MUI: BPJS Harus Syari’ah

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba pada akhir Juli-awal Agustus 2015, isu MUI mengharamkan BPJS Kesehatan menjadi trending topic pemberitaan semua media nasional. Presiden sendiri sampai menunjuk Menteri Kesehatan dan Direktur Utama BPJS Kesehatan untuk berdiskusi dengan MUI terkait polemik keharaman BPJS ini.


Fatwa tentang BPJS itu sendiri sebenarnya dikeluarkan pada 9 Juni 2015 silam melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah. Ijtima Ulama itu sendiri adalah Konferensi para Ulama Komisi Fatwa MUI dari berbagai daerah untuk membahas dan memutuskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah strategis kebangsaan (masa`il asasiyyah wathaniyyah), masalah-masalah fiqih kontemporer (masa`il fiqhiyyah mu’ashirah), dan masalah hukum dan perundang-undangan (masa`il qanuniyyah). Dalam Ijtima Ulama V ini sendiri MUI mengeluarkan 34 fatwa terkait tiga persoalan pokok di atas, dan BPJS adalah salah satunya.
Din Syamsudin, Ketua Umum MUI, memang sempat menyatakan tidak ada fatwa haram dari MUI terkait BPJS. Yang ada, menurutnya, hanya rekomendasi untuk memperbaiki hal-hal yang belum sesuai syari’ah. Pernyataan Din tersebut dikemukakan untuk mengerem kesalahpahaman masyarakat yang menilai MUI mengharamkan BPJS secara mutlak. Sebab faktanya MUI memang membenarkan sistem asuransi sosial seperti BPJS ini, hanya tetap harus dibersihkan dari praktik-praktik yang haram seperti maisir (perjudian/pertaruhan), riba (bunga) dan gharar (ketidakjelasan/gambling/spekulatif).
Lebih lengkapnya, fatwa MUI tentang BPJS ini diputuskan dalam Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer) tentang Panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan. Dalam diktum Deskripsi Masalah dijelaskan sebagai berikut:
Memperhatikan program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS—khususnya BPJS Kesehatan—dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, nampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak.
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
Selanjutnya, dalam diktum Ketentuan Hukum dan Rekomendasi, MUI menyatakan:

  1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.
  2. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan pelayanan prima.

Dalam diktum Dasar Penetapan dicantumkan dalil-dalil naqli (wahyu) dan aqli (rasional) tentang harus adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Akan tetapi jaminan sosial tersebut harus sesuai syari’ah berdasarkan panduan: (1) AAOIFI/Accounting and Auditing Organization of Islamic Finance Institutions (Al-Ma’ayir Al-Syar’iyyah) tahun 2010 No. 26 tentang Al-Ta’min Al-Islamy. (2) Fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional MUI) No. 21 tentang Pedoman Asuransi Syariah. (3) Fatwa DSN-MUI No. 52 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syari’ah dan Reasuransi Syari’ah. (4) Fatwa DSN-MUI No. 43 tentang ganti rugi (ta’widh).
Maksud MUI, panduan asuransi yang sesuai syariah sudah dijelaskan dalam fatwa-fatwa sebelumnya, sehingga tinggal merujuk saja pada fatwa-fatwa tersebut. Akan tetapi tentu tulisan di sini sangat terbatas untuk mengulas semua fatwa-fatwa di atas. Hanya jika merujuk pada fatwa BPJS di atas, yang dipersoalkan MUI pada intinya berkisar pada modus transaksional atau akad antar para pihak dan denda administratif.
Dalam Fatwa DSN-MUI No. 21 tentang Pedoman Asuransi Syariah dijelaskan bahwa:
Akad dalam Asuransi

  1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru’.
  2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.

 
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

  1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
  2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

 
Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

  1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
  2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Adanya ketentuan dua akad yang berbeda sekaligus dalam satu program asuransi untuk menghindari akad-akad yang haram, yakni:
Pertama, riba bai’; tukar menukar uang yang sejenis tapi tidak sama nilai dan tidak tunai. Antara bayaran premi dan tanggungan asurasi yang diterima hampir dipastikan selalu tidak sama, sehingga masuk riba bai’.
Kedua, gharar; transaksi/perjanjian tukar menukar dalam sesuatu hal yang tidak pasti, seperti kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian, yang tidak bisa dipastikan kapan terjadinya. Sementara itu premi/iuran bulanan tetap masuk, padahal dalam akadnya untuk menjamin hal-hal yang tidak pasti tersebut. Ketika yang tidak pasti tidak kunjung datang, sementara iuran tetap berlangsung, berarti gharar, bahkan zhulm (penzhaliman). Ini sama dengan membeli ikan yang masih ada di kolam atau buah-buahan yang belum masak dan belum jelas berapa banyaknya. Uang sudah pasti harus masuk, tetapi yang didapatkan belum pasti. Ini adalah gharar yang diharamkan.
Ketiga, maisir (gambling/perjudian) karena masing-masing peserta wajib menyimpan dana, tetapi kemudian dana itu kembali hanya kepada orang-orang tertentu secara spekulatif (untung-untungan). Jika yang spekulatif itu (baca: sakit) ada, maka dana pun akan didapatkan kembali bahkan dengan mengambil dana dari peserta lainnya; sementara jika yang spekulatif itu tidak ada, maka dana pun hangus. Yang seperti ini masuk kategori perjudian/pertaruhan/maisir.
Ketiga praktik haram di atas teratasi dengan adanya akad tabarru’ (berderma) melalui akad hibah. Akan tetapi dalam BPJS akad ini masih tidak jelas. Akibatnya peserta tidak berniat membayar iuran untuk dihibahkan ke peserta lainnya melalui pengelola hibah, melainkan membayar iuran untuk menjamin kesehatan sendiri ketika suatu saat nanti dibutuhkan.
Ketidakjelasan akad hibah ini diperparah lagi dengan denda finansial sebagaimana sudah disinggung dalam fatwa MUI di atas. Padahal denda finansial yang dibenarkan hanya seukuran kerugian yang dialami pihak terkait, dalam hal ini BPJS. Sementara itu, kerugian BPJS dari keterlambatan pembayaran peserta belum jelas adanya, tetapi denda finansial dipatok secara pasti berdasarkan tempo. Denda finansial yang didasarkan pada tempo/waktu masuk kategori riba nasi`ah (bunga karena adanya tempo). Ketentuan denda finansial ini sudah dijelaskan dalam Fatwa DSN-MUI No. 43 tentang ganti rugi (ta’widh).
Akad hibah juga memestikan pengelola dana hibah menggunakannya hanya untuk para peserta. Sebab dana hibah itu tidak dimiliki oleh pengelola, melainkan oleh peserta penyetor dana hibah sesuai akad hibah di awal. Pengelola dana hibah yang dalam hal ini BPJS hanya diperbolehkan mengambil dana dari peserta untuk operasional dalam bentuk ujrah (fee) di luar dana hibah tersebut. Ketentuan ini sudah dijelaskan dalam Fatwa DSN-MUI No. 52 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syari’ah dan Reasuransi Syari’ah.
Di samping itu tidak dapat dinafikan bahwa asuransi akan selalu menginvestasikan dananya di lembaga atau usaha yang menghasilkan profit/keuntungan. Keuntungan ini kelak akan dibagi kepada pihak pengelola dan peserta. Maka harus dipastikan bahwa dana yang diinvestasikan ini bukan dari dana hibah, sebab dana hibah akadnya hibah untuk sesama peserta yang membutuhkan, bukan untuk diinvestasikan dan kemudian keuntungannya dibagi. Maka dari itu, fatwa MUI tentang Pedoman Asuransi Syariah di atas memestikan adanya pemisahan dua akad di atas. Akad tijarah/mudlarabah (investasi) memang bisa dialihkan pada tabarru’, tetapi tidak sebaliknya. Untuk point yang ini tampaknya di BPJS tidak terlalu riskan, mengingat keuntungan dari investasi BPJS kembali lagi untuk dana jaminan sosial anggota, tidak dibagi berupa keuntungan hasil usaha sesuai besarnya saham.
Meski demikian, adanya investasi dari BPJS ini menimbulkan persoalan baru terkait riba. Dalam UU BPJS Pasal 11 point b disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk: “Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.” Menurut KH. Ma’ruf Amin sendiri, faktanya BPJS tidak menginvestasikan dananya di lembaga keuangan syariah, maka dari itu tidak bisa lepas dari riba. Dalam kasus ini maka unsur haram yang harus dibersihkan dari BPJS menjadi bertambah lagi.
Meski demikian, KH. Ma’ruf Amin sendiri menegaskan bahwa BPJS yang ada sekarang boleh digunakan dalam kondisi darurat, selama belum ada BPJS Syariah. BPJS Syariah yang dimaksud beliau tentunya bisa dibuat menjadi dua; BPJS Konvensional dan BPJS Syariah, atau bisa juga BPJS yang sekarang tinggal disempurnakan agar sesuai syari’ah.
Darurat itu sendiri tentunya berlaku bagi mereka-mereka yang betul-betul tidak mampu membayar biaya pengobatan selain harus dibantu melalui BPJS.
Ulama adalah pewaris para Nabi, sebab mereka mewarisi keilmuan yang diajarkan oleh para Nabi. Mengabaikan atau bahkan mencibir para ulama sama halnya dengan mengabaikan atau mencibir para Nabi. Bukan hanya Nabi Muhammad saw, melainkan semua Nabi ‘alaihimus-salam. Jika demikian faktanya, masihkah ada iman yang bersemayam dalam hati?
Wal-‘Llahu a’lam.