Polisi Musuh Umat Islam?

Polisi Musuh Umat Islam? – Akhir-akhir ini teror kepada polisi dari pihak-pihak yang mengatasnamakan Islam cukup massif. Baik teror serangan bersenjata ataupun teror berupa ancaman kekerasan. Aksi-aksi teror tersebut tampaknya berbanding lurus dengan citra polisi yang terkesan sedang “meneror” umat Islam, khususnya tokoh-tokoh yang terlibat dalam Aksi Bela Islam 411 dan 212. Bukankah polisi juga bagian dari umat Islam?
MUI melancarkan protes langsung kepada Polri (Kepolisian Republik Indonesia) ketika di moment ‘Idul Fithri bagian Humasnya menayangkan sebuah film pendek “Kau Adalah Aku Yang Lain”. Sebuah film pendek yang menggambarkan kebebalan dan intoleransi dari seorang tokoh Islam terhadap kebhinekaan. Sebuah gambaran yang jelas jauh panggang dari api dengan kenyataan para ulama di Indonesia yang justru dari sejak NKRI belum lahir ini sangat menjunjung tinggi kebhinekaan. Meski di satu sisi, MUI mengapresiasi kesigapan Kapolri, Tito Karnavian, yang langsung memerintahkan pencabutan peredaran film tersebut. Wakil Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan, menegaskan meski film itu tidak dibuat langsung oleh Polri, tetapi film itu dinyatakan sebagai film terbaik pada ajang Police Movie Festival dan disiarkan oleh bagian Humas Polri. Maka dari itu, MUI mendesak sutradara dan bagian Humas Polri untuk meminta maaf kepada umat Islam.
Stigma negatif bahwa umat Islam anti kebhinekaan memang cenderung massif disebarkan oleh pihak-pihak yang anti pada Aksi Bela Islam 411 dan 212. Mereka adalah para aktivis sosial, politisi, media, dan tidak luput pula polisi dan pemerintah yang cenderung turut menjustifikasi. Susah untuk tidak diterima sebagai sebuah kriminalisasi oleh asumsi umat Islam Indonesia secara umum apa yang dilakukan oleh polisi dan atau pemerintah terhadap tokoh-tokoh Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang tampak secara tiba-tiba menjadikan mereka sebagai tersangka atas kasus-kasus yang terkesan dipaksakan. Menurut beberapa tokoh, hal ini justru berbeda 180 derajat dengan kinerja Humas TNI yang cenderung lebih akrab dan bersahabat dengan umat Islam.
Maka ketika di sisi lain, polisi akhir-akhir ini sering mendapatkan serangan teror dari para teroris, umat Islam tampak banyak berdiam diri. Di satu sisi umat Islam Indonesia jelas tidak merasa sebagai bagian dari para pelaku teror tersebut, sebab para pelaku teror walau bagaimanapun sudah bukan bagian dari umat Islam. Di sisi lain, umat Islam juga tidak bisa menyembunyikan perasaan bahwa memang polisi sendiri akhir-akhir ini cenderung tidak bisa membedakan mana umat Islam yang benar-benar bagian dari Islam dan bahkan penopang utama NKRI, dan mana umat Islam yang benar-benar bagian dari pelaku teror. Sebab perlakuan polisi dan atau pemerintah kepada umat Islam yang terlibat Aksi Bela Islam 411 dan 212 seakan-akan sama represifnya dengan perlakuan mereka kepada umat Islam yang memang bagian dari gerakan teroris. Tidak ada yang bisa disalahkan atas semua ini selain semua pihak; khususnya polisi dan umat Islam sendiri, harus berintsrospeksi atas semua yang telah dikerjakan. Meski demikian, MUI tetap tegas menyatakan sikapnya. Sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa’adi, dalam pers releasenya, terorisme apa pun motif dan bentuknya tidak layak mengatasnamakan Islam. “Islam tidak menoleransi semua tindakan kekerasan apalagi yang mengancam kehidupan umat manusia. Siapa pun pelakunya tidak pantas mengatasnamakan Islam,” tegas MUI.
Apa yang dinyatakan oleh MUI dalam merespon persoalan-persoalan aktual sudah cukup mencerminkan sikap umat Islam Indonesia yang sebenarnya. Umat Islam siap mengoreksi polisi atas kekeliruan polisi dalam menggunakan wewenangnya. Umat Islam sangat menyadari bahwa polisi adalah bagian dari umat Islam sehingga mereka tidak akan pernah rela jika persatuan umat dipecah belah hanya gara-gara kesalahpahaman. Maka dari itu, umat Islam sangat menolak keras semua pencitraan, stigma atau stereotip negatif yang memosisikan umat Islam sebagai umat yang bebal dan intoleran. Apalagi yang selalu mengaitkan Islam dengan gerakan teror. Maka dari itu juga, umat Islam sampai kapan pun akan selalu mengutuk setiap gerakan terorisme.
Ajaran Islam sudah cukup jelas untuk menghukumi seseorang bukan dari jabatan dan status sosialnya, melainkan dari keislamannya. Selama seseorang muslim, meski ia polisi atau TNI, maka keislamannya itu harus diakui sebagai Islam. Islam itu sendiri suci dan haram dinodai darah, kehormatan, dan hartanya.

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bersaksi sesungguhnya aku Rasulullah, kecuali karena salah satu dari tiga: (1) jiwa dengan jiwa (qishash), (2) selingkuh, dan (3) keluar dari agama meninggalkan al-Jama’ah (separatis kepada negara) (Shahih al-Bukhari kitab ad-diyat bab qaulil-‘Llah ta’ala annan-nafsa bin-nafsi no. 6878; Shahih Muslim kitab al-qasamah bab ma yubahu bihi dam al-muslim no. 4468-4470).

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram; darahnya, hartanya, dan kehormatannya (Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab tahrim zhulil-muslim no. 6706).
Dua hadits di atas jelas menuntut setiap muslim untuk menjaga keharaman darah, harta, bahkan kehormatan muslim lainnya. Hadits yang pertama menyebut kriteria seorang muslim itu adalah syahadat, bukan apakah ia mengakui Pancasila atau tidak; bukan pula apakah ia berhukum dengan hukum thaghut atau tidak. Dalam hadits lain dan itu didasarkan juga pada QS. at-Taubah [9] : 5 dan 11, jelas disebut bahwa kriteria muslim yang haram darahnya itu adalah syahadat, shalat, dan zakat.

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَالِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad rasul Allah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukannya, maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka, kecuali karena haq (kewajiban) Islam (yang dilanggar lalu diberlakukan hukuman mati), dan kelak hisab mereka (benar atau tidaknya) diserahkan kepada Allah (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab fa in tabu wa aqamus-shalat wa atauz-zakat fa khallu sabilahum no. 25).
Dalam hadits terakhir ini bahkan disebutkan meski seseorang itu awalnya orang kafir, lalu ia syahadat, shalat dan zakat—terlepas dari apakah itu semua palsu atau tidak—maka darah dan hartanya tetap harus dilindungi, tidak boleh dibunuh atau dirampas. Apalagi seorang polisi yang jelas-jelas pada awalnya sebagai muslim, apalagi mereka yang rutin shalat di masjid. Mereka lebih jelas lagi sebagai muslim yang harus dilindungi darah dan hartanya. Tidak boleh ada setetes pun darah mereka yang jatuh ke bumi disebabkan kejelasan status Islam mereka.
Maka dari itu ketika Nabi saw menginfomasikan bahwa kelak akan ada banyak pemerintah yang tidak menegakkan hukum Islam secara sempurna atau masih senang mengamalkan hukum-hukum thaghut, Nabi saw tetap melarang umat Islam untuk membunuh dan memerangi pemerintahan tersebut selama mereka masih shalat. Meski hukum thaghut yang ditegakkan oleh pemerintahan tersebut, tetapi karena mereka masih shalat, tetap saja harus dihitung sebagai muslim dan haram darahnya.

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Jihad yang paling utama kepada pemerintahan yang masih muslim tetapi masih menegakkan hukum thaghut bukan dengan mengangkat senjata seperti ISIS, tetapi berdakwah dan bersuara dengan tegas dan lantang seperti diteladankan MUI dan GNPF MUI. Nabi saw bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sebaik-baiknya jihad adalah kalimat yang adil/tepat yang disampaikan kepada pemerintah yang zhalim (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346 [al-Albani: shahih]).
Hanya kalimat yang adil/tepat, bukan dengan senjata. Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *