Wanita Karir; Perempuan Akhir Zaman (Bagian Ketiga)

Nabi shallal-‘Llahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antara tanda kiamat adalah kaum perempuan sibuk membantu suaminya berdagang saking sudah ramainya perdagangan. Suami-istri menjadi terpenjara oleh kesibukan dunia sehingga mengabaikan tugas-tugas pokok ibadah dan mendidik anak. Ini juga menggambarkan zaman yang sudah tidak ramah lagi dengan kaum perempuan karena mereka dipaksa untuk lelah bekerja mencari nafkah dan tidak punya pilihan untuk menghindar darinya. Bagi yang sudah terpaksa tentu jangan kemudian dijadikan dalih untuk mengabaikan ibadah dan pendidikan anak.


Hadits Nabi saw tentang perempuan yang terseret arus ikut sibuk berdagang sebagai pertanda kiamat disampaikan oleh ‘Abdullah ibn Mas’ud ra dan diriwayatkan Imam Ahmad sebagai berikut:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ تَسْلِيمَ الْخَاصَّةِ، وَفُشُوَّ التِّجَارَةِ، حَتَّى تُعِينَ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا عَلَى التِّجَارَةِ، وَقَطْعَ الْأَرْحَامِ، وَشَهَادَةَ الزُّورِ، وَكِتْمَانَ شَهَادَةِ الْحَقِّ، وَظُهُورَ الْقَلَمِ

Sungguh di hadapan kiamat akan ada salam yang ditujukan hanya kepada orang tertentu, tersebarnya perdagangan sehingga kaum perempuan membantu suaminya berdagang, putusnya hubungan kerabat (silaturami), kesaksian palsu dan disembunyikannya kesaksian yang benar, serta banyak dan meratanya media tulisan (Musnad Ahmad musnad ‘Abdillah ibn Mas’ud no. 3870. Syaikh al-Albani menilai hadits ini shahih berdasarkan syarat shahih Imam Muslim dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 647. Sementara Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilainya hasan dalam ta’liq Musnad Ahmad karena rawi Sayyar Abu Hamzah al-Kufi bukan rawi shahih tetapi ada banyak rawi yang meriwayatkan darinya, jadi sebatas hasan).
‘Abdullah ibn Mas’ud ra menyampaikan hadits di atas ketika ada seseorang yang salam kepadanya saja padahal saat itu ia sedang bersama dengan jama’ahnya selepas kajian majelis ta’lim dan shalat berjama’ah. Ibn Mas’ud sampai mengatakan: shadaqal-‘Llah wa Rasuluhu; mahabenar Allah dan Rasul-Nya. Ketika jama’ahnya bertanya apa yang ia maksud, Ibn Mas’ud ra kemudian membacakan hadits di atas. Tuntunan salam itu sendiri sebagaimana sudah Nabi saw ajarkan seharusnya ditujukan kepada orang yang dikenal atau tidak dikenal:

تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

“(Islam yang terbaik itu) adalah memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan tidak kenal.” (Shahih al-Bukhari bab ith’amut-tha’am minal-iman no. 12).
Pengecualian hanya kepada orang kafir saja (larangan salam kepada Yahudi dan Kristen dalam Shahih Muslim kitab as-salam bab an-nahy ‘an ibtida`i ahlil-kitab bis-salam no. 5789). Selama yang ditemui adalah orang Islam maka tidak boleh memilih-milih orang tertentu dengan mengenyampingkan yang lainnya. Adanya praktik salam hanya kepada orang-orang tertentu menunjukkan adanya pergeseran akhlaq menjelang hari kiamat.
Pergeseran akhlaq tersebut berlaku juga dalam putusnya hubungan kekerabatan dengan kerabat atau keluarga dan maraknya kesaksian palsu karena kesaksian yang benarnya dipaksa atau terpaksa untuk disembunyikan.
Sementara terkait zhuhurul-qalam (meratanya media tulisan), Imam Ibn ‘Abdil-Barr dalam at-Tamhid Syarah al-Muwaththa` (17 : 297) menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah banyaknya kitab dan karya tulis karena media untuk menulis sangat mudah diakses, di samping banyaknya orang yang bisa menulis. Kondisi yang jauh berbeda dengan masa awal Islam dimana orang yang mampu menulis masih sangat terbatas dan media untuk menulis pun sangat terbatas.
Jika yang dimaksud adalah pergeseran akhlaq menjelang kiamat, banyaknya karya tulis ini tidak menjadi mashlahat. Sebagaimana dijelaskan Syaikh Muhammad al-Itsyubi dalam Dzakhiratul-‘Uqba Syarah al-Mujtaba Sunan an-Nasa`i (bab ma yajibu ‘alat-tujjar minat-tauqiyah fi mubaya’atihim), ini adalah gambaran dari berkembangnya ilmu duniawi sehingga mengabaikan ilmu ukhrawi. Kondisi ini sudah benar terasa jika merujuk lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD sampai PT dimana ilmu-ilmu duniawi selalu didudukkan sebagai ilmu pokok sementara ilmu agama hanya sebagai pelengkap.
Dalam konteks teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, semua orang menjadi lebih mudah untuk menuliskan apa yang mereka dengar dan terima. Dampak buruknya jadi lebih banyak hoax dan berita sampah daripada kebenaran. Masyarakat yang kurang teliti jadi banyak yang tersesatkan. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah mulai terasa ketika media tulis mulai mudah diakses di masa salaf, dimana banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab menyebarkan hadits-hadits palsu dan dla’if. Tentunya tidak berarti bahwa mudahnya akses media tulisan ini sepenuhnya keburukan. Bagi yang memanfaatkannya untuk kebaikan maka tetap baik baginya. Hanya dampak buruknya juga jelas nyata dan itu pertanda kiamat semakin dekat.
Potret lain dari pertanda kiamat adalah kaum perempuan yang terbawa arus sibuk berdagang membantu suaminya karena maraknya perdagangan. Disebut “terbawa arus” karena Nabi saw menyebutkan dalam hadits di atas sebagai akibat saja, penyebab utamanya adalah perdagangannya itu sendiri yang sudah fusyuw; menyebar, semarak, maju sangat cepat, sangat menyibukkan, sehingga kaum lelaki saja tidak cukup untuk mengurus bisnis yang semakin sibuk saja setiap harinya. Kaum perempuan jadi terseret arus dan terpaksa terlibat untuk membantu suaminya.
Dalam konteks pergeseran nilai menjelang kiamat, hal ini menunjukkan kesibukan duniawi yang sangat tinggi sehingga menjebak siapapun untuk terpenjara di dalam kesibukan duniawinya. Bahkan kaum perempuan yang secara tabi’at tidak diciptakan untuk itu pun jadi terpaksa terbawa arus dan banyak yang tidak bisa mengelaknya.
Jika dikaitkan dengan hadits penghuni neraka yang paling banyak adalah perempuan yang kufur pada kebaikan suaminya, jelas ada korelasinya. Keterlibatan kaum perempuan dalam dunia dagang, bisnis, dan kerja menjadikan mereka mudah saja untuk merendahkan suaminya. Fakta perceraian hari ini yang selalu lebih banyak diakibatkan gugat cerai istri dan rata-rata dari kaum istri yang sudah mapan secara ekonomi menjadi bukti adanya korelasi di antara dua hadits tersebut.
Jika dikaitkan dengan hadits hamba sahaya yang melahirkan majikannya, sibuknya kaum perempuan dalam dunia kerja telah menyebabkan mereka menghilangkan peran ibu sebagai pendidik dan hanya tinggal peran pelayannya saja yang sebatas memenuhi kebutuhan materi dan finansial anak-anaknya. Dampaknya anak-anak tidak menganggap ibu mereka sebagai ibu, melainkan sebagai karyawan yang memenuhi kebutuhan materi dan finansial semata.
Jika dikaitkan dengan perempuan yang berpakaian di dunia dan telanjang di akhirat, kesibukan kaum perempuan di dunia kerja telah menyebabkan mereka lelah oleh kesibukan duniawi. Waktu malam hanya sebatas digunakan untuk istirahat dari lelahnya bekerja, tidak mungkin ada lagi waktu untuk bangun shalat malam. Bahkan untuk sekedar melayani suaminya pun tidak ada. Hadits Nabi saw yang ini dan mengaitkannya dengan fitnah juga mudah menemukan pembenarannya karena banyaknya konflik di dunia kerja akibat kaum perempuan yang mudah lelah jiwanya dan kemudian berujung pada suuzhan dan hasud. Jiwa mereka secara alami sebenarnya tidak cocok untuk mengarungi dunia kerja yang terlalu sibuk dan melelahkan. Demikian halnya dengan perselingkuhan yang marak akibat kaum perempuan yang terlalu sibuk di luar rumah.
Jika dikaitkan dengan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang nyata jelas banyak kaum perempuan yang mementingkan penampilan berdasarkan trend dan mode bukan berdasarkan syari’at. Mereka sudah tidak lagi peduli aturan akhirat, yang penting sesuai dengan tuntutan gaya hidup dunia.
Ini semua tidak berarti perempuan bekerja hukumnya haram mutlak. Jika maslahatnya nyata dan mafsadatnya bisa dihilangkan, maka bekerja bagi kaum perempuan hukumnya mubah. Para shahabat perempuan juga ada yang bekerja dan berdagang, tetapi mereka tidak tergerus akhlaqnya sebagaimana digambarkan dalam hadits-hadits di atas.