Sejarah Maulid Nabi Muhammad ﷺ

Sejarah telah membuktikan bahwa perayaan maulid Nabi saw baru diadakan 500 tahun setelah Nabi saw wafat dan penggagasnya adalah dinasti penguasa Syi’ah. Karena faktor politis agar tidak kalah simpati dari umat maka penguasa Ahlus-Sunnah pun menggelar acara serupa, di samping untuk menyatukan barisan umat dalam menghadapi musuh pasukan Salib. Maka sungguh berlebihan jika disebutkan maulid sebagai sunnah Nabi saw dan yang tidak menyelenggarakannya berarti bukan umat Nabi saw. Atau yang menjadikannya sebagai barometer kecintaan kepada Nabi saw sehingga yang mengabaikan perayaannya berarti tidak cinta Nabi saw. Jika demikian berarti generasi salaf dan ulama madzhab bukan umat Nabi saw dan bukan pencinta Nabi saw.


Hasan Sandubi, seorang sejarawan Mesir kontemporer dalam kitabnya Tarikhul-Ihtifal bil-Maulidin-Nabawi, minal-‘Asril-Awwal ila ‘Asr Faruqil-Awwal, menyatakan bahwa perayaan maulid berawal pada masa Dinasti Fathimiyyah Syi’ah di Mesir, tepatnya di masa pemerintahan Al-Mu’iz yang memerintah pada tahun 441-465 H/953-975 M. Sementara menurut Jamaluddin ibnul-Ma’mun (w. 1192 M), perayaan Maulid pertama kali dilakukan pada masa Khalifah Badrul-Juyusy al-Amir pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal tahun 517 H/1123 M. Sementara Ibnut-Tuwair dalam kitabnya Nuzhatul-Muqlatain fi Akhbarid-Daulatain menyatakan hal yang serupa, namun menegaskan bahwa perayaan maulid dilaksanakan pada setiap 12 Rabi’ul Awwal. Meski ada perbedaan, tetapi ketiganya sepakat bahwa perayaan maulid mulai ada pada masa Dinasti Fathimiyyah Mesir (909-1171 M) atau sekitar lima abad sesudah Nabi saw wafat (Nico Kaptein, Perayaan Hari lahir Nabi Muhammad SAW, Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1994).
Selain perayaan maulid Nabi Muhammad saw, dirayakan juga lima maulid lainnya, yaitu maulid ‘Ali ibn Abi Thalib ra, Fathimah Azzahra ra, al-Hasan ra, al-Husain ra, dan maulid imam Syi’ah Isma’ili yang hidup saat itu atau khalifah yang memerintah saat itu. Perayaan maulid di masa Dinasti Fathimiyyah Syi’ah, Mesir, merupakan salah satu upaya dari penguasa untuk meraih simpati rakyat yang mayoritas Ahlus-Sunnah.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Ma’mun, prosesi maulid yang dipimpin oleh Khalifah Badrul-Juyusy al-Amir, diisi dengan pembagian shadaqah sebanyak 6000 dirham, pembagian manisan, madu, dan roti kepada para pejabat, penjaga makam keramat tokoh Fathimiyyah dan kepada masyarakatnya. Sementara menurut Ibnut-Tuwair, prosesi Maulid Nabi saw dimulai dengan penyiapan sajian berupa manisan, roti dan lainnya bagi para tamu. Setelah shalat Zhuhur, Qadli Utama dan para notaris diperintahkan membagikan makanan yang telah disiapkan. Jalanan dikosongkan untuk iring-iringan undangan. Masyarakat menghentikan aktifitas kesehariannya dan tumpah di istana untuk mengikuti maulid Nabi saw. Dilanjutkan dengan pembacaan al-Qur`an oleh para qari terbaik. Dilanjutkan dengan khutbah dari beberapa imam masjid terkemuka di Mesir, diantaranya: masjid Anwar/al-Hakim, masjid Al-Azhar, masjid al-Qamar. Setiap imam menyampaikan keutamaan hari tersebut karena telah lahir sang penyempurna risalah. Setelah berkhutbah, imam-imam masjid itu mendo’akan sang khalifah di akhir setiap khutbahnya.
Di kalangan Sunni sendiri, perayaan maulid tercatat pertama kali diselenggarakan oleh Nuruddin Zengi (511-569 H/1118-1174 M) di Suriah. Tidak diragukan lagi adanya kaitan perayaan maulid dinasti Fathimiyyah dan perayaan maulid di kaum Sunni disebabkan hubungan Mesir dan Suriah yang intensif sebagai jalur perdagangan, sehingga kebiasaan dinasti Fathimiyyah dalam merayakan maulid di Mesir, juga diketahui masyarakat di Suriah. Dari sejak saat itu, mulailah para penguasa Sunni lainnya turut merayakan maulid Nabi saw di daerah tempat mereka berkuasa.
Gambaran umum mengenai prosesi perayaan maulid di kalangan Sunni pada masa itu, sebagaimana disimpulkan oleh Nico Kaptein adalah: (1) Suasana yang meriah saat penerimaan tamu dan ketika syair-syair dideklamasikan. (2) Pesta maulid yang diikuti oleh penguasa, golongan sufi, dan rakyat. (3) Pelaksanaan maulid tidak seragam, yang pasti perayaan selalu dalam bulan Rabi’ul Awwal dan tanggal pelaksanaan berbeda-beda, termasuk waktu dan lamanya perayaan tidak sama. (4) Sebuah unsur penting dalam setiap perayaan maulid adalah hadirnya banyak tamu yang terdiri dari penyair, pejabat, ulama, dan rakyat. Kehadiran mereka menunjukkan sebuah kesetiaan dan penghormatan terhadap tuan rumah penyelenggara maulid. (5) Dalam perayaan maulid dinasti Fathimiyyah, ditampakkan hubungan yang kuat antara penguasa dengan ahlul-bait (keluarga Nabi saw). Dalam perayaan maulid Sunni, hal seperti ini tidak tampak. (6) Dibagikannya hadiah kepada setiap tamu yang hadir, dengan jumlah, jenis dan ukuran yang disesuaikan dengan strata sosial para tamu. Hal ini menunjukkan bahwa perayaan maulid memiliki fungsi sosial dan politik yang sangat berperan penting bagi penguasa pada zamannya.
Dari sejak saat itu menyebarlah tradisi peringatan maulid di kalangan umat Islam yang menyetujuinya, sebab dari sejak awal cukup banyak juga ulama yang tidak menyetujui perayaan maulid. Di antaranya Imam Tajuddin al-Fakihani (654-734 H/1256-1334 H), seorang ulama Mesir madzhab Maliki, dengan kitabnya, al-Maurid fi ‘Amalil-Maulid. Al-Fakihani dengan tegas menyatakan bahwa perayaan maulid tidak ada dasar dalilnya. Dengan sendirinya bukan sunnah, melainkan bid’ah. Pembagian bid’ah pada lima menjadi wajib, sunnat, mubah, haram dan makruh, ditolak tegas oleh al-Fakihani. Menurutnya, bid’ah tidak mungkin wajib atau sunnat, sebab untuk dua hukum ini kriterianya harus ada “tuntutan/perintah dari pembuat syari’at”. Bid’ah juga tidak mungkin mubah, sebab dilarang Nabi saw dan ditentang oleh para ulama di setiap zaman. Pilihannya hanya haram atau makruh. Dalam kaitan muludan, menurut al-Fakihani, muludan menjadi haram ketika faktanya hanya diisi dengan pesta rakyat, bernyanyi, dan bercampur baur lelaki dan wanita. Dan muludan bisa hanya makruh jika sebatas mengeluarkan uang untuk makan-makan, sesuatu yang jelas tidak bermanfaat dalam urusan agama.
Tradisi makan-makan dan atau berbagi makanan dalam perayaan maulid sebagaimana dikritik oleh al-Fakihani di atas, itulah yang selalu menonjol dari perayaan maulid, selain tentunya dzikir-dzikir khusus yang juga dibuat-buat. Di Nusantara misalnya dengan Kenduri Maulod di Aceh dengan makanan khasnya sapi dan kerbau; Panjang Maulud di Serang Banten yang memasukkan juga peralatan dan uang dalam sekumpulan makanan yang dijadikan ornamen hiasan; dan Grebeg Maulud di Yogyakarta berupa gunungan makanan yang diarak lalu dibagikan ke semua yang hadir bahkan sampai berebut (republika.co.id).
Di kalangan Nahdliyyin biasanya juga disertai pembacaan Maulid Barzanji dan Maulid Diba’. Keduanya merupakan kitab sya’ir yang berisi tentang biografi Nabi Muhammad saw. Barzanji nama asli kitabnya, ‘Iqdul Jauhar fî Maulidin Nabiyyil Azhar, ditulis oleh Ja’far ibn Hasan ibn ‘Abdul-Karim al-Barzanji (1128-1177 H/1716-1763 M). Sementara Diba’ ditulis oleh Abdurrahman ad-Diba’i (866-944 H) yang merupakan ringkasan dari kitab Maulid Syarafil-Anam karya Ibn Qasim.
Secara ringkas, sebagaimana dijelaskan nu online, Maulid Barzanji memiliki paparan sebagai berikut: (1) menjelaskan silsilah keturunan Nabi Muhammad saw sampai pada moyangnya yang bernama ‘Adnan; (2) menjelaskan masa kecil dan kelebihannya saat itu; (3) mengisahkan kisah Nabi Muhammad saw saat ikut berdagang bersama pamannya ke kota Syam ketika berumur 12 tahun; (4) pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah ra pada umur 25 tahun; dan (5) pengangkatannya menjadi rasul pada usia 40 tahun, dan dakwah Islamnya sampai umur 62 tahun. Kemudian di akhir tulisan menjelaskan kewafatan Rasulullah saw setelah semua tugasnya selesai secara sempurna.
Maulid Barzanji juga menjelaskan beberapa keistimewaan saat kelahiran Nabi Muhammad saw. Di antaranya, ia lahir dalam keadaan langsung bersujud dan dalam keadaan bercelak. Dalam waktu yang sama berbagai simbol-simbol kemusyrikan dihancurkan oleh Allah, seperti hancurnya kerajaan Kisra yang besar, padamnya api sesembahan orang-orang Majusi yang diyakini tidak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun. Di saat itu pula, semua hewan dan dan makhluk selain manusia merasakan kemuliaan dan keagungannya. Hal ini ditandai dengan berbuahnya semua pohon-pohon yang tidak pernah berbuah dalam rangka menghormat dan menyambut kelahiran makhluk paling baik dan paling mulia. Sayangnya semua riwayat yang cukup aneh ini tidak ada dasar riwayat shahihnya.
Dua kitab di atas ada teknik khusus bacanya, yaitu: Pertama, embaca surat Al-Fatihah dan dihadiahkan kepada Rasulullah saw dan penulis kitab. Kedua, mengajak orang lain untuk bersama-sama membaca shalawat kepada Rasulullah saw, sekaligus menyampaikan kepada mereka bahwa dengan membaca shalawat oleh Allah akan diberikan ganjaran berupa surga dan segala kenikmatan di dalamnya. Ketiga, setiap berpindah dari satu bab ke bab lain, sebagaimana tertera dalam Maulid Barzanji, diakhiri dengan membaca do’a dan shalawat. Semuanya ini lagi-lagi tidak tuntunan sunnahnya, karena memang dua kitab ini ditulis hampir sepuluh abad sesudah Nabi saw wafat.
Maka sungguh tidak bijak jika suatu ritual yang faktanya tidak ada dalil tuntunan langsung dari kitab dan sunnahnya, tidak pernah pula diamalkan oleh shahabat dan generasi salaf sesudahnya, kemudian dipaksakan sebagai ritual keagamaan yang harus diamalkan setiap tahunnya khususnya di bulan Rabi’ul-Awwal. Wal-‘Llahu a’lam.