Uang Tip Haram

Uang Tip Haram – Korupsi yang sudah sangat mengakar di masyarakat mulai dari level atas sampai bawah, berpangkal pada budaya meminta dan memberi uang tip. Budaya ini menyebabkan setiap orang dituntut untuk selalu memberi atau meminta jatah tip atau komisi di setiap aktivitas yang dilakukannya. Dampaknya kemudian dilakukanlah penggelapan dan pemotongan anggaran, penggelembungan harga (mark up), pungutan liar, suap menyuap, dan penyelewengan wewenang yang merupakan bagian utama dari praktik korupsi. Maka tepat sekali jika ada beberapa lembaga atau perusahan yang menyerukan “no tipping”.
“Tip” arti asalnya “persen”. Maksudnya pemberian uang atau barang di luar aturan yang sudah ditentukan kepada para pekerja. Mereka yang biasa diberi tip adalah pelayan hotel, restoran, tukang parkir, satpam atau polisi. Mereka diberi oleh tamu atas jasanya membantu dalam beberapa pekerjaan tertentu. Disebut “tip” karena memang para pekerja itu sebenarnya sudah mendapatkan gaji tetap dari tempatnya bekerja. Para pemberi tip itu juga sudah membayar tarif atau bayaran sebagaimana sudah ditentukan kepada hotel, restoran, pos parkir, atau kepolisian.
Pada awalnya tip ini diberikan secara sukarela. Tetapi karena sudah menjadi budaya, pemberian uang tip ini menjadi sesuatu yang seakan-akan wajib. Jika tidak diberi, maka tidak ada pelayanan prima yang seharusnya diberikan pekerja kepada konsumen. Dalam hal ini maka penzhaliman terjadi. Di sini berarti ada korupsi atau penyelewengan wewenang dan tugas.
Uang tip atau dikenal juga dengan istilah “uang komisi” kemudian berlaku pada semua aspek pekerjaan. Seorang ASN/PNS yang seharusnya melayani masyarakat sepenuh hati, menjadi hanya siap melayani jika ada uang tipnya, bahkan sampai ditentukan harus sekian persen. Seorang dosen yang seharusnya mengajar dan membimbing penelitian mahasiswanya tanpa pandang bulu, menjadi hanya bersedia mengajar kalau perkuliahan atau bimbingan diselenggarakan di restoran atau hotel tertentu. Ia juga bersedia secara sukarela membimbing hanya kepada mahasiswa yang sering memberinya hadiah. Seorang pejabat di satu perusahaan atau instansi pemerintahan juga menjadi merasa lumrah-lumrah saja jika ia kemudian hanya memberikan proyek kepada orang-orang yang menjanjikan uang tip/komisi yang besar. Meski itu berakibat pada pemotongan anggaran atau penggelembungan harga yang berdampak pada penggelapan uang perusahaan atau uang rakyat. Dampak yang lebih parahnya, ia tidak akan memberikan izin satu proyek jika tidak ada hadiah yang diinginkannya. Ini jelas sebuah kezhaliman, karena penentuan siapa yang mendapatkan proyek bukan bergantung pada kualitas, melainkan kuantitas bayaran.
Dengan memakai kaidah saddu dzari’ah (menutup jalan yang mengarah pada yang haram), maka meski sifat asalnya sukarela tetapi karena menyebabkan tumbuhnya budaya korupsi yang jelas-jelas merugikan masyarakat, uang tip ini jadi harus diharamkan secara mutlak. Agar guru dan dosen tidak lagi hanya memperhatikan siswa dan mahasiswa yang sering memberinya hadiah saja, dengan abai kepada yang lainnya. Agar orangtua tidak lagi merasa terpaksa memberikan hadiah kepada guru dan kepala sekolah di setiap akhir tahun pelajaran. Agar sekolah dan perguruan tinggi tidak lagi menghabiskan anggaran yang besar hanya untuk memberi hadiah kepada assesor akreditasi. Atau tegasnya, agar tidak ada lagi budaya korupsi di semua lapisan masyarakat.
Kebijakan mengharamkan “uang tip”, “uang komisi”, “hadiah” atau dikenal juga dengan “gratifikasi” ini pernah dikeluarkan oleh Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz (61-101 H). Ia menegaskan:

كَانَتِ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللهِ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةً

Hadiah pada zaman Rasulullah saw adalah hadiah, tetapi hari ini adalah risywah. (Shahih al-Bukhari kitab al-hibah bab man lam yaqbalil-hadiyyah li ‘illah)
Dalam riwayat Ibn Sa’ad, sebagaimana diceritakan oleh Furat ibn Muslim, ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz mempraktikkannya sendiri dalam kehidupannya semasa menjadi khalifah.

اِشْتَهَى عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز التُّفَّاح فَلَمْ يَجِدْ فِي بَيْته شَيْئًا يَشْتَرِي بِهِ، فَرَكِبْنَا مَعَهُ فَتَلَقَّاهُ غِلْمَان الدَّيْر بِأَطْبَاقِ تُفَّاح، فَتَنَاوَلَ وَاحِدَة فَشَمَّهَا ثُمَّ رَدَّ الْأَطْبَاق، فَقُلْت لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: لَا حَاجَة لِي فِيهِ فَقُلْت: أَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ الله وَأَبُو بَكْر وَعُمَر يَقْبَلُونَ الْهَدِيَّة؟ فَقَالَ: إِنَّهَا لِأُولَئِكَ هَدِيَّة وَهِيَ لِلْعُمَّالِ بَعْدهمْ رِشْوَة

‘Umar ibn ‘Abdul-‘Aziz sangat menyukai buah apel, tetapi ia tidak punya uang cukup untuk membelinya. Ketika kami sedang melakukan satu perjalanan ada beberapa pemuda biara yang memberinya hadiah beberapa bungkus buah apel. Ia mengambil satu dan menciumnya, kemudian mengembalikan bungkus-bungkusan tersebut. Aku bertanya kepadanya dan ia menjawab: “Saya tidak butuh.” Aku bertanya: “Bukankah Rasulullah saw, Abu Bakar dan ‘Umar juga menerima hadiah?” Ia menjawab: “Bagi mereka adalah hadiah, tetapi bagi para pekerja/pejabat sesudah mereka termasuk risywah/sogokan.” (Fathul-Bari kitab al-hibah bab man lam yaqbalil-hadiyyah li ‘illah).
Terkait risywah itu sendiri, dilarang dengan tegas oleh Nabi saw dengan ancaman laknat:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ

Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah saw melaknat pemberi dan yang diberi suap.” (Sunan Abi Dawud kitab al-aqdliyah bab fi karahiyatir-risywah no. 3582)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa sikap ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz tersebut didasarkan pada hadits Abu Humaid tentang Ibnul-Lutbiyyah yang dimarahi oleh Rasulullah saw ketika ia menerima hadiah di waktu menjalankan tugasnya. Statusnya pada waktu itu sebagai pekerja atau pejabat yang diangkat oleh Rasulullah saw. Maka haram bagi setiap pekerja atau pejabat menerima hadiah di waktu menjalankan tugasnya sebagai pekerja atau pejabat, atau hadiah itu nyata-nyata diberikan karena terkait tugasnya sebagai pekerja atau pejabat. Hadits Abu Humaid yang dimaksud adalah:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي

Dari Abu Humaid as-Sa’idi, ia berkata: Rasulullah saw menugaskan seseorang untuk mengambil zakat Bani Sulaim, ia dipanggil dengan nama Ibnul-Lutbiyyah. Ketika ia datang dari tugasnya, ia malah menghitung-hitungnya. Ia berkata: “Ini harta kalian (zakat), sedangkan ini hadiah untukku.” Rasulullah saw menegurnya: “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu sehingga datang hadiah untukmu jika kamu benar.” Kemudian Rasul saw berkhutbah, beliau bertahmid dan memuji-Nya kemudian bersabda: “Amma ba’du. Saya menugaskan seseorang di antara kalian untuk satu tugas yang telah diwenangkan Allah kepadaku. Tetapi ketika datang ia malah berkata: Ini harta kalian dan ini hadiah untukku. Maka mengapa ia tidak dudukk saja di rumah ayah atau ibunya sehingga hadiah itu datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah seseorang di antara kalian mengambil sedikit pun dengan tidak haq, melainkan ia akan memikulnya pada hari kiamat. Dan sungguh aku akan mengenali salah seorang di antara kalian yang bertemu Allah sambil membawa unta, sapi, atau kambing yang bersuara.” Kemudian beliau mengangkat tangannya sampai terlihat putih ketiaknya sambil berseru: “Ya Allah, bukankah sudah aku sampaikan?” Mataku melihatnya langsung dan telingaku mendengarnya langsung (Shahih al-Bukhari kitab al-hiyal bab ihtiyalil-‘amil li yuhda lahu no. 6979).
Hadits ini dengan tegas melarang setiap pekerja atau pejabat menerima hadiah. Inilah yang ditegaskan ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz di atas. Meskipun Rasulullah saw dan dua khalifah sesudahnya menerima hadiah, tetapi di zaman mereka hadiah itu murni karena cinta dan kasih sayang kepada mereka, bukan karena terkait jabatan atau kepentingan dalam pekerjaan tertentu. Sementara pada zaman ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz semua hadiah yang diberikan kepada pejabat konteksnya pasti terkait jabatan atau kepentingan dalam pekerjaan tertentu. Inilah yang hari ini populer dengan istilah gratifikasi.
Dalam hadits lain, Nabi saw mengingatkan praktik gratifikasi ini sebagai bagian dari ghulul (berkhianat menggelapkan harta). Faktanya memang demikian, budaya gratifikasi atau pemberian hadiah, uang tip, atau uang komisi, seringkali menyebabkan terjadinya penggelapan atau pemotongan anggaran keuangan yang ada. Dan ini jelas sebuah kezhaliman.

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Siapa yang kami pekerjakan satu pekerjakan, lalu kami memberinya rezeki (upah), ambillah. Tetapi apa yang ia ambil di luar itu maka itu ghulul (Sunan Abi Dawud kitab al-kharaj bab fi arzaqil-‘ummal no. 2945).
Ancaman ghulul itu sendiri sangat keras. Nabi saw menyebutkan bahwa nanti harta yang digelapkan akan menindihnya pada hari kiamat sampai orangnya kesakitan. Meski Nabi saw menyebutkan contohnya unta, sapi dan kambing, tetapi tentu tidak hanya tiga harta itu saja. Jika yang digelapkannya uang senilai rumah, tanah, atau kendaraan, maka berarti itu semua akan menindihnya kelak pada hari kiamat sampai kesakitan dan tidak ada yang akan menolong.

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ قَامَ فِينَا النَّبِيُّ فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ أَوْ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Abu Hurairah berkata: Nabi saw berdiri di hadapan kami dan mengancam tentang ghulul dengan sangat keras dan tegas. Beliau bersabda: “Jangan sampai aku menemukan salah seorang dari kalian pada hari kiamat membawa kambing atau kuda yang bersuara di atas lehernya (hasil dari ghululnya). Ia lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolong aku.’ Maka aku akan jawab: ‘Aku tidak bisa menolongmu sedikit pun, sungguh dulu aku telah jelaskan (haramnya ghulul).’ Atau membawa unta yang bersuara di atas lehernya (hasil dari ghululnya), lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolong aku.’ Maka aku akan jawab: ‘Aku tidak bisa menolongmu sedikit pun, sungguh dulu aku telah jelaskan (haramnya ghulul).’ Atau membawa harta yang diam (emas/perak dan yang sejenisnya sebagai hasil dari ghululnya) lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolong aku.’ Maka aku akan jawab: ‘Aku tidak bisa menolongmu sedikit pun, sungguh dulu aku telah jelaskan (haramnya ghulul).’ Atau membawa baju (hasil dari ghululnya), lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tolong aku.’ Maka aku akan jawab: ‘Aku tidak bisa menolongmu sedikit pun, sungguh dulu aku telah jelaskan (haramnya ghulul).’ (Shahih al-Bukhari kitab al-jihad was-siyar bab al-ghulul no. 3073)
Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *