Teroris Buddhis Bertopeng Biksu

Umat Islam Indonesia sulit menyembunyikan perasaan bahwa pembantaian muslim Rohingya di Myanmar direstui dan bahkan dianjurkan oleh biksu-biksu Buddha. Sungguh kasat mata tersaksikan di berita-berita internasional bagaimana masifnya gerakan biksu-biksu Buddha di Myanmar yang menganjurkan agar kaum muslimin Rohingya diusir dari tanah leluhurnya. Kaum Buddhis di Myanmar itu ternyata teroris. Teroris bertopeng biksu.

Tidak bisa ditutup-tutupi bahwa kekerasan di Rakhine, Myanmar, berawal dari gerakan ‘969’ yang dilancarkan seorang biksu, Ahsin Wirathu. Ia memulai gerakannya pada tahun 2001. Akan tetapi pada tahun 2003 ia sempat ditahan Pemerintah Junta Militer Myanmar atas tuduhan provokasi permusuhan anti-agama. Pada tahun 2011 ia dibebaskan berdasarkan amnesti umum dari pemerintahan baru Myanmar. Selepas keluar dari tahanan, ia melancarkan lagi gerakan nasionalis Buddhisnya yang kali ini didukung Pemerintah Myanmar. Pemerintahan baru Myanmar ini mengklaim sebagai pemerintahan sipil yang demokratis, berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang militer, tetapi nyatanya tetap sadis dan jauh dari nilai-nilai demokratis.
Gerakan 969 mengacu pada sembilan atribut Buddha, enam ajaran dasar, dan sembilan perintah monastik berkaitan dengan spiritual untuk tingkatan mencapai nirwana. Salah satu tugas utama gerakan ini adalah menghancurkan kekuatan asing yang ingin membinasakan Buddhisme, dan kekuatan asing itu adalah Islam. Islam memang tumbuh cepat di Myanmar. Hingga 2014 sekitar 35 persen penduduk negara ini berpindah keyakinan menjadi muslim. Di tahun sebelumnya hanya empat persen saja. Bagi beberapa tokoh Buddha garis keras, termasuk Wirathu, hal tersebut jadi ancaman.
Apalagi penduduk muslim kebanyakan kaum pendatang yang cukup sukses membuka usaha. Berbagai toko kebutuhan sehari-hari dan bisnis-bisnis penting justru digerakkan oleh umat Islam. Wirathu menganggap hal ini sebagai ancaman bagi penganut Buddha. Dengan logika sederhana, jika semakin banyak penduduk Buddha membeli barang-barang milik muslim maka semakin makmur ekonomi kaum muslimin yang mayoritas beretnis Rohingya.
Untuk itulah SKUAD 969 dibuat. Kelompok ini bergerak progresif menyerukan warga Buddha agar melakukan jual beli sesama saudara seiman. Mereka juga menandai setiap toko milik umat Buddha dengan stiker. SKUAD 969 berdalih mereka melindungi budaya dan identitas Burma yang identik dengan Buddha. Mereka rajin menyebar rumor soal biadabnya kaum muslim dan tuduhan menyesatkan ini membuat banyak media melabeli Wirathu sebagai ‘Buddhist Bin Laden’. Bahkan majalah TIME juga menulis Wirathu sebagai ‘The Face of Buddhist Terror’ atau Wajah Teror Buddha.
Menyebut warga muslim Rohingya sebagai warga illegal di Myanmar jelas merupakan alasan yang dibuat-buat. Faktanya sejak tahun 1799 pemerintah kolonial Inggris telah mencatat keberadaan warga muslim di Arakan, yang kini disebut Rakhine, Myanmar. Artinya mereka sudah mendiami tanah Arakan/Rakhine dari sejak masa nenek moyang mereka, jauh sebelum Negara Myanmar atau Burma merdeka. Yang baru itu bukan penduduk Rohingya di Myanmar, melainkan pemerintah dan Negara Myanmar itu sendiri. Jika alasan ini hendak diberlakukan, semestinya warga keturunan Tionghoa di Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga harus angkat kaki dari negara mereka saat ini karena mereka bukan warga Negara pribumi. Demikian halnya dengan orang-orang bule di Australia. Akan tetapi itu tidak mungkin terjadi karena bertentangan dengan nalar orang-orang yang berakal.
Terorisme Buddhis dari para simpatisan 969 itu bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Myanmar yang ingin mengambil alih tanah di Rakhine untuk kepentingan ekonomi negerinya. Sebagaimana dipaparkan oleh Profesor Sosiologi dari Universitas Colombia, Saskia Sassen, Pemerintah Myanmar dari sejak tahun 1990-an sudah merampas tanah dari penduduk setempat untuk digunakan perusahan-perusahaan multinasional mengembangkan usaha di bidang pertambangan, kayu, pertanian, dan air. Tanah Rakhine termasuk tanah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi miskin sumber daya manusia. Maka rakyat di Rakhine yang mayoritas muslim Rohingya masuk dalam agenda pengusiran dan perampasan hak tanahnya untuk kepentingan ekonomi Negara Myanmar.
Di samping itu, tanah Arakan/Rakhine termasuk ke dalam wilayah yang akan dilalui oleh pipa Shwe yang akan mengalirkan minyak dan gas dari Negara-negara Teluk dan Afrika ke Cina. Pipa itu akan bermula dari pelabuhan Sittwe, melewati Myanmar, Cina Barat dan terhubung sampai Cina Selatan dengan jarak lebih dari 2.000 km. Maka dari itu sangat dimaklumi, jika Pemerintah Myanmar yang mengklaim sebagai pemuja demokrasi malah mendukung pembantaian, pembumihangusan, dan pengusiran kaum muslimin Rohingya dari tanah leluhurnya.
Perilaku kaum Buddha yang seperti itu di satu sisi tidak mencengangkan umat Islam, melainkan justru semakin meneguhkan keyakinan mereka akan kitab sucinya. Sebab al-Qur`an sudah mengingatkan:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةٗ لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقۡرَبَهُم مَّوَدَّةٗ لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّا نَصَٰرَىٰۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنۡهُمۡ قِسِّيسِينَ وَرُهۡبَانٗا وَأَنَّهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ ٨٢

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri (QS. al-Ma`idah [5] : 82).
Imam at-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud “orang-orang musyrik” adalah para penyembah berhala. Mereka membuat-buat berhala lalu menyembahnya. Dalam QS. al-Bayyinah [98] sendiri Allah swt membedakan orang kafir pada dua kelompok; ahli kitab dan orang musyrik. Ahli kitab adalah mereka yang pernah menerima ajaran kitab dari para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw, sedangkan orang-orang musyrik tidak sama sekali. Maka jelas yang dimaksud orang-orang musyrik itu salah satunya adalah para penganut agama Buddha.
Pengecualian orang-orang Kristen dalam ayat di atas, tidak berarti bahwa mereka orang-orang yang baik. Mereka tetap orang-orang kafir, hanya jika dibandingkan dengan orang Yahudi dan para penyembah berhala, mereka lebih sayang. Sebabnya karena tokoh-tokoh agama Kristen tidak mengajarkan kebencian kepada umat Islam, meski tentu dalam satu dua kasus akan ditemukan saja yang sebaliknya. Berbeda dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang digambarkan al-Qur`an selalu berani membunuh para Nabi dan orang-orang yang baik (QS. Ali ‘Imran [3] : 21), demikian juga selalu menumpas kaum muslimin secara kaffah (QS. at-Taubah [9] : 36).
Di awal surat at-Taubah (ayat 8) juga Allah swt mengingatkan bahwa orang-orang musyrik itu jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian).” Dalam ayat 10 Allah swt menegaskan lagi: “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Meski demikian bukan berarti umat Islam harus menyatakan perang kepada semua penganut Buddha atau orang-orang kafir secara umum, sebab Allah swt sudah menitahkan umatnya untuk tetap berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi umat Islam atau mendukung perang kepada umat Islam (QS. al-Mumtahanah [60] : 8). Jika faktanya umat Buddha di Indonesia tidak memerangi umat Islam, tidak juga membantai kaum muslimin Rohingya, tidak juga mendukung penganiayaan kepada kaum muslimin Rohingya, berarti umat Buddha di Indonesia tidak boleh diperangi oleh umat Islam. Umat Islam tetap harus berbuat baik dan adil kepada mereka. Hanya kaum Buddhis yang teroris saja yang halal darah dan hartanya, meski mereka bertopeng biksu. La’anahumul-‘Llah ajma’in.