Pertanggungjawaban Shalat

Pertanggungjawaban Shalat – Shalat yang rutin diamalkan harus dipertanggungjawabkan; sudahkah benar khusyu’ ataukah masih lalai? Sudahkah menanamkan satu nilai yang bersemayam dalam jiwa, ataukah masih sekedar ritualitas dan formalitas? Jika shalat benar khusyu’nya akan menanamkan satu nilai bahwa manusia hanya tercipta untuk beribadah dan semua yang dimilikinya pun diperuntukkan ibadah. Maka tidak akan terjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam shalatnya kemudian ia melalaikan zakat, infaq, shadaqah, qurban, dan jihad bil-amwal. Sebab itu semua merupakan manifestasi dari pertanggungjawaban shalatnya.

Allah swt memotret shalat yang tidak bertanggung jawab dalam salah satu firman-Nya sebagai berikut:

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥  ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦  وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ ٧

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (QS. Al-Ma’un [107] : 4-7).

Ayat-ayat di atas jelas memotret shalat yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab; shalat dijalankan dengan lalai karena hanya sekedar ritualitas dan formalitas, tidak sampai menanamkan satu nilai mulia ke dalam jiwa. Sehingga tampak pada keengganan mereka untuk mengulurkan bantuan kepada mereka yang memerlukan, sebagai sebuah cermin yang jelas tidak adanya nilai-nilai mulia yang tertanam dalam jiwa.

Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan, lalai dalam shalat yang dimaksud dalam ayat di atas bentuknya adalah mengamalkan shalat tetapi tidak rutin; kadang shalat, kadang juga tidak. Shalat ketika terlihat orang lain dan tidak shalat ketika tidak ketahuan oleh orang lain. Bisa juga seseorang yang sudah rutin melakukan shalat, tetapi tiba-tiba ia meninggalkannya sama sekali. Atau orang yang sudah rutin shalat, tetapi karena ada satu hal ia lalai dan lalu shalat di luar waktunya. Termasuk juga orang yang selalu mengakhirkan shalat dari awal waktunya, sehingga ia sengaja membiasakan diri shalat pada pertengahan atau akhir waktunya. Demikian halnya orang yang lalai dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Lalai dari persyaratannya seperti tidak benar dalam wudlu, tidak bersih dari najis, tempat tidak suci, pakaian tidak suci, dan tidak tepat menghadap kiblat. Sementara lalai dari rukunnya seperti tidak benar dalam gerakan shalat dan tidak memahami bacaan shalat. Atau mereka yang sama sekali tidak mampu khusyu’ dalam shalatnya, selalu melamun entah kemana. Kata al-Hafizh Ibn Katsir: Fal-lafzhu yasymulu hadza kullahu; lafazh sahun di sini mencakup semua yang diuraikan ini.

Sementara al-ma’un mencakup makna yang luas juga, mulai dari perkakas-perkakas yang biasa saling dipinjamkan seperti kapak, panci, katel, ember dan sejenisnya; sampai pada harta dan perhiasan untuk dikeluarkan dalam bentuk zakat, infaq dan shadaqah. Singkatnya mereka yang tidak mau mengulurkan tangannya membantu sesama, baik dalam bentuk meminjamkan barang-barangnya ataupun memberikan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, infaq dan shadaqah.

Jadi shalat yang tidak bertanggung jawab itu, tegas al-Hafizh Ibn Katsir, adalah mereka yang tidak benar dalam beribadah kepada Rabbnya dan tidak baik kepada sesamanya (la ahsanu ‘ibadata Rabbihim wa ala ahsanu ila khalqihi). Al-Hasan al-Bashri menyatakan: Kalau shalat riya sehingga kalau terlewat tidak ada penyesalan dan zakat tidak ditunaikan (Tafsir Ibn Katsir).

Keenganan untuk berbagi inilah yang menjadi tema utama surat al-Ma’un dan ditegurkan keras kepada orang-orang yang tidak meyakini hari pembalasan/mendustakan agama, yang itu juga pertanda dari tidak bertanggung jawabnya shalat yang telah diamalkan:

أَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ ١  فَذَٰلِكَ ٱلَّذِي يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ ٢  وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ ٣

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS. Al-Ma’un [107] : 1-3).

Maka dari itu, banyak ditemukan dalam al-Qur`an ayat-ayat yang menyinggung tentang shalat beriringan dengan zakat. Sebagai sebuah pertanda bahwa keduanya akan selalu berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Inilah yang menyebabkan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra berani meenyatakan:

وَاللهِ لأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ

“Demi Allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab wujub az-zakat no. 1399)
Demikian halnya banyak ditemukan dalam al-Qur`an perintah shalat yang disertakan dengan keharusan menginfaqkan sebagian apa yang telah dianugerahkan oleh Allah swt (Setidaknya ada tujuh ayat: QS. al-Baqarah [2] : 2, 177, al-Anfal [8] : 3, at-Taubah [9] : 54, al-Hajj [22] : 35, as-Sajdah [32] : 15-16, as-Syura [42] : 38). Ketika shalatnya bagus dan bertanggung jawab maka infaq pun akan selalu mampu mereka amalkan. Sebaliknya, ketika shalatnya tidak bertanggung jawab, maka infaqnya pun tidak bertanggung jawab:

وَمَا مَنَعَهُمۡ أَن تُقۡبَلَ مِنۡهُمۡ نَفَقَٰتُهُمۡ إِلَّآ أَنَّهُمۡ كَفَرُواْ بِٱللَّهِ وَبِرَسُولِهِۦ وَلَا يَأۡتُونَ ٱلصَّلَوٰةَ إِلَّا وَهُمۡ كُسَالَىٰ وَلَا يُنفِقُونَ إِلَّا وَهُمۡ كَٰرِهُونَ ٥٤

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan (QS. at-Taubah [9] : 54).

Termasuk di antaranya perintah shalat yang disandingkan dengan qurban, sebagai sebuah isyarat bahwa shalat yang benar diamalkan akan menjadikan seseorang sigap untuk mengamalkan qurban, meski tidak sampai jatuh wajib:

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah (QS. al-Kautsar [108] : 2).
Maka dari itu Nabi saw sampai mengingatkan:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rizki, tapi ia tidak berqurban, maka jangan pernah lagi ia mendekati tempat shalat kami (Sunan Ibn Majah kitab al-adlahi bab al-adlahi wajibah hiya am la no. 3123; Musnad Ahmad no. 8256. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 7672 dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam takhrij Sunan Ibn Majah).

Maksudnya, apalah arti dari shalat yang dilaksanakan termasuk status sebagai umat Nabi Muhammad saw jika sebenarnya mampu berqurban tetapi enggan berqurban!?

Ini semua sudah menjadi nafas utama ajaran Islam. Setiap kali Allah swt menyebutkan shalat yang merupakan simbol ibadah personal, Allah swt juga menyebutkan zakat, infaq atau shadaqah sebagai simbol ibadah sosial yang harus juga diperhatikan. Setiap kali Allah swt menyebutkan jihad, maka di sana Allah swt menyebutkan caranya bil-anfus (dengan jiwa dan raga) dan bil-amwal (dengan harta). Semuanya ini menuntut kita untuk bertanggung jawab dalam shalat yang sudah rutin diamalkan; sudahkah dimanifestasikan juga dalam ibadah harta? Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *