Pemerintah Masih Melegalkan Miras

Presiden resmi mencabut poin dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur pembukaan investasi industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol. Tetapi yang dicabut itu hanya yang terkait investasi industri miras saja. Sementara Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, serta Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol masih tetap berlaku. Artinya miras masih dilegalkan untuk diproduksi dan dipasarkan di Indonesia meski di tempat-tempat terbatas. Yang dikehendaki oleh umat adanya UU Larangan Miras yang bisa menghukum pengedar dan pemabuk di tempat terbuka. Tetapi draft RUU ini masih digantung di tingkat pembahasan oleh DPR dan Pemerintah tanpa ada kepastian.


Umat Islam sedikitnya bersyukur dengan dicabutnya Perpres tentang investasi industri miras oleh Presiden. Akan tetapi umat Islam masih menunggu aturan yang lebih tegas yang bisa menghukum para pengedar miras dan para pemabuknya dalam wujud UU. Soalnya PP dan Permendag tentang pengendalian peredaran dan penjualan minuman keras di tempat-tempat terbatas sudah banyak dilanggar dan tidak memberikan hukuman untuk para pelanggarnya. Umat menghendaki dibuatkan langsung UU Larangan Miras/Minol. Siapa saja yang memproduksi, menjual, mengedarkan, dan meminum, semuanya dihukum karena sudah merusak moral dan kesehatan masyarakat, baik itu di tempat terbatas atau apalagi di tempat umum. Toleransi hanya diberikan kepada mereka yang mabuk di ranah pribadi/privat dan tidak melibatkan orang lain. Syari’at juga tidak berhak tajassus; memata-matai pelaku maksiat sampai ke ranah privatnya.
Dalam Perpres No. 74 Tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden SBY jelas disebutkan sebagai berikut:
Pasal 4

  • Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
  • Minuman Beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan impor dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
  • Minuman Beralkohol hanya dapat diedarkan setelah memiliki izin edar dari kepala lembaga yang menyelenggarakan pengawasan di bidang obat dan makanan.
  • Minuman Beralkohol hanya dapat diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol sesuai dengan penggolongannya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.


Pasal 7

  • Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C hanya dapat dijual di: (a) hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundangundangan di bidang kepariwisataan; (b) toko bebas bea; dan (c) tempat tertentu selain huruf a dan b yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  • Penjualan dan/atau peredaran Minuman Beralkohol di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit.
  • Selain tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Minuman Beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan.
  • Dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal, Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan pembatasan peredaran Minuman Beralkohol di tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).
  • Penjualan Minuman Beralkohol dilakukan terpisah dengan barang-barang jualan lainnya.

 
Pada Pasal 3 sebelumnya dijelaskan bahwa Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5% (lima persen); golongan B dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen); dan golongan C dengan kadar lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen).
Dalam Perpres ini sama sekali tidak diatur tentang hukumannya. Maka dari itu dapat dirasakan pelanggaran yang terjadi terkait pengendalian miras sebagaimana dimaksud di atas tidak pernah mendapatkan hukuman yang membuat efek jera. Umat Islam layak bersyukur jika seandainya Pemerintah dan DPR berani mengesahkan UU Larangan Minuman Beralkohol yang isinya melarang keras produksi, penjualan, dan praktik minum minuman keras seperti halnya UU Narkotika (No. 35 Tahun 2009) karena sama-sama merusak moral dan kesehatan bangsa. Hukuman yang tegas seperti narkotika pun harusnya diberlakukan untuk minuman keras. Dalam hal ini juga bisa dijadikan perbandingan; UU Narkotika saja yang melarang dan memberikan hukuman keras belum berhasil menghapus peredaran narkotika yang masih massif, maka apalagi Perpres tentang pengendalian miras yang “tumpul” tentu tidak akan bisa mengerem budaya mabuk di kalangan masyarakat yang rusak moral. Maka dari itu dibutuhkan payung hukum yang lebih tajam lagi.
Pemerintah dan DPR yang pastinya mayoritas muslim sudah seharusnya menyadari bahwa pengabdian mereka bukan hanya di dunia saja, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Semua kebijakan yang dikeluarkan sudah seyogianya tidak hanya berorientasi keuntungan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan dampak buruk dari aspek moral dan kesehatan masyarakat. Termasuk dampak siksa neraka di akhirat kelak. Mereka yang bersyahadat la ilaha illal-‘Llah dan Muhammad Rasulullah sudah seharusnya mengikuti ajaran Allah dan Rasul yang sudah disyahadatinya. Al-Qur`an dan hadits sama sekali tidak memberikan toleransi dalam hal minuman keras, apakah itu di tempat terbatas ataukah yang kadar mabuknya sekian persen saja. Semuanya haram dan harus dilarang keras.

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Setiap yang memabukkan itu khamr. Dan setiap yang memabukkan itu haram (Shahih Muslim bab bayan anna kulla muskir khamr no. 5336).

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْيَ مِنْ خَمْسَةٍ مِنْ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ

Wahai manusia, sesungguhnya ketika turun ayat yang mengharamkan khamr, saat itu khamr dibuat dari lima bahan; anggur, kurma, madu, gandum, dan kacang sya’ir. Akan tetapi khamr itu setiap yang menutupi akal (memabukkan) (Khutbah Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab dalam Shahih al-Bukhari bab qaulihi innamal-khamr wal-maisir wal-anshab wal-azlam no. 4619).

مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ

Apa yang memabukkan banyaknya, maka sedikitnya pun haram (Sunan Abi Dawud kitab al-asyribah bab an-nahyi ‘anil-muskir no. 3683)

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamr; peminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang meminta/memesan perasannya, pembawanya, dan yang dibawakan untuknya (Sunan Abi Dawud kitab al-asyribah bab al-’inab yu’sharu lil-khamr no. 3676).