Status Najis Anjing

Kasus seorang wanita Katholik membawa anjing ke masjid di Sentul Bogor memancing reaksi keras dari umat Islam. Wanita itu dinilai telah melecehkan ajaran Islam tentang kenajisan anjing. Takmir masjid sampai mencuci semua karpetnya untuk menyucikannya kembali setelah diinjak-injak anjing.  


Dalam fiqih Islam, anjing masuk kategori najis mughallazhah; najis yang berlipat-lipat besarnya. Sebab ketika anjing menjilati air yang ada dalam wadah, bukan hanya airnya saja yang menjadi najis dan harus dibuang, wadahnya pun ikut terbawa najis dan harus dicuci tujuh kali dengan menyertakan tanah pada pencucian pertama atau terakhir. Umumnya meski air tidak suci, wadahnya tidak harus dicuci sampai tujuh kali. Tetapi untuk kasus air yang diminum oleh anjing, maka harus dicuci tujuh kali dengan menyertakan tanah pada pencucian pertama atau terakhir.
Ketentuan syari’at ini didasarkan pada hadits Nabi saw dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah ibn al-Mughafffal radliyal-‘Llahu ‘anhuma yang ditulis oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram sebagai berikut:

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ لَهُ: فَلْيُرِقْهُ. وَلِلتِّرْمِذِيِّ: أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Sucinya wadah salah seorang di antaramu apabila airnya diminum oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, yang pertamanya dengan tanah.” Muslim mengeluarkannya. Dalam lafazh lain masih dari riwayatnya (Muslim): “Buanglah airnya.” Dalam riwayat at-Tirmidzi: “Yang pertama atau terakhirnya dengan tanah.” (Shahih Muslim kitab at-thaharah bab hukmi wulughil-kalbi no. 674-679; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab su`ril-kalb no. 91; Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-wudlu bi su`ril-kalb no. 71-74; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab su`ril-kalb no. 64, bab al-amr bi iraqah ma fil-ina` idza walagha fihil-kalb no. 66, bab ta’firil-ina`il-ladzi walagha fihil-kalb no. 67; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab ghaslil-ina`i min wulughil-kalb no. 363-366).
Riwayat Muslim yang disebutkan al-Hafizh memerintahkan membuang airnya, bunyi lengkapnya sebagai berikut:

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ

Apabila anjing meminum air yang ada pada wadah salah seorang di antaramu maka buanglah air itu, kemudian cucilah wadah itu tujuh kali (Shahih Muslim no. 674)
Sementara keterangan tentang menyertakan tanah dalam pencucian yang bisa di awal atau di akhir dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan dalam riwayat lain sebagai berikut:

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ

Apabila anjing meminum air yang ada pada wadah maka cucilah tujuh kali dan campurkanlah pada yang kedelapannya dengan tanah (Shahih Muslim no. 679. Lafazh yang semakna terdapat juga dalam riwayat Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibn Majah).
Imam an-Nawawi menjelaskan, dari semua riwayat yang ada sudah jelas disebutkan mencuci itu hanya tujuh kali, di antaranya riwayat yang terakhir ini. Penyebutan Nabi saw “pada yang kedelapan” bukan berarti mencuci delapan kali, tetapi maksudnya pada bilangan yang ketujuh dicampur dengan tanah, sehingga tanah itu seolah-olah menjadi yang kedelapan (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab hukmi wulughil-kalbi).
Para ulama sepakat bahwa urusan mencuci wadah yang diminum air ini bagian dari ta’abbudi; ibadah. Tanah yang harus disertakan dalam pencucian tidak boleh diganti dengan deterjen, sabun, atau semacamnya. Dan mencucinya tidak boleh satu kali dengan alasan sudah cukup bersih, melainkan tetap harus tujuh kali. Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam dan al-Bassam dalam Taudlihul-Ahkam sama menjelaskan bahwa mencuci dengan tanah itu yang paling kuat adalah pada pencucian yang pertama. Selain riwayatnya lebih kuat, menurut dua ulama tersebut, juga karena lebih menjamin kebersihan. Sebab jika sudah dicuci enam kali dengan air, lalu yang ketujuhnya dengan tanah, pasti akan tetap kotor. Akan tetapi memperhatikan kesederajatan status riwayat-riwayat di atas (baik tanah itu digunakan pada yang pertama atau terakhir sama-sama diriwayatkan dalam semua kitab Shahih dan Sunan) dan isyarat dari Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram tentang kebolehan yang pertama dan terakhir, maka kedua-duanya berarti boleh diamalkan. Asalkan tanah yang disertakan pada bilangan ketujuh tetap disertai dengan air, sebagaimana dinyatakan dalam hadits terakhir di atas. Jika hanya tanah saja, tentu bukan malah bersih, melainkan menjadi kotor kembali.
Berdasarkan hadits ini para ulama sepakat bahwa anjing statusnya najis. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) kemudian terletak dalam hal bagian mana dari tubuh anjing itu yang najisnya. Imam Malik, Dawud dan az-Zuhri menyatakan hanya mulut anjing saja yang najis, sebab perintah membuang air itu disebabkan diminum saja dan itu tentunya hanya mulutnya saja. Sementara jumhur (mayoritas) ulama lainnya menyatakan yang najis adalah keseluruhan tubuh anjing itu sendiri. Mereka menjelaskan, lidah dan mulut itu adalah bagian yang paling bersih dari suatu makhluk. Maka ketika disebutkan lidahnya yang meminum air menyebabkannya najis maka itu adalah isyarat dari najis mulutnya dan keseluruhan tubuh anjing itu sendiri.
Dengan berdasar pada sikap ihtiyath (kehati-hatian), maka pendapat mayoritas ulama lebih selamat untuk dipegang. Terlebih penemuan ilmiah hari ini menyatakan bahwa dalam tubuh anjing, bukan hanya mulutnya saja, berkembang biak mikroba-mikroba yang berbahaya bagi manusia. Hanya tentu dalam hal mencuci tujuh kalinya, itu dikhususkan pada wadah yang berisi air lalu diminum anjing, sebab hadits membatasi pada anjing yang walagha pada wadah berisi air, dan ini bagian dari ta’abbudi yang tidak bisa diperluas atau dipersempit menurut selera kita. Adapun benda-benda selainnya yang kering, maka cukup dicuci biasa saja (Subulus-Salam dan Taudlihul-Ahkam).
Hadits di atas tidak perlu dipertentangkan dengan syari’at yang membolehkan berburu hewan buruan dengan anjing. Sebagaimana dijelaskan Al-Hafizh Ibn Hajar, ini justru menjadi pengecualian, yakni bahwa hewan buruan yang diburu oleh anjing untuk majikannya statusnya tetap suci dan halal serta tidak menjadi najis.

وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى طَهَارَة سُؤْر كَلْب الصَّيْد دُونِ غَيْره مِنْ الْكِلَاب لِلْإِذْنِ فِي الْأَكْل مِنْ الْمَوْضِع الَّذِي أَكَلَ مِنْهُ، وَلَمْ يَذْكُر الْغَسْل وَلَوْ كَانَ وَاجِبًا لَبَيَّنَهُ لِأَنَّهُ وَقْت الْحَاجَة إِلَى الْبَيَان. وَقَالَ بَعْض الْعُلَمَاء : يُعْفَى عَنْ مَعَضّ الْكَلْب وَلَوْ كَانَ نَجَسًا لِهَذَا الْحَدِيث

Hadits ini (tentang hewan yang diburu oleh anjing) dijadikan dalil sucinya air/makanan bekas jilatan/gigitan anjing pemburu dan tidak untuk anjing yang bukan pemburu, karena adanya izin untuk memakan bagian yang dimakan anjing. Hadits ini tidak menyebutkan keharusan mencucinya. Seandainya itu wajib pasti Rasul saw menjelaskannya karena saat itu adalah saat dibutuhkan penjelasan (dan ketika tidak dijelaskan menunjukkan bahwa itu tidak disyari’atkan—pen). Sebagian ulama lainnya menjelaskan: Dimaafkan bagian yang digigit anjing berdasarkan hadits ini meskipun anjing itu najis (Fathul-Bari bab at-tasmiyah ‘alas-shaid).
Atau bisa juga sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ismai’ili bahwa tidak dijelaskannya dalam hadits di atas keharusan mencuci bekas gigitan anjing bukan berarti tidak diperintahkan. Kaidahnya adalah sesuatu yang tidak disebutkan bukan berarti tidak ada. Sebab darah yang sudah jelas najisnya pun, menurut Imam al-Isma’ili, tidak dijelaskan oleh Nabi saw harus dibersihkan. Maka dari itu kembali pada hukum yang umum meskipun tidak dijelaskan dalam hadits di atas, yakni bahwa bekas gigitan anjing dan darah yang diakibatkannya adalah najis dan harus dibersihkan. Ini didasarkan pada hadits-hadits umum yang menjelaskan kenajisannya, di antaranya hadits di atas (Fathul-Bari bab al-ma`il-ladzi yughsalu bihi sya’rul-insan wa su`ril-kilab wa mamarriha fil-masajid). Hemat penulis, apa yang dijelaskan Imam al-Isma’ili ini lebih tepat dalam hal thariqatul-jam’i (pendekatan menyatukan pemahaman hadits dan tidak mempertentangkannya).
Pendekatan memahami hadits yang sama juga harus diberlakukan pada hadits Abu Hurairah tentang anjing yang kehausan lalu diberi minum oleh seorang pengembara dengan menggunakan sepatunya. Tidak perlu dijadikan dalil bahwa sepatu itu pastinya dipakai oleh pengembara tadi dan ternyata tidak dicuci lagi, sehingga menunjukkan bahwa wadah yang airnya diminum oleh anjing statusnya tidak selalu najis.

أَنَّ رَجُلًا رَأَى كَلْبًا يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَأَخَذَ الرَّجُلُ خُفَّهُ فَجَعَلَ يَغْرِفُ لَهُ بِهِ حَتَّى أَرْوَاهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya ada seorang lelaki melihat anjing menjilat-jilat tanah karena kehausan. Lalu orang itu mengambil sepatunya (lalu mengambil air) dan meminumkannya ke anjing tersebut sehingga ia kenyang. Allah berterima kasih kepadanya dan memasukkannya ke surga (Shahih al-Bukhari bab al-ma`il-ladzi yughsalu bihi sya’rul-insan wa su`ril-kilab wa mamarriha fil-masajid no. 173).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa yang diceritakan oleh Nabi saw di atas dijelaskan dalam riwayat lain adalah seorang lelaki dari Bani Israil zaman dahulu, sehingga syari’at pada zaman tersebut tidak bisa dijadikan rujukan syari’at Nabi saw saat ini secara otomatis. Terlebih tidak disebutkannya bahwa ia mencuci sepatunya tidak berarti ia tidak mencucinya. Bisa jadi ia mencucinya, hanya tidak diinformasikan saja dalam kisah yang ringkas tersebut. Atau bisa juga ia tidak memakai sepatunya kembali. Atau bisa jadi ia menuangkannya pada wadah yang lain lalu anjing minum dari wadah tersebut dan bukan dari sepatunya langsung (Fathul-Bari bab al-ma`il-ladzi yughsalu bihi sya’rul-insan wa su`ril-kilab wa mamarriha fil-masajid).
Demikian halnya, hadits tentang najisnya anjing di atas tidak perlu dipertentangkan dengan hadits yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi saw sudah biasa ada anjing-anjing yang berlalu lalang ke dalam masjid dan tidak pernah disiram bekasnya dengan air. Hadits yang dimaksud adalah:

عَنْ ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

Dari Ibn ‘Umar ra ia berkata: “Anjing-anjing biasa kencing, datang dan pergi di masjid pada zaman Rasulullah saw, dan mereka (para shahabat) tidak menyiramkan apapun pada bekasnya.” (Shahih al-Bukhari bab al-ma`il-ladzi yughsalu bihi sya’rul-insan wa su`ril-kilab wa mamarriha fil-masajid no. 173).
Al-Hafizh Ibn Hajar menerangkan, dalam riwayat lain jelas disebutkan bahwa hadits Ibn ‘Umar tersebut kejadiannya pada masa awal hijrah karena disebutkan dalam haditsnya Ibn ‘Umar biasa tidur di masjid, dan itu tentunya di masa awal hijrah. Pada masa-masa awal belum ada perintah untuk membersihkan masjid dari segala kotoran. Sementara hadits yang memerintahkan mencuci wadah yang dijilat anjing di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan ‘Abdullah ibn Mughaffal, dimana keduanya baru masuk Islam pada tahun 7 H atau di masa akhir hijrah. Maka dari itu yang paling tepat untuk difahami adalah anjing itu tetap najis dan hadits Ibn ‘Umar itu terjadinya sebelum disyari’atkan wajibnya membersihkan masjid dari yang najis dan kotor.

وَالْأَقْرَب أَنْ يُقَال : إِنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي اِبْتِدَاء الْحَال عَلَى أَصْل الْإِبَاحَة ثُمَّ وَرَدَ الْأَمْر بِتَكْرِيمِ الْمَسَاجِد وَتَطْهِيرهَا وَجَعْل الْأَبْوَاب عَلَيْهَا ، وَيُشِير إِلَى ذَلِكَ مَا زَادَهُ الْإِسْمَاعِيلِيّ فِي رِوَايَته مِنْ طَرِيق اِبْن وَهْب فِي هَذَا الْحَدِيث عَنْ اِبْن عُمَر قَالَ : كَانَ عُمَر يَقُول بِأَعْلَى صَوْته ” اِجْتَنِبُوا اللَّغْو فِي الْمَسْجِد ” قَالَ اِبْن عُمَر : وَقَدْ كُنْت أَبِيت فِي الْمَسْجِد عَلَى عَهْد رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ الْكِلَاب . . . إِلَخْ ، فَأَشَارَ إِلَى أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي الِابْتِدَاء ، ثُمَّ وَرَدَ الْأَمْر بِتَكْرِيمِ الْمَسْجِد حَتَّى مِنْ لَغْو الْكَلَام ، وَبِهَذَا يَنْدَفِع الِاسْتِدْلَال بِهِ عَلَى طَهَارَة الْكَلْب . وَأَمَّا قَوْله ” فِي زَمَن رَسُول اللَّه ﷺ ” فَهُوَ وَإِنْ كَانَ عَامًّا فِي جَمِيع الْأَزْمِنَة لِأَنَّهُ اِسْم مُضَاف لَكِنَّهُ مَخْصُوص بِمَا قَبْل الزَّمَن الَّذِي أُمِرَ فِيهِ بِصِيَانَةِ الْمَسْجِد

Yang paling tepat untuk disimpulkan adalah sesungguhnya hal itu (anjing masuk masjid) adalah pada masa-masa awal ketika masih dibolehkan. Setelah itu baru ada perintah memuliakan masjid, mensucikannya, dan memasang pintu. Dalilnya adalah hadits ini tetapi riwayat Isma’ili dari jalan Ibn Wahb dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “ ‘Umar berteriak dengan keras: Jauhkanlah hal-hal yang mengganggu dari masjid.” Ibn ‘Umar berkata: “Sungguh aku pada masa Rasulullah saw tidur di masjid, dan anjing-anjing biasa berlalu lalang di masjid…”
Maka riwayat ini menunjukkan bahwa anjing-anjing masuk masjid itu di masa-masa awal, setelah itu ada perintah untuk memuliakan masjid sampai dari obrolan yang tidak berguna sekalipun. Dengan ini maka tertolaklah pendapat bahwa anjing suci.
Pernyataan “pada zaman Rasulullah saw” meskipun itu mencakup umum karena isim mudlaf, tetapi kemudian dikhususkan dengan zaman sebelum ada perintah menjaga kebersihan masjid (Fathul-Bari bab al-ma`il-ladzi yughsalu bihi sya’rul-insan wa su`ril-kilab wa mamarriha fil-masajid).
Meski demikian al-Hafizh Ibn Hajar tidak menampik kemungkinan Imam al-Bukhari menganut fiqih bahwa anjing itu tidak najis dengan menyajikan hadits tentang berburu dengan anjing, pengembara yang memberi minum anjing dengan sepatunya, dan hadits tentang anjing-anjing biasa berlalu lalang di masjid pada zaman Rasul saw. Hanya saja fiqih seperti ini tidak dijadikan pilihan oleh mayoritas ulama.
Fiqih tidak selalu berada dalam wilayah hitam putih halal dan haram. Banyak di antaranya yang berada pada wilayah abu-abu karena tidak disepakatinya mana batas-batas yang halal dan haram. Dalam kondisi seperti ini maka fiqih menuntut sikap wara’; menjauhi syubhat agar tidak terjerumus pada yang haram. Dalam konteks fiqih najis anjing di atas tentu akan lebih selamat mengikuti fiqih jumhur ulama. Selain karena adanya jaminan Nabi saw bahwa “kekuasaan/tangan Allah itu ada pada jama’ah/mayoritas” juga sebagai sikap wara’. Tidak ada ruginya mencuci bekas anjing, karena kalaupun tidak najis, tetap menjadi lebih bersih. Seandainya benar najis pun, sudah selamat karena sudah dibersihkan.
Wal-‘Llahu a’lam.