Orangtua Enggan Menjadi Wali Nikah Anak Yang Dipoligami

Bismillah. Assalamu’alaikum Pak Ustadz. Saya mau tanya, apakah hukumnya bagi seorang gadis menikah tanpa ayahnya sebagai wali nikah karena ayahnya tidak setuju anak gadisnya dinikahi untuk dijadikan istri ke-2? Apakah sah pernikahannya jika tetap dilaksanakan dan mengambil wali nikahnya orang lain? Hatur nuhun Pak. +61452445xxx
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Wali nikah itu termasuk syarat sah nikah. Pernikahan tanpa wali nikah hukumnya bathal. Wali nikah itu sendiri harus seorang lelaki yang menjadi wali (keluarga terdekat) kepada calon mempelai perempuan. Jika tidak ada, atau wali-wali yang ada enggan menikahkannya, maka pemerintah/negara yang menjadi wali nikahnya.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ.

Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal. Jika seseorang mencampuri istrinya, maka istri berhak mendapatkan mahar karena ia sudah menghalalkan farjinya. Jika mereka berkonflik (tentang siapa yang harus jadi wali/karena enggan menjadi wali), maka pemerintah wali bagi orang yang tidak memiliki wali (Bulughul-Maram kitab an-nikah no. 1010. Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah. Dinilai shahih oleh Abu ‘Awanah, Ibn Hibban, al-Hakim).

لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا (فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا)

Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya. Seorang perempuan juga tidak boleh menikahkan dirinya sendiri (sebab hanya seorang pezina yang menikahkan dirinya sendiri) (Bulughul-Maram kitab an-nikah no. 1013. Riwayat Ibn Majah dan ad-Daraquthni dan rawi-rawinya tsiqat. Matan hadits yang ditulis dalam kurung adalah kelengkapan haditsnya yang tidak ditulis dalam Bulughul-Maram)
Dalam hadits yang pertama di atas, sabda Nabi saw fa in-isytajaru, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama pensyarah hadits, salah satunya adalah wali yang enggan menikahkan bukan karena alasan yang dibenarkan syari’at. Dalam kasus seperti itu, maka pemerintah/negara/hakim yang menjadi wali bagi calon pengantin (Tuhfatul-Ahwadzi bab ma ja`a la nikah illa bi waliy; ‘Aunul-Ma’bud bab fil-waliy).
Imam al-Bukhari juga mengakui keabsahan hadits di atas. Hanya dikarenakan tidak sesuai standar keshahihan yang sudah ditetapkan olehnya, maka hadits yang dijadikan dalilnya adalah hadits seorang perempuan yang menghibahkan dirinya kepada Nabi saw untuk dinikahi oleh beliau, tetapi beliau tidak berminat, lalu ada shahabat lainnya yang berminat dan hanya punya mas kawin kemampuan mengajar al-Qur`an, Nabi saw sebagai sulthan (pemerintah/hakim) kemudian menikahkan perempuan itu kepada shahabat tersebut (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab as-sulthan waliy li qaulin-Nabiy saw zawwajnakaha bi ma ma’aka minal-Qur`an no. 5135 dan uraian argumentasinya oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari).
Termasuk dalam hal ini, Raja Najasyi yang menikahkan Nabi saw kepada Ummu Habibah binti Abi Sufyan, karena saat itu Abu Sufyan sebagai ayah dari Ummu Habibah masih kafir. Maka Raja Najasyi sebagai sulthan di Habasyah menjadi wali yang menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi saw (‘Aunul-Ma’bud bab fil-waliy).
Dalam kasus yang anda tanyakan, jika sebatas alasan tidak mau anaknya dijadikan istri kedua, hemat kami bukan alasan yang dibenarkan syari’at seperti karena anaknya hendak menikah dengan lelaki non-muslim. Untuk kasus di atas, maka walinya adalah wali lain yang terdekat, dan jika tidak ada, maka pemerintah/negara/hakim. Tetapi jika kasusnya melanggar syari’at seperti hendak menikah dengan lelaki non-muslim, meski walinya pemerintah, pernikahannya tetap saja batal. Wal-‘Llahu a’lam.