Tahiyyatul Masjid

Masjid adalah bangunan yang diperintahkan Allah swt untuk diagungkan dan dimuliakan. Salah satunya dengan shalat tahiyyatul-masjid ketika masuk masjid. Baik di waktu siang atau malam, pagi atau petang, asal bukan pada waktu yang makruh. Baik ketika akan shalat wajib berjama’ah, sekedar menghadiri majelis ta’lim, atau sekedar musyawarah dan silaturahmi. Baik ketika datang di awal waktu atau agak terlambat. Baik ketika sebelum duduk atau sesudah duduk sekalipun.


Dalam al-Qur`an Allah swt sudah menegaskan keharusan masjid dimuliakan:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرۡفَعَ وَيُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ

Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya (QS. an-Nur [24] : 36).
Salah satu bentuk memuliakan masjid itu adalah dengan shalat tahiyyah (penghormatan/pemuliaan) yang menjadi hak masjid:

عَنْ أبِي ذَرٍّ قَالَ: دخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإذَا رَسُولُ الله ﷺ جَالِسٌ وَحْدَهُ فَقَالَ: يَا أبَا ذَرٍّ، إِنَّ لِلْمَسْجِدِ تَحِيَّةً، وَإِنَّ تَحِيَّتَهُ رَكْعَتَانِ، فَقُمْ فَارْكَعْهُمَا. قَالَ: فَقُمْتُ فَرَكَعْتُهُمَا، ثُمَّ عُدْتُ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ

Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku masuk masjid, ternyata ada Rasulullah saw sedang duduk sendirian. Beliau lalu bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya masjid itu memiliki hak tahiyyat (penghormatan), dan tahiyyatnya itu adalah dua raka’at. Maka berdirilah dan shalatlah dua raka’at.” Kata Abu Dzar: Maka aku pun berdiri dan shalat, kemudian aku menuju Nabi saw dan duduk di hadapannya (al-Haitsami dalam Mawariduz-Zham`an ila Zawa`id Ibn Hibban bab as-su`al lil-fa`idah no. 94. Al-Albani menilainya hasan li ghairihi).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Abu Dzar datang ke masjid di luar waktu shalat wajib berjama’ah, sebab Nabi saw sedang duduk seorang diri. Setelah shalat tahiyyatul-masjid Abu Dzar juga langsung menghadap Nabi saw untuk bertanya jawab. Jika itu pada waktu shalat wajib dipastikan ada jama’ah lainnya dan setelah shalat tahiyyatul-masjid bersiap-siap untuk shalat wajib, bukan malah berdialog dan tanya jawab.
Ini menjadi dalil bahwa shalat tahiyyatul-masjid tidak terikat dengan waktu shalat wajib. Di luar waktu shalat wajib pun, masjid tetap mempunyai hak tahiyyat. Abu Dzar saja yang masuk masjid hendak berdialog dengan Nabi saw, bukan untuk shalat wajib, diperintahkan oleh Nabi saw untuk tahiyyatul-masjid dulu dua raka’at.
Dalam riwayat Muslim, perintah Nabi saw yang serupa pernah ditujukan kepada Abu Qatadah, sebagai berikut:

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللهِ ﷺ جَالِسٌ بَيْنَ ظَهْرَانَىِ النَّاسِ قَالَ فَجَلَسْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ. قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْتُكَ جَالِسًا وَالنَّاسُ جُلُوسٌ. قَالَ فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ

Dari Abu Qatadah shahabat Rasulullah saw, ia berkata: Aku masuk masjid, dan Rasulullah saw ketika itu sedang duduk di antara orang-orang. Kata Abu Qatadah: Kemudian saya pun duduk. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Apa yang menghalangimu untuk shalat dua raka’at sebelum duduk?” Kata Abu Qatadah: Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, aku melihatmu duduk, begitu juga orang-orang duduk.” Rasul saw bersabda: “Apabila seseorang di antaramu masuk masjid, janganlah ia duduk sehingga ia shalat dua raka’at.” (Shahih Muslim bab istihbab tahiyyatil-masjid rak’atain no. 1688).
Hadits ini pun secara zhahirnya menunjukkan bahwa Abu Qatadah masuk masjid di luar waktu shalat wajib, tepatnya ketika ada majelis ta’lim di masjid. Meski Abu Qatadah datang terlambat, ia tetap diperintah oleh Nabi saw untuk shalat tahiyyatul-masjid. Bahkan meskipun Abu Qatadah saat itu sudah duduk, ia tetap diperintah oleh Nabi saw untuk berdiri lagi dan shalat tahiyyatul-masjid.
Yang lebih tegas lagi, Nabi saw tetap memerintahkan tahiyyatul-masjid kepada yang datang terlambat jum’atan dan juga sudah duduk, meski saat itu Nabi saw sedang berkhutbah jum’at.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: Sulaik al-Ghathafani datang pada hari Jum’at ketika Rasulullah saw berkhutbah. Ia pun duduk. Beliau lantas menegurnya: “Hai Sulaik, berdirilah, shalatlah dua raka’at, dan ringkaskan.” Kemudian beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu datang pada hari Jum’at meski imam sedang berkhutbah maka shalatlah dua raka’at dan ringkaskan.” (Shahih Muslim bab at-tahiyyah wal-imam yakhthubu no. 2061).
Imam an-Nawawi dalam hal ini menjelaskan:

وَلَمْ يَتْرُك التَّحِيَّة فِي حَال مِنْ الْأَحْوَال، بَلْ أَمَرَ الَّذِي دَخَلَ الْمَسْجِد يَوْم الْجُمُعَة وَهُوَ يَخْطُب فَجَلَسَ أَنْ يَقُوم فَيَرْكَع رَكْعَتَيْنِ، مَعَ أَنَّ الصَّلَاة فِي حَال الْخُطْبَة مَمْنُوع مِنْهَا إِلَّا التَّحِيَّة، فَلَوْ كَانَتْ التَّحِيَّة تُتْرَك فِي حَال مِنْ الْأَحْوَال لَتُرِكَتْ الْآن لِأَنَّهُ قَعَدَ وَهِيَ مَشْرُوعَة قَبْل الْقُعُود وَلِأَنَّهُ كَانَ يَجْهَل حُكْمهَا، وَلِأَنَّ النَّبِيّ ﷺ قَطَعَ خُطْبَته وَكَلَّمَهُ وَأَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّي التَّحِيَّة. فَلَوْلاَ شِدَّة الِاهْتِمَام بِالتَّحِيَّةِ فِي جَمِيع الْأَوْقَات لَمَا اِهْتَمَّ عَلَيْهِ السَّلَام هَذَا الِاهْتِمَام

Beliau tidak pernah meninggalkan shalat tahiyyatul-masjid dalam waktu dan kondisi apapun. Bahkan beliau tetap memerintahkan yang masuk masjid pada hari Jum’at ketika beliau khutbah dan orang itu sudah duduk, untuk berdiri lagi dan shalat dua raka’at. Padahal shalat ketika khutbah itu terlarang, tetapi jadi dikecualilan tahiyyatul-masjid. Seandainya tahiyyatul-masjid leluasa untuk ditinggalkan pada waktu dan kondisi bagaimanapun pasti pada saat seperti sekarang (sedang khutbah jum’at) pun ditinggalkan. Padahal orang itu sudah duduk. Padahal tahiyyatul-masjid disyari’atkan sebelum duduk. Padahal orang itu pun belum tahu hukumnya. Tetapi karena Nabi saw sampai memotong khutbahnya, menegurnya, dan memerintahnya shalat tahiyyatul-masjid jadinya harus sangat diperhatikan. Seandainya tidak ada perhatian yang besar pada tahiyyatul-masjid di seluruh waktu, tentu Nabi saw tidak akan menekankan seperti itu (Syarah Shahih Muslim bab istihbab tahiyyatil-masjid rak’atain).
Ikhtilaf kemudian ditemukan dalam hal apakah tahiyyatul-masjid juga harus diamalkan di waktu terlarang shalat? Waktu terlarang yang dimaksud adalah: (1) Dari setelah shalat shubuh sampai matahari telah terbit, (2) ketika matahari tepat berada di tengah pada siang hari, dan (3) setelah shalat ‘ashar sampai matahari telah terbenam (Bulughul-Maram no. 175-176). Bagi madzhab Syafi’i tetap harus diamalkan, sebab waktu terlarang itu berlaku untuk shalat muthlaq (yang tidak ada sebabnya), karena Nabi saw juga pernah mengqadla shalat ba’da zhuhur pada waktu ba’da ‘ashar (ada sebabnya). Sementara madzhab lainnya menyatakan tetap terlarang untuk shalat tahiyyatul-masjid sekalipun, minimalnya makruh, sebab dalil yang digunakan oleh madzhab Syafi’i berlaku khusus untuk mengqadla shalat sunat yang terlewat seperti ba’da zhuhur menjadi ba’da ‘ashar—itu pun khusus bagi Nabi saw, tidak bagi umatnya, sebab Nabi saw sendiri yang melarang bagi umatnya—dan shalat qabla shubuh dikerjakan ba’da shubuh (Subulus-Salam syarah hadits Bulughul-Maram no. 175-176). Wal-‘Llahu a’lam.