Sunnah Bid’ah Nishfu Sya’ban

Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan nishfu Sya’ban (pertengahan atau 15 Sya’ban) banyak yang dla’if, tetapi ada juga yang shahih. Meski demikian, hadits-hadits shahih tersebut tidak jadi dalil untuk melegalisasi amal-amal baru yang tidak disyari’atkan alias bid’ah.


Hadits tentang fadlilah (keutamaan) nishfu Sya’ban di antaranya adalah:

يَطْلُعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Allah turun kepada makhluqnya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluqnya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi (saudaranya) (Shahih Ibn Hibban kitab al-hazhr wal-ibahah dzikr maghfiratil-‘Llah fi lailatin-nishf min Sya’ban no. 5665).
Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liq Shahih Ibn Hibban menjelaskan bahwa hadits fadlilah nishfu Sya’ban tersebut diriwayatkan dari delapan shahabat; Mu’adz ibn Jabal, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Tsa’labah, Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Auf ibn Malik, ‘Abdullah ibn ‘Amr, dan ‘Aisyah. Kedelapan sanad tersebut tidak ada satu pun yang luput dari cacat. Tetapi cacat tersebut bukan cacat yang parah, sehingga bisa saling menguatkan dan menjadi shahih. Beliau menyatakan:

وَهَذِهِ الشَّوَاهِدُ وَإِنْ كَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَقَالٌ تُقَوِّي حَدِيْثَ الْبَابِ

Hadits-hadits penguat (syawahid) ini meskipun masing-masingnya ada masalah tetapi menguatkan hadits (Mu’adz) bab ini.
Syaikh al-Albani dalam kitab as-Silsilah as-Shahihah menjelaskan hal yang sama. Setelah menguraikan aspek-aspek kelemahan kedelapan sanad di atas dalam hal keakuratan hafalan rawi dan keterputusan sanad, beliau menyatakan:

وَجُمْلَةُ الْقَوْلِ أَنَّ الْحَدِيْثَ بِمَجْمُوْعِ هَذِهِ الطُّرُقِ صَحِيْحٌ بِلاَ رَيْبٍ وَالصِّحَّةُ تَثْبُتُ بِأَقَلَّ مِنْهَا عَدَدًا مَا دَامَتْ سَالِمَةً مِنَ الضَّعْفِ الشَّدِيْدِ كَمَا هُوَ الشَّأْنُ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ.

Kesimpulannya, hadits ini dengan mengumpulkan kesemua sanadnya berstatus shahih tanpa diragukan lagi. Keshahihan tersebut telah kuat dengan sanad yang lebih sedikit darinya sekalipun selama selamat dari dla’if parah sebagaimana yang ada dalam hadits ini (Silsilah Ahaditsis-Shahihah no. 1144).
Syaikh al-Albani melanjutkan:

فَمَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ الْقَاسِمِي رحمه الله تعالى فِي “إِصْلاَحِ الْمَسَاجِدِ” عَنْ أَهْلِ التَّعْدِيْلِ وَالتَّجْرِيْحِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي فَضْلِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ، فَلَيْسَ مِمَّا يَنْبَغِي الْاِعْتِمَادُ عَلَيْهِ، وَلَئِنْ كَانَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَطْلَقَ مِثْلَ هَذَا الْقَوْلَ فَإِنَّمَا أُوْتِيَ مِنْ قِبَلِ التَّسَرُّعِ وَعَدَمِ وُسْعِ الْجُهْدِ لِتَتَبُّعِ الطُّرُقِ عَلَى هَذَا النَّحْوِ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْكَ. واللهُ تعالى هُوَ الْمُوَفِّقُ.

Maka apa yang dikutip oleh Syaikh al-Qasimi rahimahullah ta’ala dalam kitab ‘Ishlahul-Masajid’ dari ulama ahli jarh dan ta’dil bahwasanya tidak ada hadits shahih yang menjelaskan keutamaan pertengahan Sya’ban, itu termasuk pendapat yang tidak bisa dijadikan rujukan. Jika ada seorang ulama ahli jarh dan ta’dil mengungkapkan secara gamblang seperti pernyataan tersebut, maka itu disebabkan terlalu cepat menyimpulkan tanpa mencurahkan terlebih dahulu pikiran untuk menelusuri jalan-jalannya seperti yang sudah disajikan di hadapan anda ini. Hanya Allah ta’ala yang memberikan taufiq (Silsilah Ahaditsis-Shahihah no. 1144).
Hemat penulis, pernyataan Syaikh al-Qasimi di atas sebenarnya tidak salah juga, sebab memang semua sanad yang diuraikan al-Albani pun tidak ada yang shahih. Hanya mungkin Syaikh al-Qasimi belum mempraktikkan kaidah al-ahaditsud-dla’ifah yuqawwi ba’dluha ba’dlan; hadits-hadits dla’if satu sama lain saling menguatkan. Perbedaan analisa hadits seperti ini termasuk perbedaan ijtihad yang lumrah terjadi dan harus ditoleransi.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menerangkan bahwa para ulama menjelaskan keutamaan malam-malam mulia seperti nishfu Sya’ban itu diperoleh dengan menghidupkan sepanjang malamnya, sebagian besarnya, atau beberapa saatnya saja. Shahabat Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa menghidupkan malam itu cukup dengan shalat ‘isya dan shubuh berjama’ah. Imam an-Nawawi dalam hal ini menyatakan, yang terbaik tentu menghidupkan sepanjang malamnya, meski tidak sampai wajib (al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5 : 43).
Akan tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa menghidupkan malam itu bukan dengan shalat ‘nishf’ 100 raka’at. Yang ini jelas termasuk bid’ah tercela dan munkar.

فَصَلاَةُ الرَّغَائِبِ ثِنْتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي لَيْلَةِ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَب وَصَلاَةُ النِّصْفِ مِئَةَ رَكْعَةٍ، لَيْلَةَ نِصْفِ شَعْبَانَ وَهُمَا بِدْعَتَانِ مَذْمُوْمَتَانِ مُنْكَرَتَانِ… وَالْحَدِيْثُ الْوَارِدُ فِي سُنَنِ ابْنِ مَاجَهْ وَغَيره فِي صَلَاة النِّصْفِ ضَعِيفٌ

Shalat Ragha`ib 12 raka’at pada malam Jum’at pertama Rajab dan Shalat Nishf 100 raka’at pada malam nishfu Sya’ban, keduanya bid’ah tercela dan munkar… Hadits yang ada dalam Sunan Ibn Majah dan lainnya tentang shalat Nishf juga dla’if (Khulashatul-Ahkam bab bayan hukmis-shalatain al-musammatain bi shalatain-nishf war-ragha`ib).
Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang shalat khusus malam nishfu Sya’ban, menjelaskan:

إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلَاةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Apabila seseorang shalat (malam –pen) pada malam nishfu (Sya’ban) sendirian, atau pada satu jama’ah khusus sebagaimana dilakukan beberapa kelompok salaf, maka itu baik. Adapun berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan shalat tertentu, seperti berjama’ah shalat 100 raka’at membaca 1000 kali qul huwal-‘Llah ahad berulang-ulang, maka ini bid’ah yang tidak disukai oleh seorang imam pun. Wal-‘Llahu a’lam.”
Imam an-Nasafi dari madzhab Hanafi, menjelaskan dalam kitab Kanzud-Daqa`iq sebagai berikut:

وَالْمُرَادُ بِإِحْيَاءِ اللَّيْلِ قِيَامُهُ وَظَاهِرُهُ الِاسْتِيعَابُ وَيَجُوزُ أَنْ يُرَادَ غَالِبُهُ وَيُكْرَهُ الِاجْتِمَاعُ عَلَى إحْيَاءِ لَيْلَةٍ مِنْ هَذِهِ اللَّيَالِي فِي الْمَسَاجِدِ قَالَ فِي الْحَاوِي الْقُدْسِيِّ وَلَا يُصَلَّى تَطَوُّعٌ بِجَمَاعَةٍ غَيْرَ التَّرَاوِيحِ وَمَا رُوِيَ مِنْ الصَّلَوَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ الشَّرِيفَةِ كَلَيْلَةِ الْقَدْرِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَتَيْ الْعِيدِ وَعَرَفَةَ وَالْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا تُصَلَّى فُرَادَى انْتَهَى

Yang dimaksud menghidupkan malam adalah shalat malam (tahajjud), dan zhahirnya adalah sepanjang malam. Boleh juga yang dimaksud adalah sebagian besarnya. Dibenci membuat jama’ah untuk menghidupkan salah satu malam dari malam-malam mulia ini di masjid-masjid. Dijelaskan dalam kitab al-Hawi al-Qudsi, tidak boleh shalat sunat berjama’ah selain tarawih. Riwayat seputar shalat-shalat pada waktu-waktu mulia seperti lailatul-qadar, malam nishfu Sya’ban, dua malam ‘Id, ‘Arafah, dan Jum’at, adalah shalat secara sendiri-sendiri. Demikianlah.
Artinya, bagi yang mengikuti ijtihad para ulama yang menshahihkan hadits-hadits fadlilah nishfu Sya’ban adalah dengan menghidupkan malam melalui shalat malam lengkap dengan dzikir, do’a, dan istighfarnya. Bukan shalat-shalat sunat tertentu yang dilaksanakan berjama’ah dengan aturan-aturan tertentu. Kalaupun hendak dilaksanakan berjama’ah, itu kembali pada hukum shalat malam/tahajjud secara umum, yakni tidak dianjurkan dilaksanakan secara massal di masjid-masjid, melainkan berjama’ah kecil pada jama’ah-jama’ah tertentu, seperti difatwakan Ibn Taimiyyah di atas.
Keutamaan nishfu Sya’ban ini hanya terkait malamnya saja. Adapun ibadah siangnya, kembali pada dalil umum seputar shaum Sya’ban atau shaum tengah bulan. Bukan shalat dan shaum nishfu Sya’ban yang khusus dengan ritual-ritual yang tidak disyari’atkan. Wal-‘Llahu a’lam.