Shalat Rawatib Zhuhur Empat Raka’at

Bismillah. Jika dalam edisi sebelumnya dibahas bahwa shalat ba’da Jum’at ada yang empat raka’at, apakah benar rawatib zhuhur juga ada yang empat raka’at? Jazakallahu khairan katsiran atas jawabannya. 08565935xxxx
Shalat rawatib zhuhur, baik qabla (sebelum zhuhur) atau ba’da (sesudah zhuhur), ada diriwayatkan yang empat raka’at, selain tentu yang dua raka’at. al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram menuliskan:

 وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

376- Dari ‘Aisyah ra: “Sesungguhnya Nabi saw tidak pernah meninggalkan empat raka’at qabla zhuhur dan dua raka’at qabla shubuh.” Al-Bukhari meriwayatkannya (Shahih al-Bukhari bab ar-rak’atain qablaz-zhuhr no. 1182)

 وَلِلتِّرْمِذِيِّ نَحْوُهُ, وَزَادَ: أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا, وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ, وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ, وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ.

380- Dalam riwayat at-Tirmidzi seperti itu (hadits Ummu Habibah no. 379 yang mensunnahkan shalat rawatib 12 raka’at sehari semalam), dan ada tambahan: “Empat raka’at qabla zhuhur, dua raka’at ba’da zhuhur, dua raka’at ba’da maghrib, dua raka’at ba’da ‘isya, dan dua raka’at qabla shubuh.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi man shalla fi yaum wa lailah tsintai ‘asyrata rak’ah no. 415).

 وَلِلْخَمْسَةِ عَنْهَا: مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

381- Dalam riwayat lima imam (Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Ibn Majah) darinya (Ummu Habibah): “Siapa yang merutinkan empat raka’at qabla zhuhur dan empat raka’at ba’da zhuhur, Allah akan mengharamkan neraka untuknya.” (Sunan Abi Dawud bab al-arba’ qablaz-zhuhr no. 1269; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fir-rak’atain qablaz-zhuhr no. 428; Sunan an-Nasa`i bab tsawab man shalla fi yaum wa lailah tsintai ‘asyrata rak’ah no. 1816).
Dalam at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ashhabus-sunan min haditsiha wa lahu thuruq ‘indan-nasa`iy; riwayat imam-imam penulis kitab sunan dari haditsnya (Ummu Habibah), dan hadits ini ada banyak sanadnya sebagaimana diriwayatkan an-Nasa`i (At-Talkhishul-Habir no. 503). Itu dikarenakan hadits ini ada yang mengkritik, dan menurut al-Hafizh tidak menjadi masalah karena ada banyak jalannya. Kritikan itu sendiri terkait rawi, Makhul yang menerima hadits ini dari ‘Anbasah ibn Abu Sufyan, dari Ummu Habibah, dari Rasulullah saw. Menurut Imam al-Bukhari, Yahya ibn Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan an-Nasa`i, rawi Makhul tidak menerima dari ‘Anbasah ibn Abu Sufyan. Akan tetapi al-Hafizh sendiri lebih memilih penilaian Duhaim yang menurutnya lebih mengetahui rawi-rawi orang Syam dan menyatakan bahwa Makhul menerima hadits dari ‘Anbasah (At-Talkhishul-Habir no. 165).
Kalaupun sampai divonis munqathi’ (terputus) tetap saja tidak jadi dla’if karena dikuatkan oleh sanad-sanad lainnya sebagaimana diuraikan dalam kitab-kitab sunan, yaitu: (1) ‘Abdullah ibn Muhajir seorang rawi yang maqbul (diterima jika ada rawi lain yang menguatkan—dan faktanya memang ada) yang sama menerima dari ‘Anbasah, dari Ummu Habibah. (2) al-Qasim ibn ‘Abdirrahman seorang rawi yang shaduq yaghribu katsiran; jujur tapi sering meriwayatkan gharib, yang sama menerima dari ‘Anbasah, dari Ummu Habibah. (3). Hassan ibn ‘Athiyyah seorang rawi yang tsiqah ‘abid faqih; terpercaya agama dan kecerdasannya, ahli ibadah, dan ahli fiqih, yang sama menerima dari ‘Anbasah, dari Ummu Habibah.
Mukharrij kontemporer seperti Syaikh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth juga menshahihkan hadits ini dalam kitab-kitab atau ta’liq takhrij mereka. Wal-‘Llahu a’lam.