Tarawih Bukan 4-4-3 Saja

Menempatkan ‘Aisyah sebagai orang yang paling tahu tentang shalat malam Rasulullah saw memang tidak masalah. Tetapi menjadikan hadits ‘Aisyah yang menyebutkan formasi shalat malam 4-4-3 hanya untuk Tarawih, ini perlu perincian yang jelas. Sebab ‘Aisyah pada faktanya tidak sedang menjelaskan shalat Tarawih secara khusus, melainkan shalat malam secara umum. Hadits ‘Aisyah yang berupa dialog dengan Abu Salamah pun faktanya tidak hanya menyebutkan 4-4-3, tetapi juga ada yang 8-1-2. Hadits yang secara jelas menyebutkan formasi raka’at shalat Tarawih Rasulullah saw, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, hanya hadits Jabir yang menyebutkan 8 raka’at lalu witir.


Menjadikan hadits ‘Aisyah sebagai satu-satunya dalil untuk shalat Tarawih Rasulullah saw sangat riskan karena tidak ditemukan seorang ulama salaf atau madzhab pun yang menjelaskan demikian. ‘Aisyah sendiri jelas memberikan jawaban “baik di bulan Ramadlan atau di luar Ramadlan”, artinya ia tidak sedang menjelaskan shalat Tarawih secara khusus, melainkan shalat malam secara umum. Maka dari itu Imam al-Bukhari sendiri menulis tarjamah untuk hadits di atas sebagai berikut:

بَاب قِيَامِ النَّبِيِّ ﷺ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ

Bab: Shalat malam Nabi saw pada bulan Ramadlan dan lainnya.
Artinya, menurut Imam al-Bukhari, hadits ‘Aisyah itu tidak sedang menjelaskan shalat Tarawih secara khusus, melainkan shalat malam Nabi saw secara umum.
Sebuah kaidah yang baku dalam menarik kesimpulan fiqih sendiri menyatakan: al-‘ibrah bi ‘umumil-lafzhi la bi khushushis-sabab; mengambil kesimpulan itu dari lafazh yang umum, bukan dari sebab yang khusus. Meski Abu Salamah bertanya khusus tentang Tarawih Rasulullah saw, tetapi ‘Aisyah menjawabnya dengan umum. Mengapa kemudian kesimpulannya diambil dari sebab pertanyaan yang khusus, bukan dari lafazh ‘Aisyah yang umum?
Sebagai pembanding, dalam Shahih Muslim ditulis sebuah riwayat dari ‘Utsman ibn Hakim al-Anshari yang bertanya kepada Sa’id ibn Jubair tentang shaum Rajab. Sa’id ibn Jubair kemudian menjawab: Aku mendengar Ibn ‘Abbas ra berkata: “Rasulullah saw itu shaum sampai kami berkata beliau tidak kunjung buka. Dan beliau tidak shaum sampai kami berkata beliau tidak kunjung shaum.” (Shahih Muslim bab shiyam Nabi saw fi ghair Ramadlan no. 2782). Apakah ini juga berarti bahwa shaum Rajab secara khusus disyari’atkan? Sebab Sa’id ibn Jubair ditanya tentang shaum Rajab, meski kemudian ia menjawab dengan hadits yang umum tentang shaum Rasulullah saw. Itu jika kesimpulan mau diambil dari khususnya pertanyaan, bukan dari umumnya jawaban.
Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dalam Fathul-Bari menjelaskan hadits ‘Aisyah di atas sebagai hadits yang menjelaskan shalat malam yang biasa Rasulullah saw amalkan di sepanjang tahunnya, bukan sedang menjelaskan shalat Tarawih:

بابُ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيلِ وَكَمْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ

 وَسَيَأْتِي بَعْدَ خَمْسَةِ أَبْوَابٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْهَا أَنَّ ذَلِكَ كَانَ أَكْثَرَ مَا يُصَلِّيهِ فِي اللَّيْلِ وَلَفْظُهُ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ الْحَدِيثَ

Bab: Bagaimana shalat malam dan berapa raka’at Nabi saw shalat malam.
… dan akan datang sesudah lima bab dari riwayat Abu Salamah darinya (‘Aisyah) bahwasanya itu adalah yang paling sering dilaksanakan oleh beliau pada shalat malam, redaksinya: “beliau tidak pernah menambah baik pada Ramadlan tidak juga pada bulan lainnya lebih dari 11 … (silahkan baca kelanjutan haditsnya)”. (Fathul-Bari no. 1140)
“Lima bab” yang dimaksud al-Hafizh Ibn Hajar di atas adalah bab berikut ini:

بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ ﷺ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ

ذَكَرَ فِيهِ حَدِيثَ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَقَدْ تَقَدَّمَتِ الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ فِي بَابِ كَيْفَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ صَلَاتَهُ كَانَتْ مُتَسَاوِيَةً فِي جَمِيعِ السَّنَةِ وَفِيهِ كَرَاهَةُ النَّوْمِ قَبْلَ الْوِتْرِ لِاسْتِفْهَامِ عَائِشَةَ عَنْ ذَلِكَ كَأَنَّهُ تَقَرَّرَ عِنْدَهَا مَنْعُ ذَلِكَ فَأَجَابَهَا بِأَنَّهُ ﷺ لَيْسَ فِي ذَلِكَ كَغَيْرِه

Bab: Shalat malam Nabi saw pada bulan Ramadlan dan lainnya.
… Beliau (Imam al-Bukhari) menuliskan padanya hadits Abu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah bagaimana shalat Rasulullah saw. Dan sungguh telah ada isyarat tentang hadits ini dalam bab: Bagaimana Nabi saw shalat malam. Dan dalam hadits ini ada petunjuk bahwa shalat beliau sama rata di sepanjang tahun. Dalam hadits ini juga terkandung hukum makruh tidur sebelum witir karena pertanyaan ‘Aisyah tentang hal tersebut. Seakan-akan sudah jelas difahami terlarangnya hal itu sehingga Nabi saw menjawab kepadanya bahwasanya dirinya dalam hal tersebut tidak seperti yang lain. (Fathul-Bari no. 1147)
Lebih tegasnya lagi bahwa hadits ‘Aisyah tidak sedang menjelaskan shalat Tarawih dituliskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari dengan menyatakan bahwa hanya hadits Jabir yang secara eksplisit menjelaskan raka’at shalat Tarawih Rasulullah saw, dan itu 8 raka’at lalu witir, bukan 4-4-3. Adapun hadits ‘Aisyah tidak sedang menjelaskan shalat Tarawih, melainkan sebagaimana dijelaskannya di atas, sebatas menjelaskan shalat malam Rasulullah saw secara umum baik di bulan Ramadlan atau lainnya. Shalat malam Rasulullah saw di bulan Ramadlan yang berupa Tarawih berjama’ah pun hanya beberapa malam saja. Artinya yang ‘Aisyah jelaskan terkait shalat malam di bulan Ramadlannya pun jelas bukan Tarawih yang dilaksanakan berjama’ahnya, melainkan shalat malam sebagaimana umumnya.

بابُ تَحْرِيضِ النَّبِيِّ ﷺ عَلَى قِيامِ اللَّيْلِ

وَلَمْ أَرَ فِي شَيْء مِنْ طُرُقه بَيَان عَدَد صَلَاته فِي تِلْكَ اللَّيَالِي، لَكِنْ رَوَى اِبْن خُزَيْمَةَ وَابْنِ حِبَّان مِنْ حَدِيث جَابِر قَالَ “صَلَّى بِنَا رَسُول اللَّه ﷺ فِي رَمَضَان ثَمَان رَكَعَات ثُمَّ أَوْتَرَ، فَلَمَّا كَانَتْ الْقَابِلَة اِجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِد وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُج إِلَيْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا، ثُمَّ دَخَلْنَا فَقُلْنَا : يَا رَسُول اللَّه ” الْحَدِيث ، فَإِنْ كَانَتْ الْقِصَّة وَاحِدَة اِحْتُمِلَ أَنْ يَكُونُ جَابِر مِمَّنْ جَاءَ فِي اللَّيْلَة الثَّالِثَة فَلِذَلِكَ اِقْتَصَرَ عَلَى وَصْف لَيْلَتَيْنِ

Bab: Anjuran Nabi saw untuk shalat malam.
… dan aku tidak melihat pada satu pun dari sanad-sanadnya yang menjelaskan jumlah raka’at pada malam-malam tersebut (malam-malam Rasulullah melaksanakan shalat Tarawih berjama’ah di masjid—pen). Akan tetapi Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban meriwayatkan dari hadits Jabir, ia berkata: Rasulullah saw shalat mengimami kami pada bulan Ramadlan 8 raka’at kemudian witir. Lalu di malam berikutnya kami berkumpul di masjid dan menunggu-nunggu beliau keluar kepada kami sampai datang shubuh. Kemudian kami masuk menemuinya dan berkata: wahai Rasulullah… silahkan baca kelanjutan haditsnya. Jika kisah ini sama maka bisa dipahami bahwa Jabir di antara orang yang datang pada malam ketiga, oleh karena itu ia hanya menjelaskan dua malam saja (Fathul-Bari no. 1129).
Hadits ‘Aisyah yang menyebutkan shalat malam 4-4-3 adalah jawaban kepada Abu Salamah yang bertanya kepadanya tentang shalat malam Rasulullah saw pada bulan Ramadlan. Jika sanad Abu Salamah dari ‘Aisyah hendak ditelusuri, semakin jelas lagi bahwa memang ‘Aisyah tidak sedang menjelaskan shalat Tarawih Rasulullah saw saja, melainkan shalat malam secara umum. Data yang ditemukan adalah sebagai berikut:

صحيح البخاري بابُ المُدَاوَمةِ عَلى رَكْعتَي الفَجْرِ

1159

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ هُوَ ابْنُ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ الْعِشَاءَ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَرَكْعَتَيْنِ جَالِسًا وَرَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ يَدَعْهُمَا أَبَدًا.

Shahih al-Bukhari. Bab: Merutinkan (shalat sunat) dua raka’at fajar

  1. (al-Bukhari berkata:) ‘Abdullah ibn Yazid telah mengajarkan hadits kepada kami, Sa’id yaitu ibn Abi Ayyub telah mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: Ja’far ibn Rabi’ah telah mengajarkan hadits kepadaku, dari ‘Irak ibn Malik, dari Abu Salamah, dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Nabi saw shalat ‘Isya, kemudian shalat delapan raka’at, lalu dua raka’at sambil duduk (dalam sanad berikutnya disebutkan sesudah witir—pen), lalu dua raka’at di antara dua adzan (qabla shubuh—pen) yang tidak pernah ditinggalkannya selamanya.”

صحيح مسلم  باب صَلاَةِ اللَّيْلِ وَعَدَدِ رَكَعَاتِ النَّبِىِّ ﷺ فِى اللَّيْلِ

1758

وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى عَدِىٍّ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.

Shahih Muslim. Bab: Shalat malam dan jumlah raka’at Nabi saw pada malam hari.

  1. (Imam Muslim berkata:) Dan Muhammad ibn al-Mutsanna mengajarkan hadits kepada kami, Ibn Abi ‘Adi mengajarkan hadits kepada kami, Hisyam mengajarkan hadits kepada kami, dari Yahya, dari Abu Salamah, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat Rasulullah saw. Ia menjawab: “Beliau shalat 13 raka’at, yaitu shalat delapan raka’at, kemudian witir, kemudian shalat dua raka’at sambil duduk yang apabila beliau hendak ruku’ beliau berdiri lalu ruku’, kemudian shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah dari shalat shubuh.”

1759 –

وَحَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ ح وَحَدَّثَنِى يَحْيَى بْنُ بِشْرٍ الْحَرِيرِىُّ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ – يَعْنِى ابْنَ سَلاَّمٍ – عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو سَلَمَةَ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ . بِمِثْلِهِ غَيْرَ أَنَّ فِى حَدِيثِهِمَا تِسْعَ رَكَعَاتٍ قَائِمًا يُوتِرُ مِنْهُنَّ.

  1. (Imam Muslim berkata:) Dan Zuhair ibn Harb mengajarkan hadits kepadaku, Husain ibn Muhammad mengajarka hadits kepada kami, Syaibah mengajarkan hadits kepada kami, dari Yahya, ia berkata: Aku mendengar Abu Salamah. Tahwil (kembali ke awal). (Imam Muslim berkata:) Dan Yahya ibn Bisyr al-Hariri mengajarkan hadits kepadaku, Mu’awiyah yakni ibn Sallam mengajarkan hadits kepada kami, dari Yahya ibn Abi Katsir, ia berkata: Abu Salamah mengabarkan kepadaku bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat Rasulullah saw seperti hadits sebelumnya, tetapi dalam hadits mereka berdua (Zuhair dan Yahya) yang ini disebutkan: “Sembilan raka’at sambil berdiri, beliau shalat witir darinya.”

1760

وَحَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى لَبِيدٍ سَمِعَ أَبَا سَلَمَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَىْ أُمَّهْ أَخْبِرِينِى عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ . فَقَالَتْ كَانَتْ صَلاَتُهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِاللَّيْلِ مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ.

  1. (Imam Muslim berkata:) Dan ‘Amr an-Naqid mengajarkan hadits kepada kami, Sufyan ibn ‘Uyainah mengajarkan hadits kepada kami, dari ‘Abdullah ibn Abi Labid, bahwasanya ia mendengar Abu Salamah berkata: Aku datang kepada ‘Aisyah dan berkata: “Wahai ibu, beritahukan kepadaku tentang shalat Rasulullah saw?” ‘Aisyah menjawab: “Shalat malamnya pada bulan Ramadlan dan selainnya 13 raka’at, termasuk di dalamnya dua raka’at (qabla) fajar/shubuh.”

Dari data di atas diketahui bahwa jawaban ‘Aisyah kepada Abu Salamah terkait shalat malam Rasulullah saw di bulan Ramadlan atau di luar Ramadlan tidak hanya 4-4-3, melainkan juga 8-1-2 atau 9-2 atau 11 langsung. Jika hendak dikompromikan maka bisa jadi yang delapan raka’at itu dilaksanakannya 4-4, sementara yang 3 raka’at dilaksanakannya 1-2. Demikian halnya yang sembilan raka’at, kemungkinan 4-4-1. Sementara yang 11 raka’at kemungkinan 4-4-1-2.
Metode penelusuran semua sanad yang terkait satu hadits merupakan metode yang lumrah dilakukan oleh para ulama hadits. Metode ini bahkan menjadi semacam metode wajib untuk memahami fiqih dari satu hadits agar tidak keliru memahaminya. Maka dari itu kitab-kitab hadits, khususnya kitab-kitab syarah hadits, selalu menyajikan penelusuran sanad terkait satu hadits. Dalam kutubus-sunnah metode ini secara dominan ditempuh oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dan Imam an-Nasa`i dalam kitab Sunan/al-Mujtabanya dengan menyajikannya dalam satu bab yang dituliskannya. Meski imam-imam hadits lainnya juga menempuhnya tetapi tidak jarang kemudian ditempatkan dalam satu bab seperti kedua imam hadits tersebut. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim atau al-Majmu’, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, demikian juga para ulama hadits lainnya dalam kitab-kitab syarah hadits mereka, sama memberlakukannya. Sebab mustahil memahami satu kejadian secara utuh dari satu kepingan hadits, melainkan dari kesemua data “yang berserakan” dan kemudian dihimpunkan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Setelah jelas bahwa hadits ‘Aisyah kepada Abu Salamah yang menyebutkan formasi shalat malam 4-4-3 bukan sedang menjelaskan shalat Tarawih, melainkan shalat malam Rasulullah saw secara umum, maka dengan demikian statusnya sama dengan hadits-hadits ‘Aisyah lainnya yang menjelaskan shalat malam secara umum. Berikut ini adalah di antaranya yang dikutip dari Shahih Muslim:

باب صَلاَةِ اللَّيْلِ وَعَدَدِ رَكَعَاتِ النَّبِىِّ ﷺ فِى اللَّيْلِ وَأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَأَنَّ الرَّكْعَةَ صَلاَةٌ صَحِيحَةٌ

Bab: Shalat malam dan jumlah raka’at Nabi saw pada malam hari, witir satu raka’at dan bahwa satu raka’at itu shalat yang shahih.

1751

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

  1. … dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw shalat malam 13 raka’at yang witir darinya satu raka’at. Apabila telah selesai, beliau berbaring pada sebelah kanan badannya sampai datang muadzdzin, lalu beliau shalat dua raka’at yang ringkas.

1752

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ ﷺ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّى فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَهِىَ الَّتِى يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ

  1. … dari ‘Urwah ibn az-Zubair, dari ‘Aisyah istri Nabi saw, ia berkata: “Rasulullah saw shalat pada waktu antara selesai shalat ‘isya—yang sering disebut oleh orang-orang ‘atamah—sampai shubuh 11 raka’at. Beliau salam di setiap dua raka’at dan witir satu raka’at.”

1754

حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ صَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا

  1. … Hisyam mengajarkan hadits kepada kami, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah saw shalat malam 13 raka’at dan witir darinya lima raka’at. Beliau tidak duduk pada satu raka’at pun kecuali pada akhirnya.”

1756

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِرَكْعَتَىِ الْفَجْرِ.

  1. … dari ‘Urwah, bahwasanya ‘Aisyah mengabarkan kepadanya, bahwasanya Rasulullah saw shalat 13 raka’at dengan dua raka’at (qabla) fajar/shubuh.

1761

عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ ﷺ مِنَ اللَّيْلِ عَشَرَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ فَتِلْكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً

  1. …dari al-Qasim ibn Muhammad, ia berkata: Aku mendengar ‘Aisyah berkata: “Shalat malam Rasulullah saw 10 raka’at dan witir satu raka’at, lalu dua raka’at (qabla) fajar/shubuh. Maka itulah 13 raka’at.”

 
Imam Muslim menuliskan hadits ‘Aisyah yang menjelaskan jumlah raka’at shalat malam Rasulullah saw dari tiga sanad: (1) ‘Urwah ibn az-Zubair yang merupakan keponakannya, putra dari az-Zubair ibn al-‘Awwam dan Asma binti Abu Bakar, pada no. 1751-1756. (2) Abu Salamah pada no. 1757-1760 sebagaimana sudah disajikan sebelumnya di atas. (3) al-Qasim ibn Muhammad pada no. 1761. Dari ketiga sanad ini saja diketahui bahwa hadits ‘Aisyah ini menjelaskan variasi shalat malam Rasulullah saw, baik di bulan Ramadlan atau lainnya. Formasi raka’atnya sanad ‘Urwah: 11 raka’at dengan zhahirnya 10-1 atau 2-2-2-2-2-1; 13 raka’at dengan formasi 8-5; dan 11 rakaat langsung. Sanad Abu Salamah formasi raka’atnya 4-4-3 dan 8-1-2 atau 9-2. Dan sanad al-Qasim ibn Muhammad zhahirnya 10-1.
Melihat data hadits ‘Aisyah yang ini saja, belum lagi yang ada pada bab lainnya di Shahih Muslim atau bahkan di kitab-kitab hadits lainnya, tampaknya ada inkonsistensi atau mudltharib. Tetapi tentu saja tidak demikian, sebab masih bisa dikompromikan. Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim:

وَأَمَّا الِاخْتِلَاف فِي حَدِيث عَائِشَة فَقِيلَ هُوَ مِنْهَا، وَقِيلَ مِنَ الرُّوَاة عَنْهَا. فَيَحْتَمِل أَنَّ إِخْبَارهَا بِأَحَد عَشْرَة هُوَ الْأَغْلَب، وَبَاقِي رِوَايَاتهَا إِخْبَار مِنْهَا بِمَا كَانَ يَقَع نَادِرًا فِي بَعْض الْأَوْقَات. فَأَكْثَره خَمْس عَشْرَة بِرَكْعَتَيْ الْفَجْر وَأَقَلّه سَبْع. وَذَلِكَ بِحَسْب مَا كَانَ يَحْصُل مِنْ اِتِّسَاع الْوَقْت أَوْ ضِيقه بِطُولِ قِرَاءَة، كَمَا جَاءَ فِي حَدِيث حُذَيْفَة وَابْن مَسْعُود. أَوْ لِنَوْمٍ أَوْ عُذْر مَرَض أَوْ غَيْره أَوْ فِي بَعْض الْأَوْقَات عِنْد كِبَر السِّنّ كَمَا قَالَتْ : فَلَمَّا أَسَنَّ صَلَّى سَبْع رَكَعَات. أَوْ تَارَة تَعُدّ الرَّكْعَتَيْنِ الْخَفِيفَتَيْنِ فِي أَوَّل قِيَام اللَّيْل كَمَا رَوَاهُ زَيْد بْن خَالِد وَرَوَتْهَا عَائِشَة بَعْدهَا هَذَا فِي مُسْلِم. وَتَعُدّ رَكْعَتَيْ الْفَجْر تَارَة وَتَحْذِفهُمَا تَارَة أَوْ تَعُدّ إِحْدَاهُمَا. وَقَدْ تَكُون عَدَّتْ رَاتِبَة الْعِشَاء مَعَ ذَلِكَ تَارَة وَحَذَفَتْهَا تَارَة

Mengenai perbedaan dalam hadits ‘Aisyah, ada yang mengatakan itu dari ‘Aisyah, ada juga yang mengatakan dari rawi-rawi yang meriwayatkan dari ‘Aisyah. Maka kemungkinan besar berita dari ‘Aisyah yang 11 raka’at itu adalah yang biasa dikerjakan. Riwayat lainnya adalah pemberitahuan dari ‘Aisyah tentang yang jarang dilakukan di sementara waktu. Raka’at yang paling banyaknya adalah 15 raka’at dengan dua raka’at qabla shubuh, sementara yang paling sedikit tujuh raka’at. Itu sangat tergantung pada:
(Pertama), leluasa atau sempitnya waktu untuk memanjangkan bacaan sebagaimana ada dalam hadits Hudzaifah dan Ibn Mas’ud.
(Kedua), karena tertidur, udzur sakit, atau lainnya, atau karena usia beliau sudah tua sebagaimana dikatakan ‘Aisyah: “Ketika beliau sudah tua, beliau shalat tujuh raka’at.”
(Ketiga), terkadang karena ‘Aisyah menghitung juga ke dalamnya dua raka’at di awal shalat malam (shalat iftitah—pen) sebagaimana diriwayatkan Zaid ibn Khalid dan ‘Aisyah meriwayatkannya juga sesudahnya pada Shahih Muslim.
(Keempat), terkadang karena ‘Aisyah menghitung juga ke dalamnya dua raka’at qabla shubuh dan terkadang juga tidak menyebutkannya atau menghitung salah satunya.
(Kelima), terkadang karena ‘Aisyah menghitung juga ke dalamnya sunat rawatib ba’da ‘isya dan terkadang juga tidak menyebutkannya.
Jelasnya, hadits ‘Aisyah tidak bisa dijadikan dalil pokok untuk menetapkan shalat Tarawih harus 4-4-3 karena memang pada faktanya tidak ada pembatasan dari hadits tersebut.
Di samping itu, menjadikan hadits ‘Aisyah sebagai pembatas Tarawih harus 4-4-3, tidak boleh yang lain, sangat riskan mengingat hadits ‘Aisyah sifatnya hadits perbuatan Nabi saw (fi’li). Hadits perbuatan (fi’li) tidak bisa menjadi pembatas satu amal dengan membid’ahkan yang lainnya. Sebagai pembanding; Nabi saw selalu shalat ‘Id di lapang. Apakah berarti shalat ‘Id di masjid bid’ah dan haram? Dewan Hisbah sendiri dalam hal shalat ‘Id boleh di masjid dan di lapang sebatas afdlal, khatib jum’at dan imam shalat jum’at boleh berbeda dan sebatas lebih afdlal orang yang sama, dan mandi sebelum ihram tidak wajib melainkan sebatas afdlal, memutuskan bahwa semua itu tidak jadi pembatas karena haditsnya sebatas fi’li. Kaidah yang dijadikan pegangannya:

مُجَرَّدُ الْفِعْلِ لاَ يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ

Dalil yang sebatas menginformasikan pekerjaan tidak menunjukkan wajib.
Jika faktanya hadits ‘Aisyah hanya menginformasikan pekerjaan shalat malam Rasulullah saw dan bukan sabda Nabi saw langsung, mengapa kemudian kesimpulannya jadi wajib 4-4-3 dan tidak boleh selainnya? Apalagi jika kenyataannya hadits fi’li itu tidak sebatas 4-4-3, melainkan juga ada yang 8-1-2 dan lainnya.
Satu-satunya yang bisa dijadikan pembatasan tentang shalat malam Rasulullah saw—termasuk bulan Ramadlan—menurut al-Hafizh Ibn Hajar hanya hadits Ibn ‘Umar berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى النَّبِيِّﷺ وَهُوَ يَخْطُبُ فَقَالَ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَقَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ تُوتِرُ لَكَ مَا قَدْ صَلَّيْتَ

Dari Ibn ‘Umar, sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi saw ketika beliau khutbah. Ia bertanya: “Bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab: “Dua raka’at, dua raka’at. Jika kamu takut shubuh maka witirlah satu raka’at yang akan mewitirkan untukmu shalat yang sudah kamu kerjakan.” (Shahih al-Bukhari bab al-halq wal-julus fil-masjid no. 473. Hadits ini diriwayatkan di hampir semua kitab hadits)
Hadits Ibn ‘Umar ini bisa dijadikan pembatas sebab merupakan jawaban dari pertanyaan: “Bagaimana shalat malam itu?” Nabi saw kemudian menjawab: “Dua raka’at-dua raka’at…witir 1 raka’at” Meski demikian, tegas al-Hafizh, ini juga tidak membatasi mutlak harus 2-2… + witir, sebab ada hadits lain yang menyebut 4-4-3, 9-2, dan lainnya. Sifatnya hanya sebatas afdlal (lebih utama) karena merupakan jawaban Nabi saw langsung atas pertanyaan kaifiyyat shalat malam baik Ramadlan atau luar Ramadlan dan sanadnya lebih banyak (Fathul-Bari bab ma ja`a fil-witr). Jika memang khusus tarawih harus 4-4-3, atau bahkan harus selalu 11 raka’at, pasti Nabi saw tidak akan mengakhirkan penjelasannya di saat dibutuhkan (ta`khirul-bayan ‘an waqtil-hajah la yajuzu).
Tulisan ini tentu tidak bisa memaksa siapa pun, termasuk Persatuan Islam, untuk mengubah fatwa harusnya shalat Tarawih dengan formasi 4-4-3. Akan tetapi minimalnya kader-kader Persatuan Islam bisa lebih arif menyikapi perbedaan fiqih dengan tidak mendahulukan vonis bid’ah dan sesat, melainkan mengedepankan sikap ilmiah dengan menghargai khazanah keilmuan yang notabene berbeda-beda kadarnya di kalangan para fuqaha. Sebab ketika dibuka kembali khazanah-khazanah keilmuan fiqih yang ada, akan terasa bahwa fiqih Persatuan Islam minimalnya ada yang perlu didiskusikan ulang karena kekurangan data dalil. Wal-‘Llahu a’lam.