Taushiyah Politik ‘Abdullah ibn ‘Amr

Setelah Mu’awiyah (20 SH-60 H) resmi menjadi khalifah pada tahun 41 H, ia berkunjung ke Kufah, Irak, yang sempat menjadi Ibu Kota kekhalifahan di masa ‘Ali ibn Abi Thalib (23 SH-40 H) dan merupakan basis pendukung ‘Ali ketika berkonfrontasi dengannya. Mengetahui Mu’awiyah datang bersama ‘Abdullah ibn ‘Amr (7 SH-65 H), beberapa tabi’in sengaja menemui ulama hadits dari generasi shahabat tersebut untuk meminta nasihat dan taushiyah.


Salah seorang tabi’in yang menceritakan pertemuan mereka dengan ‘Abddullah ibn ‘Amr adalah Masruq ibn al-Ajda’ (w. 63 H), seorang ulama terpandang dari kalangan tabi’in. Ia berasal dari Yaman yang datang ke Madinah di masa kekhilafahan Abu Bakar. Ia kemudian menetap di Kufah dan menjadi mufti di sana. Maka dari itu ia mengetahui betul peperangan yang sempat terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Pertemuan antara beberapa ulama tabi’in dengan ‘Abdullah ibn ‘Amr tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut:

عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو حِينَ قَدِمَ مَعَ مُعَاوِيَةَ إِلَى الْكُوفَةِ فَذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا

Dari Masruq, ia berkata: Kami masuk menemui ‘Abdullah ibn ‘Amr ketika ia datang bersama Mu’awiyah ke Kufah. Ia menceritakan Rasulullah saw dengan berkata: “Beliau bukan orang yang terbiasa dan memaksakan diri berkata kasar.” Ia juga berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sungguh di antara orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab lam yakunin-Nabiy saw fahisyan wa la mutafahhisyan no. 6029. Ditulis juga dalam kitab al-manaqib bab shifatin-Nabiy saw no. 3559)
Imam al-Qasthalani dalam kitab syarah Shahih al-Bukharinya, Irsyadus-Sari, menyatakan bahwa peristiwa di atas pastinya terjadi setelah ‘Ali wafat dan Mu’awiyah menjadi khalifah pada tahun 41 H. Saat itu Kufah secara otomatis sudah berada di bawah kekhilafahan Mu’awiyah yang dipilih berdasarkan musyawarah kaum muslimin, termasuk disetujui oleh al-Hasan putra ‘Ali ibn Abi Thalib. Maka datangnya Mu’awiyah ke Kufah saat itu bisa diibaratkan datangnya seorang Presiden ke daerah yang bukan basis pendukungnya. Mengetahui bahwa dunia kekuasaan rentan dengan perkataan dan sikap yang kasar dari masing-masing kubu yang berseteru secara politik, maka ‘Abdullah ibn ‘Amr sebagai seorang ulama yang dituakan saat itu memberikan taushiyah kepada jama’ah yang hadir. Taushiyahnya adalah mengingatkan umat untuk meneladani teladan utamanya, Nabi Muhammad saw, yang tidak pernah menjadi orang yang fahisyan, juga mutafahhisyan.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari menjelaskan:

وَالْفُحْش كُلّ مَا خَرَجَ عَنْ مِقْدَاره حَتَّى يُسْتَقْبَح، وَيَدْخُل فِي الْقَوْل وَالْفِعْل وَالصِّفَة، لَكِنْ اِسْتِعْمَاله فِي الْقَوْل أَكْثَر. وَالْمُتَفَحِّش بِالتَّشْدِيدِ الَّذِي يَتَعَمَّد ذَلِكَ وَيُكْثِر مِنْهُ وَيَتَكَلَّفهُ

Al-Fuhsy adalah semua yang keluar dari kadar yang wajar sehingga dinilai jelek. Berlaku untuk perkataan, perbuatan, dan sifat. Tetapi lebih banyak diberlakukan dalam perkataan. Sedangkan mutafahhisy—dengan tasydid huruf ha—adalah orang yang menyengajakan melakukan itu, menyeringkannya, dan memaksakan diri untuk berbuat itu.
Dalam bab shifatin-Nabiy saw yang dituliskan oleh Imam al-Bukhari di kitab al-manaqib, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan maksud hadits di atas sebagai berikut:

أَيْ نَاطِقًا بِالْفُحْشِ وَهُوَ الزِّيَادَة عَلَى الْحَدّ فِي الْكَلَام السَّيِّئ، وَالْمُتَفَحِّش الْمُتَكَلِّف لِذَلِكَ, أَيْ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْفُحْش خُلُقًا وَلَا مُكْتَسِبًا

Yaitu orang yang berkata fuhsy, yakni yang melebihi batas dalam perkataan jelek. Sedangkan mutafahhisy yang memaksakan diri berbuat demikian. Jadi maksudnya, berkata kasar itu tidak menjadi kebiasaan, tidak juga diupayakan.
Lebih jelasnya, al-Hafizh ketika menjelaskan hadits di atas menukilkan riwayat-riwayat lain yang semakna untuk memperjelas maksud akhlaq Nabi saw tersebut. Di antaranya dari ‘Aisyah ra ketika ia ditanya tentang akhlaq Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi:

لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا سَخَّابًا فِي الْأَسْوَاق وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَح

Beliau bukan orang yang terbiasa dan memaksakan diri berkata kasar, bukan orang yang suka berteriak keras di pasar, tidak pernah membalas dengan kejelekan, tetapi memaafkan dan membiarkan (Sunan at-Tirmidzi bab khuluqin-Nabi saw no. 2016).
Di antaranya pernah dialami oleh ‘Aisyah sendiri, sebagaimana dituliskan riwayatnya dalam Shahih al-Bukhari masih dalam bab tentang Nabi saw bukan orang yang fahisy dan mutafahhisy:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ يَهُودَ أَتَوْا النَّبِيَّ ﷺ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَتْ عَائِشَةُ عَلَيْكُمْ وَلَعَنَكُمْ اللَّهُ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ قَالَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ قَالَتْ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ أَوَلَمْ تَسْمَعِي مَا قُلْتُ رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ فَيُسْتَجَابُ لِي فِيهِمْ وَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ فِيَّ

Dari ‘Aisyah ra: Sungguh ada beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi saw dan berkata: “as-Sam ‘alaikum (kebinasaan untukmu—bukan as-salamu ‘alaikum).” ‘Aisyah lalu menimpali: “Bagi kalian saja, dan Allah pasti melaknat kalian, juga murka kepada kalian.” Beliau malah menegurnya: “Tenang hai ‘Aisyah. Kamu harus tetap santun. Jauhi olehmu sikap kasar dan perkataan kotor.” ‘Aisyah menjawab: “Tidakkah anda dengar apa yang mereka katakan?” Beliau bersabda: “Tidakkah juga kamu mendengar apa yang aku katakan. Aku telah mengembalikannya kepada mereka—dengan menjawab: wa ‘alaikum. Maka pasti akan diijabah untukku do’a kepada mereka, dan tidak akan diijabah untuk mereka laknatnya kepadaku.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab lam yakunin-Nabiy saw fahisyan wa la mutafahhisyan no. 6030).
Masih dalam bab yang sama, ketika Nabi saw kedatangan tamu orang yang buruk akhlaqnya—ada riwayat yang menyebut ia adalah ‘Uyainah ibn Hishn, ada juga Makhramah ibn Naufal (Fathul-Bari)—Nabi saw di dalam rumahnya di hadapan ‘Aisyah mengatakan: “Bi`sa akhul-‘asyirah wa bi`sa ibnul-‘asyirah; sejelek-jeleknya saudara bagi satu keluarga dan sejelek-jeleknya anak sebuah keluarga.” Tetapi ketika Nabi saw menghadapinya beliau malah bertutur kata dengan lembut dan bermuka ceria. Selepas tamu itu pergi, ‘Aisyah langsung saja bertanya mengapa Nabi saw bersikap demikian. Nabi saw menjawab:

يَا عَائِشَةُ مَتَى عَهِدْتِنِي فَحَّاشًا إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ

“Wahai ‘Aisyah, kapan kamu menemukan aku berkata kasar!? Sungguh orang yang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang orang lain meninggalkannya karena takut dari kejelekannya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab lam yakunin-Nabiy saw fahisyan wa la mutafahhisyan no. 6032).
Jadi hakikatnya ‘Abdullah ibn ‘Amr memberikan taushiyah kepada Presiden yang menjabat, kepada para pendukungnya, demikian juga kepada semua yang tidak mendukungnya untuk meneladani akhlaq mulia Nabi saw dalam berbahasa. Jauhi bahasa yang kasar dan kotor, baik itu yang dibiasakan (fahisy) ataupun yang terpaksa (mutafahhisy). Bahkan dalam keadaan terzhalimi sekalipun, tidak kemudian membalas dengan bahasa yang kasar. Penilaian jelek atas seseorang cukup untuk pribadi dan orang-orang terdekat saja, tidak untuk diekspos ke masyarakat umum, termasuk lewat media massa dan media sosial. Untuk para politisi, atau bahkan yang sekadar simpatisannya saja, sudah semestinya mengamalkan akhlaq mulia ini agar suasana perpolitikan di tengah-tengah umat teduh. Bukan malah umat jadi menjauhinya karena jengah dengan bahasa-bahasa yang kasar dan kotor. Dan itu cukup untuk menjadi penanda seberapa jeleknya seseorang kedudukannya di hadapan Allah swt pada hari kiamat nanti. Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.