Millah Ibrahim; Agama Yang Sebenarnya

Agama yang sebenarnya bisa dirujuk pada millah Ibrahim. Beliau—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya dan keluarganya—merupakan salah satu teladan yang wajib diikuti. Keberagamaan setiap muslim, apakah sudah benar atau masih menyimpang, salah satunya bisa dirujukkan pada sejauhmana ia sudah mengikuti millah Ibrahim.


Penggunaan istilah uswah hasanah (teladan terbaik) dalam al-Qur`an merujuk kepada dua sosok manusia terhebat; Muhammad dan Ibrahim shallal-‘Llahu ‘alaihima wa sallam (rujuk QS. 33 : 21 dan 60 : 4, 6). Demikian halnya penggunaan istilah ahlul-bait (keluarga mulia. Rujuk QS. 11: 73, 33: 33) dan shalawat dari Allah dan malaikat, ditujukan kepada dua manusia terhebat tersebut (11 : 73, 33: 56). Maka dari itu tidak heran jika dalam shalawat yang Nabi Muhammad saw ajarkan, tidak terlewat juga shalawat untuk Nabi Ibrahim as dan keluarganya; kama shallaita ‘ala Ali Ibrahim, kama barakta ‘ala Ali Ibrahim.
Ini semua merupakan penegasan bahwa Muhammad saw adalah pelanjut ajaran Ibrahim as. Tidak sebagaimana dituduhkan oleh Yahudi dan Kristen—keduanya sama-sama mengklaim sebagai pelanjut agama Ibrahim sebenarnya—yang meyakini bahwa Muhammad saw membawa agama yang menyimpang dari millah Ibrahim. Yang benar justru sebaliknya, Yahudi dan Kristen yang sudah jauh menyimpang dari millah Ibrahim.
Millah Ibrahim itu sendiri artinya agama Ibrahim, tepatnya agama Islam. Nabi Muhammad saw, termasuk umatnya diwajibkan Allah swt untuk mengikuti millah Ibrahim.

مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا

…(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini (QS. al-Hajj [22] : 78).

ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ    

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. an-Nahl [16] : 123).
Kewajiban mengikuti millah Ibrahim ini diberlakukan sebab ini adalah salah satu bentuk konkrit dari agama yang sebenarnya; dinan qiyaman (agama yang benar/lurus). Melenceng dari millah Ibrahim, berarti menyimpang dari kebenaran, dan Yahudi-Kristen ada dalam penyimpangan tersebut.

قُلۡ إِنَّنِي هَدَىٰنِي رَبِّيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ دِينٗا قِيَمٗا مِّلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ   

Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. al-An’am [6] : 161).
Dari ayat-ayat di atas diketahui bahwa millah Ibrahim itu adalah hanîf; lurus dalam jalan kebenaran. Makna asal dari hanîf/hanaf ini, sebagaimana dikemukakan ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, sama dengan janaf, yakni mail; berbelok atau menyimpang. Cuma bedanya, hanîf/hanaf menyimpang dari kesesatan menuju kebenaran, sementara janaf menyimpang dari kebenaran menuju kesesatan (rujuk QS. al-Baqarah [2] : 182). Pengertian hanîf ini diperkuat dengan penegasan Allah swt dalam ayat al-An’am dan an-Nahl di atas: wa ma kana minal-musyrikîn; tidak pernah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Bahkan dari ketujuh ayat al-Qur`an yang menyebut hanîf, semuanya selalu dilanjutkan dengan penegasan ‘tidak pernah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah’ (QS. Al-Baqarah [2] : 135. Ali ‘Imran [3] : 67, 95. Al-An’am [6] : 79, 161. An-Nahl [16] : 120, 123). Maka dari itu, dengan tegas al-Hafizh Ibn Katsir menyatakan bahwa maksud hanîf adalah ‘menyimpang dari syirik menuju tauhid’.
Yahudi dan Kristen jelas menyimpang dari millah Ibrahim ini, sebab keduanya sudah syirik. Mereka meyakini Allah swt mempunyai anak, juga beriman kepada jibt (sihir atau jin) dan thaghut (berhala).

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ عُزَيۡرٌ ٱبۡنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ ٱللَّهِۖ ذَٰلِكَ قَوۡلُهُم بِأَفۡوَٰهِهِمۡۖ يُضَٰهِ‍ُٔونَ قَوۡلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبۡلُۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ   

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. at-Taubah [9] : 30)

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ أُوتُواْ نَصِيبٗا مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡجِبۡتِ وَٱلطَّٰغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ هَٰٓؤُلَآءِ أَهۡدَىٰ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ سَبِيلًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab (Yahudi-Kristen/Nasrani)? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada jalan orang-orang yang beriman (QS. an-Nisa` [4] : 51).
Sehingga Allah swt pun dengan tegas menyatakan hanya umat Nabi Ibrahim as, Nabi Muhammad saw dan umatnyalah yang sesuai dengan millah Ibrahim. Bukan Yahudi atau Kristen (QS. Ali ‘Imran [3] : 67-68). Sebab hanya umat Nabi Ibrahim as, Nabi Muhammad saw dan umatnyalah yang konsisten dalam hanîf.
Hanîf juga diimplementasikan oleh Nabi Ibrahim as lewat kejujuran dan keterusterangan untuk hanya mengakui Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan dan Islam sebagai jalan kebenaran, meski harus berbeda dan berselisih dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama: Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. al-Mumtahanah [60] : 4).
Oleh sebab itu, para ulama salaf memasukkan surat al-Kafirun ke dalam rumpun tauhid yang wajib diamalkan, setelah surat al-Ikhlash. Dan Nabi Muhammad saw pun sering membaca keduanya dalam dua raka’at berturutan pada shalat Witir, qabla Shubuh, dan ba’da Maghrib (Tafsir Ibn Katsir surat terkait). Ini merupakan pertanda bahwa tauhid yang sesuai millah Ibrahim tidak hanya berwujud pengakuan saja, tetapi juga harus berwujud keberanian untuk menyatakan dan bersikap berbeda dengan penganut agama non-Islam dalam hal-hal yang menyangkut aqidah.
Maka jika ada muslim yang masih tidak berani untuk menolak perayaan Natal bersama, Tahun Baru, kebaktian yang dibungkus kegiatan sosial di Gereja, ritual dan tradisi Paskah, Imlek, Cap Go Meh, dan semacamnya, maka itu pertanda Islamnya belum benar. Atau masih belum berani menolak mendatangi candi Borobudur dan situs-situs berhala lainnya; atau paranormal, kuburan yang dikeramatkan, ritual panen raya, sedekah laut, masih mendukung yang meyakini adanya benda-benda keramat, dan yang semacamnya; ini juga pertanda agamanya tidak lurus. Termasuk mereka yang senang mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru, dan ucapan selamat-selamat lainnya yang ditujukan pada peribadatan kepada selain Allah swt, ini semua bentuk penyimpangan dari kebenaran. Seharusnya diteladani Nabi Ibrahim as yang berani menyatakan “tidak” pada aqidah yang menyimpang dari tauhid. Wal-‘Llahu a’lam.