Permohonan Izin ‘Itban ibn Malik

Khawatir akan munculnya su`uz-zhan dari jama’ahnya karena ketidakhadirannya shalat berjama’ah di masjid, ‘Itban ibn Malik sampai memohon izin langsung kepada Rasulullah ﷺ . Izin itu terpaksa ia ajukan karena penglihatannya sudah tidak normal. Jika turun hujan lebat jalan yang biasa dilaluinya banjir cileuncang. Ia juga tidak punya penuntun yang bisa mengantarnya ke masjid. Maka ia pun terpaksa mengajukan izin kepada Rasul ﷺ untuk shalat di mushalla rumahnya.


Hadits ‘Itban ibn Malik (w. 50 H) yang mengajukan izin kepada Rasul saw untuk tidak ikut shalat berjama’ah di masjid ini merupakan satu-satunya hadits yang dituliskan oleh Imam Muslim di kitab Shahihnya dalam bab rukhshah tidak ikut shalat berjama’ah:

باب الرُّخْصَةِ فِى التَّخَلُّفِ عَنِ الْجَمَاعَةِ بِعُذْرٍ

Bab: Rukhshah tidak ikut serta shalat berjama’ah karena satu kendala.
Artinya udzur/kendala yang dibenarkan bagi seorang lelaki tidak ikut shalat berjama’ah di masjid itu adalah udzur seperti yang dialami oleh ‘Itban. Imam al-Bukhari sendiri memberikan salah satu tarjamah terkait hadits ‘Itban tersebut:

بَاب الرُّخْصَةِ فِي الْمَطَرِ وَالْعِلَّةِ أَنْ يُصَلِّيَ فِي رَحْلِهِ

Bab: Rukhshah ketika hujan dan halangan lain untuk shalat di tempatnya.
Hadits ‘Itban yang dimaksud lengkapnya adalah sebagai berikut:

قَالَ مَحْمُودُ بْنُ الرَّبِيعِ الْأَنْصَارِيُّ أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّي لِقَوْمِي فَإِذَا كَانَتْ الْأَمْطَارُ سَالَ الْوَادِي الَّذِي بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ آتِيَ مَسْجِدَهُمْ فَأُصَلِّيَ بِهِمْ وَوَدِدْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَّكَ تَأْتِينِي فَتُصَلِّيَ فِي بَيْتِي فَأَتَّخِذَهُ مُصَلًّى قَالَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ سَأَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ عِتْبَانُ فَغَدَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ حِينَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبَيْتَ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا فَصَفَّنَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ

Mahmud ibn ar-Rabi’ al-Anshari berkata: Sesungguhnya ‘Itban ibn Malik, seorang shahabat Rasulullah saw yang ikut perang Badar dari kaum Anshar, datang kepada Rasulullah saw dan bersabda: “Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak bisa mengandalkan penglihatanku, sementara aku imam shalat kaumku. Jika hujan lebat turun, lembah antara rumahku dan masjid menjadi sungai. Aku tidak bisa datang ke masjid dan mengimami shalat. Aku sangat ingin anda wahai Rasulullah datang ke rumahku dan shalat di sana yang kelak akan aku jadikan tempat itu mushalla.” Rasul saw menjawab: “Aku akan pergi insya Allah.” ‘Itban berkata: Keesokan harinya Rasulullah saw dan Abu Bakar pergi ketika siang sudah tinggi. Rasul saw kemudian meminta izin masuk, dan aku pun mengizinkannya. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah dan bertanya: “Di mana tempat yang kamu inginkan aku shalat di rumah ini?” Aku pun menunjuk ke salah satu bagian dari rumah. Kemudian Rasulullah saw berdiri dan takbir, kami pun berdiri dan bershaf. Beliau shalat dua raka’at lalu salam (Shahih al-Bukhari kitab as-shalat bab al-masajid fil-buyut no. 425; Shahih Muslim kitab al-iman bab man laqiyal-‘Llah bil-iman wa huwa ghairu syakkin fihi dakhalal-jannah no. 158).
Dalam riwayat at-Thabrani disebutkan bahwa ‘Itban datang kepada Nabi saw pada hari Jum’at dan Nabi saw bersama Abu Bakar mengunjungi rumah ‘Itban pada hari Sabtunya (Fathul-Bari). Dalam riwayat Malik disebutkan bahwa ‘Itban ini imam shalat di masjid kaumnya dan sudah buta. Tentunya akibat usia tua, karena ia pernah ikut perang Badar yang artinya pada saat itu tidak buta. Udzur ini bersamaan dengan gelap dan adanya banjir cileuncang akibat hujan deras, sehingga ia terpaksa memohon izin tidak shalat berjama’ah  ke masjid.

أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى وَأَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ

Bahwasanya ‘Itban ibn Malik adalah seorang imam untuk kaumnya dan ia sudah buta. Ia mengadu kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, sungguh adakalanya terjadi gelap, ada banjir akibat air hujan, sementara saya orang yang sudah tidak bisa melihat… (Shahih al-Bukhari bab ar-rukhshah fil-mathar wal-‘illah no. 667)
Inilah udzur yang dibenarkan bagi seorang lelaki tidak hadir shalat berjama’ah, yakni buta, hujan, dan banjir cileuncang. Tentunya bukan ini saja, sebab Imam al-Bukhari sendiri memberikan catatan tambahan dengan wal-‘illah; halangan lainnya.
Di antara ulama hadits yang cukup rinci menjelaskan halangan yang dibenarkan syari’at sehingga seorang lelaki boleh tidak hadir shalat berjama’ah adalah Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya. Ia menyebutkan 10 udzur syar’i, yaitu:
Pertama, sakit yang tidak memungkinkan hadir berjama’ah. Dalilnya hadits Anas yang menceritakan Nabi saw ketika sakit diganti tugas imamnya oleh Abu Bakar.
Kedua, ketika makanan sudah siap disantap khusus untuk shalat maghrib. Tetapi Imam Ibn Hibban memberikan catatan, ini berlaku bagi yang di siang harinya shaum atau bekerja lelah sehingga sangat membutuhkan makan. Dalilnya hadits Anas ibn Malik yang menganjurkan shalat maghrib dahulu jika hidangan sudah siap disantap dan siang harinya shaum atau sudah lelah bekerja.
Ketiga, lupa pada saat-saat tertentu. Dalilnya hadits Abu Hurairah yang menyatakan siapa yang lupa atau tertidur dari shalat, maka ketika ingat ia harus shalat.
Keempat, berat badan yang sudah berlebih sehingga tidak bisa pergi menuju shalat berjama’ah di masjid. Dalilnya hadits ‘Itban ibn Malik ini tetapi dari jalur Anas ibn Malik, dimana Anas menyatakan salah satu alasan lain ‘Itban tidak bisa memaksakan datang ke masjid adalah karena sudah dlakhman; gemuk, berat badannya berlebih. Tentunya di samping yang disebutkan di atas, yakni buta, hujan, dan banjir cileuncang.
Kelima, terdesak oleh hajat buang air besar. Dalilnya hadits Abu Hurairah yang melarang shalat ketika terdesak oleh buang besar atau kecil.
Keenam, takut sesuatu menimpa dirinya dan hartanya di jalan menuju masjid. Dalilnya adalah hadits ‘Itban ibn Malik ini.
Ketujuh, ketika musim dingin yang dinginnya menusuk tulang. Dalilnya adalah hadits Ibn ‘Umar yang menganjurkan shalat di tempat masing-masing ketika dingin menusuk tulang.
Kedelapan, ketika turun hujan lebat. Dalilnya hadits Ibn ‘Umar yang sama dan menganjurkan shalat di tempat masing-masing ketika turun hujan lebat.
Kesembilan, halangan yang ditakutkan berdampak jelek kepada dirinya. Dalilnya masih hadits Ibn ‘Umar yang pada sanad ini disebutkan sedang safar, di malam hari yang gelap gulita, dan hujan lebat.
Kesepuluh, ketika seseorang bau mulut sampai hilang baunya. Dalilnya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang melarang orang yang bau mulut akibat makan bawang untuk mendekati masjid.
Udzur-udzur syar’i itulah yang membolehkan seorang lelaki tidak hadir shalat berjama’ah. Tentunya harus dipahami sesuai konteks haditsnya jangan kemudian disikapi dengan tasahul; mengenteng-entengkan persoalan. Akibatnya hanya karena alasan capek, lapar, atau sedang tanggung menyelesaikan pekerjaan—meski sebenarnya malas—shalat berjama’ah menjadi selalu tidak dihadiri.
Dalam riwayat Ibrahim disebutkan bahwa Nabi saw tiba di rumah ‘Itban itu pada saat sudah isytaddan-nahar; siang sudah sangat panas (Shahih al-Bukhari bab shalatin-nawafil jama’ah no. 1186). Sementara dalam riwayat ‘Uqail disebutkan irtafa’an-nahar; siang sudah tinggi (Shahih al-Bukhari bab al-khazirah no. 5401). Imam al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Shahihnya bahwa shalat yang dilakukan Nabi saw berjama’ah di rumah ‘Itban itu adalah shalat dluha (bab shalatid-dluha fil-hadlar). Itu artinya shalat dluha boleh dilaksanakan dengan berjama’ah, di rumah, dan menjelang zhuhur ketika sudah terasa sangat panas. Ini sekaligus menguatkan penjelasan para ulama bahwa dluha itu berlaku sampai datangnya waktu zhuhur. Ini juga menjadi dalil bahwa shalat sunat boleh dilakukan dengan berjama’ah, meski tentu tidak dirutinkan. Maka dari itu Imam al-Bukhari juga memberikan tarjamah lain untuk hadits ‘Itban ini dengan bab shalatin-nawafil jama’ah; shalat sunat boleh dilaksanakan berjama’ah.
Wal-‘Llahu a’lam.