Sunnah Bagi Yang Tidak I’tikaf

Sunnah yang pokok dalam menyambut lailatul-qadar di 10 hari terakhir Ramadlan itu bukan i’tikaf, melainkan menghidupkan malam (ihya`ul-lail). Maka dari itu kepada yang tidak akan i’tikaf, Nabi saw tetap memerintahkan mereka untuk menghidupkan malam. Di antaranya istri-istri Nabi saw, dimana tidak ada seorang pun di antara mereka yang i’tikaf, tetapi Nabi saw tetap memerintahkan mereka untuk menghidupkan malam. Bahkan menghidupkan malam tersebut bisa disesuaikan dengan kemampuan; mau tiga malam, lima malam, tujuh malam, atau sempurna sekalian 10 malam terakhir. Bagi yang sekalian sempurna dengan i’tikafnya, tentu itu yang lebih utama dan lebih tepat dengan sunnah.


Sudah bukan zamannya lagi umat Islam terkecoh dengan pemahaman i’tikaf harus 10 hari 10 malam. Jika hanya i’tikaf malamnya saja, maka itu i’tikaf bohongan. Akibatnya lahir asumsi, daripada i’tikaf bohongan mending tidak i’tikaf sekalian. Yang benar adalah i’tikaf itu afdlalnya seperti Nabi saw full selama 10 hari 10 malam terakhir Ramadlan. Jika tidak mampu maka cukup dengan menghidupkan malamnya saja, sebab demikian Nabi saw memerintahkannya. Bahkan bagi yang mampunya hanya beberapa malam saja, Nabi saw mempersilahkannya memilih malam-malam tertentu; mau tiga malam, lima malam, tujuh malam, atau sempurna sekalian 10 malam terakhir. Masalah kemudian mau diistilahkan dengan ‘menghidupkan malam’ (ihya`ul-lail) ataukah i’tikaf—setidaknya secara bahasa—itu tidak terlalu penting. Yang paling penting, Nabi saw memang mengajarkan agar yang tidak mampu i’tikaf tetap menghidupkan malam, terutama di malam-malam pilihan. Dan ini adalah sunnah yang tidak semestinya diabaikan hanya karena munculnya tuduhan ‘i’tikaf bohongan’.
Dalam hadits ‘Aisyah, sunnah menyambut 10 hari terakhir di atas dijelaskan sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan, mempererat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024 dan Shahih Muslim kitab al-i’tikaf bab al-ijtihad fil-‘asyril-awakhir min syahri Ramadlan no. 2844).
Maksud dari “mempererat sarungnya”, Ibn Hajar menjelaskan: “Tidak pernah melepas sarungnya, menjauhi istrinya, dan bersungguh-sungguh dalam ibadah.” Praktik konkritnya adalah i’tikaf. Sementara maksud “menghidupkan malamnya” adalah: “Menghidupkannya dengan ketaatan dan menghidupkan dirinya dengan terjaga di waktu malam, karena tidur itu dekat pada makna mati.” Adapun maksud dari “membangunkan keluarganya” sebagaimana diriwayatkan at-Tirmidzi dan Muhammad ibn Nashr dari hadits Zainab putri Ummu Salamah: “Nabi saw tidak pernah apabila tersisa sepuluh hari dari Ramadlan membiarkan seorang pun dari keluarganya yang mampu bangun untuk shalat kecuali beliau akan membangunkannya”. Al-Hafizh menjelaskan lebih lanjut: “Berdasar pada pertimbangan bahwa tidak ada seorang istrinya pun yang i’tikaf, maka mungkin Nabi saw membangunkan keluarganya dari tempat i’tikafnya, atau membangunkan mereka ketika masuk ke rumahnya untuk satu keperluan.” (Fathul-Bari). Ini sekaligus menunjukkan bahwa meski ada yang sudah tertidur dahulu, Nabi saw membangunkannya untuk menghidupkan malamnya. Menghidupkan malam yang Nabi saw anjurkan itu juga yang pokoknya untuk shalat malam.
Hadits ‘Aisyah di atas memberikan tuntunan sunnah apa yang sebaiknya diamalkan memasuki fase 10 hari terakhir Ramadlan. Amal-amal yang disunnahkan nyatanya bukan hanya i’tikaf saja, tetapi yang lebih pokok ternyata adalah menghidupkan malam dengan ibadah. Sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, istri-istri Nabi saw tidak ada seorang pun yang i’tikaf di masa beliau hidup, tetapi semuanya Nabi saw perintahkan untuk bangun terjaga di sepanjang malamnya. Bahkan yang sudah tertidur pun, Nabi saw bangunkan. Terlebih lagi Nabi saw yang i’tikaf, sudah tentu beliau juga menghidupkan malamnya sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah dalam hadits di atas. Jadi baik yang tidak i’tikaf, apalagi yang sedang i’tikaf, di 10 malam terakhir Ramadlan itu sunnahnya adalah menghidupkan malam semalaman dengan ibadah. Dalam keterangan Muhammad ibn Nashr yang dikutip al-Hafizh di atas, dijelaskan bahwa menghidupkan malam itu yang pokoknya dengan shalat malam/tarawih. Jadi shalat tarawihnya diperpanjang bacaannya. Selebihnya dari itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya adalah tadarus, berdzikir, dan berdo’a.
Selanjutnya, bagi yang tidak mampu sempurna 10 malam terakhir, Nabi saw ternyata menganjurkan untuk memilih malam-malam tertentu guna meraih kemuliaan lailatul-qadar ini. Jadi tidak perlu dihiraukan lagi tuduhan-tuduhan “i’tikaf bohongan” atas praktik-praktik sunnah yang jelas diajarkan Nabi saw ini. Kalaupun faktanya bukan i’tikaf sebagaimana diteladankan Nabi saw, tidak jadi soal, sebab memang Nabi saw tidak hanya menganjurkan i’tikaf yang sempurna saja, melainkan juga menganjurkan menghidupkan malam di malam-malam tertentu. Jika itu diamalkan di masjid maka secara bahasa jelas ini adalah i’tikaf juga. Yakni i’tikaf alternatif ketika i’tikaf pilihan utama tidak mampu diamalkan. Yang keliru itu adalah yang tidak mengamalkan i’tikaf secara sempurna, juga tidak mengamalkan i’tikaf yang alternatif ini. Berikut diuraikan hadits-hadits yang memberikan tuntunan mengejar kemuliaan lailatul-qadar baik secara sempurna pada 10 malam/hari terakhir, ataupun pada malam/hari tertentunya saja.
Perintah Nabi saw untuk meraih kemuliaan lailatul-qadar pada 10 malam terakhir secara sempurna adalah:

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2020 dari hadits ‘Aisyah).
Hadits ini—sekali lagi—tidak hanya berlaku bagi yang hendak i’tikaf saja, melainkan juga bagi yang tidak hendak i’tikaf seperti istri-istri Nabi saw. Maka maksud hadits ini adalah hidupkanlah malam pada 10 malam terakhir Ramadlan, baik bagi yang tidak i’tikaf, apalagi bagi yang sedang i’tikaf.

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul-Qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).
Hadits ini memberi tuntunan bahwa lailatul-qadar bisa dicari pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir, yakni 21, 23, 25, 27, 29. Sebagaimana akan disebutkan di bawah, dalam hadits Ibn ‘Umar, tentunya ini berlaku bagi mereka yang tidak mampu mencarinya pada 10 hari secara sempurna.

هِيَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ هِيَ فِي تِسْعٍ يَمْضِينَ أَوْ فِي سَبْعٍ يَبْقَيْنَ. عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ الْتَمِسُوا فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ

Lailatul-qadar itu ada pada 10 hari terakhir, yaitu pada sembilan hari yang telah berlalu atau pada tujuh hari yang tersisa. Dari Ibn ‘Abbas: Carilah (mulai) malam ke-24 (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2022).

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan pada yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822 dari hadits Ibn ‘Umar).
Hadits Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar ini jelas memberikan tuntunan bahwa bagi yang tidak mampu mengejar pada 10 malam sempurna, bisa mengejarnya pada tujuh hari terakhir, mulai dari malam ke-24 sampai akhir.

فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023 dari hadits ‘Ubadah ibn as-Shamit)
Maksud hari/malam ke-9, 7, dan 5 itu, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang paling tepat adalah malam ke-29, 27, dan 25. Bisa juga maksudnya sebagaimana dijelaskan di hadits berikutnya yakni malam ke-9 dari yang tersisa, maksudnya malam 21, malam ke-7 berarti malam 23, dan malam ke-5 berarti malam 25.

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, yakni pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 dari yang tersisa (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021 dari hadits Ibn ‘Abbas).
Hadits Ibn ‘Abbas dan ‘Ubadah ibn as-Shamit ini memberikan pilihan kepada umat Islam untuk mengejar lailatul-qadar pada tiga malam saja, yakni malam 21, 23, dan 25, atau malam 25, 27, dan 29.
Hadits-hadits di atas memberikan tuntunan agar umat Islam berusaha maksimal meraih kemuliaan lailatul-qadar sesuai kemampuannya. Bagi yang mampu 10 malam/hari terakhir, ini tentu yang paling utama. Bagi yang mampunya hanya seminggu terakhir, ini juga dianjurkan untuk diamalkan. Bagi yang mampunya lima hari, maka dianjurkan untuk memilih tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29. Sementara bagi yang mampunya hanya tiga hari, Nabi saw membolehkannya dan menganjurkannya untuk memilih tanggal 25, 27, 29 atau 21, 23, 25. Fleksibilitas sunnah ini jelas tertuang dalam berbagai hadits shahih sebagaimana dijelaskan di atas. Maka dari itu pantang untuk diabaikan salah satu pilihannya.
Hadits riwayat at-Tirmidzi di atas menyatakan bahwa menghidupkan malam itu yang pokoknya dengan shalat malam. Bagi yang sudah tarawihnya di awal malam, maka di tengah malam dan akhir malam—jika masih mampu—diperbolehkan untuk shalat lagi. Shalatnya bisa disebut shalat muthlaq (shalat yang tidak terikat dengan syari’at yang baku). Syaratnya satu saja, tidak boleh mengulangi witirnya, sebab tidak boleh ada dua witir dalam satu malam. Shalat semacam ini juga pernah diamalkan oleh shahabat sebagaimana hadits berikut:

عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِى يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

Dari Qais ibn Thalq, ia berkata: Thalq ibn ‘Ali berkunjung ke rumah kami pada satu hari di bulan Ramadlan. Beliau ada di tempat kami sampai sore hari dan berbuka. Kemudian beliau shalat malam (tarawih) mengimami kami pada malam tersebut dan shalat witir. Kemudian beliau pulang ke masjidnya, dan shalat malam (tarawih/muthlaq) lagi bersama jama’ahnya. Sampai ketika tinggal tersisa witirnya, beliau menyuruh seseorang untuk maju menjadi imam dan berkata: “Witirlah kamu bersama sahabat-sahabat kamu, karena sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam’ (Sunan Abi Dawud bab fi naqdlil-witr no. 1441. Al-Albani: Shahih).
Hadits shahih ini menunjukkan amal seorang shahabat yang menambah lagi shalat pada malam hari sesudah tarawih di awal malam, tetapi tidak dengan witirnya. Amal shahabat dalam hal ibadah sudah Nabi saw jamin dalam hadits-hadits seputar keutamaan shahabat sebagai sebuah sunnah. Terlebih shahabat Thalq ibn ‘Ali mengamalkan praktik shalat malam di atas dalam rangka menjelaskan hadits Nabi saw: “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” Berdasarkan qaidah yang umum, shahabat lebih tahu makna hadits daripada yang lainnya, sebab mereka mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi saw, tidak seperti yang lainnya.
Berdasarkan hadits Nabi saw yang umum bahwa “shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at” berarti yang akan shalat muthlaq pada malam hari sesudah tarawih mengamalkannya dua raka’at-dua raka’at.
Wal-‘Llahu A’lam.