Shalat ‘Isya Tidak Lebih Baik Diakhirkan

Banyak masyarakat yang salah paham bahwa shalat ‘isya itu lebih baik diakhirkan berdasarkan hadits Nabi saw. Akibatnya mereka banyak yang abai dari shalat ‘isya di awal waktu. Padahal Nabi saw sudah mengingatkan bahwa ciri kemunafiqan itu salah satunya selalu terlambat shalat ‘isya. Sejatinya juga hadits Rasul saw tentang keutamaan shalat ‘isya diakhirkan tidak seperti yang dipahami masyarakat umum.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعِشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ, ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى, وَقَالَ: إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—pada suatu malam pernah mengakhirkan shalat ‘isya hingga hampir lewat tengah malam. Beliau kemudian keluar dan shalat. Beliau menjelaskan: “Sesungguhnya ini adalah waktunya seandainya tidak memberatkan umatku.” (Bulughul-Maram bab al-mawaqit)
Hadits ‘Aisyah di atas dituliskan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim kitab al-masajid bab waqtil-‘isya wa ta`khiriha (waktu isya dan mengakhirkannya) no. 1477. Matan lengkap yang tertulis dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ النَّبِىُّ ﷺ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى

Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Nabi—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—pada suatu malam pernah mengakhirkan shalat ‘isya hingga hampir lewat tengah malam dan jama’ah masjid sudah tidur. Beliau kemudian keluar dan shalat. Beliau menjelaskan: “Sesungguhnya ini adalah waktunya seandainya tidak memberatkan umatku.”
Imam al-Qurthubi dan at-Thabari menjelaskan bahwa ‘atamah itu perahan susu unta yang terakhir di waktu malam (Fathul-Bari bab dzikrul-‘isya wal-‘atamah). Imam an-Nawawi sendiri menjelaskannya sebagai waktu ketika malam sudah benar-benar gelap/zhulumatul-lail (Syarah Shahih Muslim). Di dalam Shahih Muslim, dari berbagai variasi matan hadits tentang mengakhirkan shalat ‘isya sampai ‘atamah ini, diketahui bahwa waktu ‘atamah yang dimaksud adalah waktu ketika orang-orang mulai tidur, saat anak-anak dan kaum perempuan tidur malam, setelah lewat sepertiga malam hingga menjelang tengah malam. Matan yang menyebutkan ketika orang-orang sudah tidur adalah yang ditulis di atas (no. 1477). Sementara matan lainnya adalah sebagai berikut:

حَتَّى قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ

Sampai ‘Umar ibn al-Khaththab berkata: ‘Ibu-ibu dan anak-anak sudah tidur’ (Shahih Muslim no. 1475-1476).

فَخَرَجَ إِلَيْنَا حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ بَعْدَهُ فَلاَ نَدْرِى أَشَىْءٌ شَغَلَهُ فِى أَهْلِهِ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ

Beliau keluar kepada kami ketika lewat sepertiga malam atau sesudahnya. Kami tidak tahu apakah karena ada satu kesibukan di keluarganya atau selain itu (Shahih Muslim no. 1478. Hadits Ibn ‘Umar)

أَخَّرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الْعِشَاءَ ذَاتَ لَيْلَةٍ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ أَوْ كَادَ يَذْهَبُ شَطْرُ اللَّيْلِ

Rasulullah saw mengakhirkan shalat ‘isya pada suatu malam sampai tengah malam atau hampir lewat tengah malam (Shahih Muslim no. 1480. Hadits Anas).

نَظَرْنَا رَسُولَ اللهِ ﷺ لَيْلَةً حَتَّى كَانَ قَرِيبٌ مِنْ نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى

Kami menunggu Rasulullah saw pada suatu malam sampai menjelang tengah malam. Kemudian beliau datang dan shalat (Shahih Muslim no. 1480. Hadits Anas).

حَتَّى أَعْتَمَ بِالصَّلاَةِ حَتَّى ابْهَارَّ اللَّيْلُ ثُمَّ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَصَلَّى بِهِمْ

Sehingga mengakhirkan shalat sampai tengah malam. Kemudian Rasulullah saw keluar dan shalat bersama mereka (Shahih Muslim no. 1483. Hadits Abu Musa).
Dari variasi matan di atas diketahui bahwa maksud ‘ammatul-lail dalam hadits ‘Aisyah di awal bukan ‘seluruh malam’ sehingga Nabi saw mengakhirkannya sampai akhir malam, tetapi sekitar sepertiga sampai setengah malam. Dalam hal ini Imam an-Nawawi menegaskan:

ذَهَبَ عَامَّة اللَّيْل) أَيْ كَثِير مِنْهُ وَلَيْسَ الْمُرَاد أَكْثَره… وَلَا يَجُوز أَنْ يَكُون الْمُرَاد بِهَذَا الْقَوْل مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل لِأَنَّهُ لَمْ يَقُلْ أَحَد مِنْ الْعُلَمَاء: إِنَّ تَأْخِيرهَا إِلَى مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل أَفْضَل

Maksud (lewat keseluruhan malam) adalah kebanyakan malam, bukan keseluruhannya… Tidak boleh dipahami dari pernyataan ini bahwa itu adalah setelah lewat tengah malam, sebab tidak ada seorang pun ulama yang menyatakan mengakhirkan ‘isya sampai lewat tengah malam adalah lebih utama (Syarah Shahih Muslim).
Dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr (Bulughul-Maram no. 163) yang sudah disinggung sebelumnya, Nabi saw sendiri menyatakan:

وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ

Waktu shalat ‘isya sampai setengah malam yang pertengahan (Shahih Muslim kitab al-masajid bab auqatis-shalawatil-khams no. 1419).
Terkait mana yang lebih baik dalam pelaksanaan shalat ‘isya apakah awal malam atau selepas sepertiga malam, menurut Imam an-Nawawi, para ‘ulama terbagi kepada dua madzhab:
Pertama, madzhab yang menilai awal malam lebih baik sebab Nabi saw merutinkan demikian. Meski Nabi saw menyatakan selepas sepertiga malam lebih baik tetapi takut memberatkan umatnya, nyatanya Nabi saw tidak merutinkannya. Tidak seperti halnya bersiwak yang meskipun Nabi saw menyatakan takut memberatkan umatnya tetapi Nabi saw sendiri merutinkannya setiap saat.
Kedua, madzhab ulama yang menilai bahwa selepas sepertiga malam lebih baik sebab memang Nabi saw sendiri yang menyatakan demikian. Kalaupun Nabi saw tidak merutinkannya, itu karena takut memberatkan umatnya. Jadi sekiranya tidak berat, maka yang afdlal adalah yang lewat sepertiga malam. Menurut para ulama madzhab ini, kedudukannya tidak jauh beda dengan shalat Tarawih yang sengaja Nabi saw tidak rutinkan karena takut memberatkan umat. Ketika ketakutan itu hilang, maka shalat Tarawih boleh dirutinkan seperti halnya sekarang ini (Syarah Shahih Muslim).
Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri menjelaskan baik dan tidaknya shalat ‘isya di awal atau di akhir, berdasarkan hadits-hadits shahih yang menerangkannya, tergantung pada kondisi jama’ah. Jika jama’ah shalat sudah banyak, maka lebih baik diawalkan. Jika masih sedikit, lebih baik diakhirkan.

وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا: إِذَا رَآهُمُ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ, وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ, وَالصُّبْحَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ

Shalat ‘isya terkadang beliau mengawalkannya dan terkadang mengakhirkannya. Apabila beliau melihat jama’ah sudah berkumpul, beliau menyegerakannya. Tetapi apabila beliau melihat mereka terlambat, beliau mengakhirkannya. Sementara shubuh Nabi saw mengerjakan shalatnya ketika masih gelap (Hadits Jabir ra dalam Shahih al-Bukhari kitab mawaqitus-shalat bab waqtil-maghrib no. 560 dan bab waqtil-‘isya no. 565; Shahih Muslim kitab al-masajid bab istihbabit-tabkir bis-shubhi fi awwali waqtiha [anjuran menyegerakan shubuh di awal waktunya] no. 1492).
Matan pada riwayat al-Bukhari no. 565 tertulis:

وَالْعِشَاءَ إِذَا كَثُرَ النَّاسُ عَجَّلَ وَإِذَا قَلُّوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ بِغَلَسٍ

“Shalat ‘isya, apabila orang-orang (jama’ah shalat) banyak, beliau menyegerakan, dan apabila sedikit, beliau mengakhirkan. Sementara shalat shubuh di waktu masih gelap.”
Jadi mengakhirkan ‘isya lebih baik itu karena faktor shalat berjama’ahnya, bukan karena keinginan pribadi apalagi karena malas. Oleh sebab itu, jika shalat berjama’ah di masjid diselenggarakan di awal waktu, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk sengaja tidak menghadirinya karena alasan lebih baik diakhirkan. Keputusan ‘lebih baik diakhirkan’ itu ada pada imam. Jika imam memandang lebih baik menunggu dahulu jama’ah lain yang belum datang dan memang akan datang, maka diakhirkan lebih baik. Tetapi jika imam memandang shalat ‘isya berjama’ah lebih baik diawalkan—meskipun jama’ah sedikit karena diduga kuat tidak akan bertambah lagi—maka setiap muslim dituntut untuk mengikuti shalat berjama’ah tersebut tanpa berdalih lebih baik diakhirkan.
Al-Hafizh Ibn Hajar menegaskan:

وَرِوَايَةُ مُسْلِمِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الَّتِي تَقَدَّمَتْ تَدُلّ عَلَى أَخَصَّ مِنْ ذَلِكَ، وَهُوَ أَنَّ اِنْتِظَار مَنْ تَكْثُرُ بِهِمْ الْجَمَاعَة أَوْلَى مِنْ التَّقْدِيم، وَلَا يَخْفَى أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ مَا إِذَا لَمْ يَفْحُشْ التَّأْخِيرُ وَلَمْ يَشُقَّ عَلَى الْحَاضِرِينَ، وَاَللَّه أَعْلَم

Riwayat Muslim ibn Ibrahim di atas (riwayat al-Bukhari no. 565 di atas—pen) menunjukkan yang lebih khusus dari itu, yakni bahwa menunggu agar jama’ah lebih banyak kedudukannya lebih utama daripada mendahulukan ‘isya di awal waktu. Tetapi tentunya hal ini berlaku selama mengakhirkan itu tidak melampaui batas/dijadikan kebiasaan jelek dan juga tidak memberatkan jama’ah yang sudah hadir. Wal-‘Llahu a’lam (Fathul-Bari bab waqtil-maghrib).
Terkait menunggu jama’ah shalat ‘isya sebagaimana disinggung Ibn Hajar di atas, Imam al-Khaththabi membenarkannya. Sebagaimana dikutip oleh Imam an-Nawawi, beliau menyatakan bahwa shalat ‘isya diakhirkan lebih utama itu karena ada keutamaan menunggu shalat ‘isyanya di masjid. Menunggu satu shalat itu pahalanya sama dengan shalat, sebagaimana disabdakan Nabi saw:

الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ لَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلَاةُ

Para malaikat senantiasa mendo’akan kesejahteraan salah seorang di antaramu selama ada di tempat shalatnya dan selama ia belum hadats/batal. Do’a malaikat: Ya Allah, ampunilah orang ini. Ya Allah, rahmatilah orang ini. Seseorang di antaramu selamanya dinilai shalat selama ia tertahan oleh shalat dan tidak ada yang menghalanginya untuk pulang ke rumah kecuali shalat (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab man jalasa fil-masjid yantazhirus-shalat no. 659)
Dengan hujjah ini berarti tampak jelas juga bahwa orang yang mengakhirkan ‘isya secara pribadi dan kemudian mengamalkannya di rumah, bukan karena menunggu shalat ‘isya di masjid, jelas tidak utamanya.
Lebih tegasnya, dalam riwayat lain Nabi saw menjelaskan:

إِنَّكُمْ لَتَنْتَظِرُونَ صَلاَةً مَا يَنْتَظِرُهَا أَهْلُ دِينٍ غَيْرُكُمْ وَلَوْلاَ أَنْ يَثْقُلَ عَلَى أُمَّتِى لَصَلَّيْتُ بِهِمْ هَذِهِ السَّاعَةَ. ثُمَّ أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَصَلَّى

“Sungguh kalian menunggu satu shalat yang tidak ada satu pemeluk agama pun selain kalian sedang menunggunya. Seandainya tidak memberatkan umatku, pasti aku shalat bersama mereka pada saat ini.” Beliau kemudian memerintah muadzdzin untuk iqamah, ia lalu mengumandangkan iqamah shalat, dan kemudian shalat (Shahih Muslim no. 1478. Hadits Ibn ‘Umar).
Jadi shalat ‘isya lebih baik diakhirkan bukan semata-mata karena faktor waktunya, yakni waktu menjelang tengah malam lebih baik, melainkan juga karena pahala menunggu shalat berjama’ahnya. Di sini terlihat juga bahwa keutamaannya terletak pada shalat berjama’ahnya, bukan shalat sendirian meski itu dilaksanakan menjelang tengah malam. Wal-‘Llahu a’lam.
Catatan:
Khusus di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, jika shalat di rumah tidak berjama’ah dengan keluarga, maka keutamaan shalat isya menjelang tengah malam bisa berlaku.