Bukan yang dimiliki di dunia, tetapi yang sudah didermakan untuk kehidupan akhirat. Orang yang kaya itu bukan yang banyak hartanya tetapi banyak dermanya. Orang yang kaya di dunia akan menjadi orang yang sengsara di akhirat, kecuali mereka yang berani menabungkannya untuk akhirat.

Ajakan Nabi saw untuk merenungkan mana harta yang dimiliki banyak tertuang dalam berbagai riwayat, di antaranya:

أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ قَالَ فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih ia cintai daripada hartanya sendiri?” Para shahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun dari kami kecuali hartanya yang lebih ia cintai.” Nabi saw bersabda: “Sungguh hartanya adalah apa yang ia persembahkan (dalam kebaikan), sementara harta ahli warisnya adalah apa yang ia simpan-simpan.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab ma qaddama min malihi fa huwa lahu no. 6442).

Dalam hadits di atas Nabi saw mengajak merenung bahwa harta yang disimpan-simpan itu hakikatnya harta untuk ahli waris, sementara untuk dirinya sendiri tidak ada atau minim. Harta yang akan menjadi milik sendiri dan akan dinikmati dalam kehidupan sebenarnya hanyalah harta yang didermakan, bukan yang disimpan-simpan di dunia.

Maka dari itu dalam kesempatan lain Nabi saw mengingatkan bahwa orang yang paling banyak tabungannya di dunia, kelak di akhirat akan menjadi orang yang paling sengsara, sebab memang ia di dunia pun sebenarnya sudah menjadi orang yang sengsara. Pilihannya yang mementingkan menabung di dunia menunjukkan kesengsaraan hatinya. Orang yang hatinya kaya akan mementingkan berderma daripada menabungkan kekayaannya di dunia.

مَا يَسُرُّنِي أَنَّ عِنْدِي مِثْلَ أُحُدٍ هَذَا ذَهَبًا تَمْضِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ ثُمَّ مَشَى فَقَالَ إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمْ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

“Aku tidak bahagia seandainya aku punya emas banyak sebesar gunung Uhud ini lalu masih tersimpan di rumahku sampai tiga hari meski itu tinggal hanya satu keping dinar, kecuali yang aku sisakan untuk membayar utang, melainkan aku akan bagikan kepada hamba-hamba Allah seperti ini, ini, dan ini—sambil berisyarat ke arah kanan, kiri dan belakang.” Kemudian beliau berjalan lagi dan bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling banyak hartanya (di dunia) adalah orang yang paling sedikit hartanya pada hari kiamat, kecuali mereka yang membagikannya seperti ini, ini, dan ini— sambil berisyarat ke arah kanan, kiri dan belakang. Tetapi sungguh sedikit mereka yang seperti itu.” (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw ma uhibbu anna li mitsla Uhud dzahaban no. 6444).

Jelas sekali Nabi saw menyebutkan dalam hadits di atas bahwa orang yang paling banyak tabungannya di dunia kelak menjadi orang yang paling sengsara di akhirat. Dengan memperbanyak tabungan di dunia berarti banyak amanah harta yang tidak tersalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Dosa gaya hidup seperti ini menjadi penyebab sengsara di akhirat kelak.

Hadits di atas menyiratkan bahwa menabung untuk kebutuhan sehari-hari itu cukup untuk ukuran tiga hari saja. Setelah itu mencari rizki lagi dan terus berusaha mencari rizki guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalaupun ada kebutuhan yang mendesak, maka halal untuk meminjam terlebih dahulu, seperti terbaca dalam sabda Nabi saw di atas yang mengaku akan membuat anggaran khusus untuk membayar utang.

Dikecualikan tentunya bagi orang-orang yang masih harus memenuhi kebutuhan primernya seperti rumah dan perlengkapannya. Nabi saw sebagai orang yang paling dermawan sekalipun tetap memberi rumah kepada sembilan istrinya, meski itu rumah yang sangat sederhana (al-hujurat). Nabi saw selalu memberikan nafkah yang cukup kepada istri-istrinya meski dalam kadar kecukupan minimal. Nabi saw selalu berqurban setiap tahun untuk keluarganya minimal dua kambing. Nabi saw mempunyai pedang dan baju besi untuk keperluan jihad. Nabi saw juga mempunyai unta dan kuda sebagai kendaraan pribadi. Itu semua menunjukkan bahwa kebutuhan primer seperti rumah, alat-alat yang penting untuk menunjang profesi, dan kendaraan halal untuk dimiliki dimana salah satu caranya dengan menabung. Akan tetapi tentunya sebatas kebutuhan primer saja atau dalam kadar sederhana, bukan untuk mencapai taraf kemewahan. Menabung untuk mencapai taraf mewah termasuk yang Nabi saw ancam di atas akan menjadi orang yang paling sengsara di akhirat.
Dalam kesempatan lain, Nabi saw menggugah kesadaran para shahabat bahwa harta yang tersisa itu bukan harta yang dimiliki; harta yang dimiliki itu adalah harta yang didermakan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُمْ ذَبَحُوا شَاةً فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ : مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ: مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا قَالَ: بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا

Dari ‘Aisyah, bahwasanya mereka menyembelih kambing (dan menshadaqahkannya). Nabi saw bertanya: “Apa yang tersisa?” ‘Aisyah menjawab: “Tidak ada yang tersisa kecuali bahunya.” Beliau menimpali: “Semuanya tersisa kecuali bahunya.” (Sunan at-Tirmidzi abwab shifatil-qiyamah war-raqa`iq wal-wara’ no. 2470).

Dalam kesempatan lain Nabi saw menjelaskan bahwa apa yang dipakai dan dimakan semuanya akan habis dan tidak menjadi harta, hanya shadaqah saja yang akan menjadi harta seseorang.

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

Seorang hamba berkata: “Ini adalah hartaku, hartaku.” Padahal harta yang ia miliki itu hanya tiga saja: Apa yang dimakan lalu habis, apa yang dipakai lalu rusak, atau apa yang didermakan lalu menjadi bekal yang cukup. Selebihnya dari itu akan habis dan ditinggalkan untuk orang lain (Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq no. 7611 [hadits Abu Hurairah]. Dalam hadits ‘Abdullah ibnus-Syikhkhir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab yang sama no. 7609 disebutkan bahwa Nabi saw bersabda di atas ketika menjelaskan surat at-Takatsur).
Maka dari itu Nabi saw menegaskan:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Bukanlah kaya itu yang banyak harta, tetapi kaya itu adalah yang kaya hatinya (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-ghina ghinan-nafs no. 6446; Shahih Muslim bab laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradl no. 2467).

Jadi kalau masih ada nafsu dalam diri untuk menambah-nambah harta karena ingin menjadi orang kaya, maka itu salah besar. Semestinya nafsu untuk menjadi orang kaya itu disalurkan pada kegemaran untuk berinfaq dan shadaqah. Semakin besar shadaqahnya maka semakin kaya status sosialnya di mata Allah swt. Jika shadaqah malas atau minim, maka berarti ia orang miskin, karena hatinya miskin untuk berderma di jalan Allah swt.
Dalam kesempatan lain, Nabi saw juga menganjurkan agar setiap orang bernafsu untuk menjadi seperti orang-orang kaya. Bukan orang kaya yang banyak harta, melainkan orang kaya yang banyak berderma.

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ، وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasud kecuali kepada dua orang; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia mengerahkan tenaganya untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan seseorang yang diberi hikmah oleh Allah lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab al-ightibath fil-‘ilm no. 73).

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa yang dimaksud fa sallathahu artinya ia benar-benar mengeluarkan kemampuan maksimalnya. Halakatihi maksudnya sampai habis. Artinya, setiap muslim dianjurkan untuk berminat menjadi orang kaya, tetapi bukan orang kaya yang banyak harta, melainkan orang kaya yang menghabiskan kekayaannya dalam al-haqq.
Wal-‘Llahu a’lam.