Mertua Termasuk Muhrim Yang Boleh Melihat Aurat Terbatas

Bismillah, Ustadz izin bertanya. Kalau mertua itu termasuk mahram kah? Seperti kebolehan melihat rambut. 

Pertanyaan di atas hemat kami harus dibedakan dahulu antara mahram haram menikah dan siapa saja yang boleh melihat aurat yang terbatas.

Pertama, mahram yang haram menikah dengan mereka sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nisa` [4] : 22-24 adalah: (1) Ibu tiri, (2) ibu kandung, (3) anak kandung, (4) saudara, (5) bibi dari pihak ayah, (6) bibi dari pihak ibu, (7) keponakan dari saudara laki-laki, (8) keponakan dari saudara perempuan, (9) ibu yang menyusui, (10) saudara sepersusuan, (11) ibu mertua, (12) anak tiri yang ibunya sudah jima’ dengan ayah tirinya, (13) menantu, (14) menikahi dua bersaudara sekaligus, (15) wanita yang bersuami, (16) wanita musyrik (non-Islam), dan (17) pelacur. Untuk wanita musyrik (non-Islam) dalilnya terpisah dalam QS. al-Baqarah [2] : 221 dan al-Mumtahanah [60] : 10, dan untuk pelacur ada dalam QS. an-Nur [24] : 3.

Ayat-ayat di atas posisinya ditujukan kepada lelaki yang haram menikahi perempuan yang disebutkan di atas. Tentunya berlaku juga kebalikannya, perempuan menerima pinangan menikah dari laki-laki yang kebalikan dari yang disebutkan di atas. Di antaranya mertua; baik ibu mertua ataupun bapak mertua.

Kedua, terkait yang haram terlihat dari aurat seseorang. Jika itu lelaki maka auratnya adalah sekitar pinggang dan paha. Sementara aurat perempuan adalah semua tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, berdasarkan firman Allah swt: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. an-Nur [24] : 31). Al-Hafizh Ibn Katsir mengutip penjelasan dari Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan para ulama salaf berikutnya bahwa yang dimaksud adalah “dikecualikan wajah dan telapak tangan”. Menurut beliau: Wa hadza huwal-masyhur ‘indal-jumhur; ini adalah masyhur menurut jumhur/mayoritas ulama.

Selanjutnya masih dari ayat 31 surat an-Nur di atas, ada juga larangan memperlihatkan perhiasan kecuali kepada 12 orang. Menurut pendapat yang paling kuat, yang dimaksud adalah perhiasan yang biasa dipakai kaum perempuan di telinga, leher, tangan, dan kaki. Artinya sebatas boleh membuka kerudung, baju bagian bawah lengan, dan pakaian bagian bawah kaki saja di hadapan ke-12 orang yang dikecualikan dalam ayat tersebut, yakni: “suami, ayah kandung, ayah suami, putra kandung, putra suami, saudara laki-laki (senasab), putra saudara laki-laki, putra saudara perempuan, wanita-wanita Islam, hamba sahaya milik sendiri, pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” Penegasan “wanita-wanita Islam” secara jelas menunjukkan bahwa kepada perempuan kafir hukumnya tetap haram.

Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa dalam 12 orang yang disebutkan di atas tidak ada paman, maka dari itu haram memperlihatkannya kepada paman. Dan tentunya kepada semua orang yang tidak disebutkan dalam ayat di atas. Beliau juga menegaskan:

كُلُّ هَؤُلَاءِ مَحَارِمُ الْمَرْأَةِ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَظْهَرَ عَلَيْهِمْ بِزِينَتِهَا، وَلَكِنْ مِنْ غَيْرِ اقْتِصَادٍ وَتُبَهْرُجٍ

Mereka semua ini (yang 12 orang) adalah mahram-mahram seorang perempuan yang boleh memperlihatkan perhiasan kepada mereka, tetapi tentunya tidak boleh dengan sengaja atau pamer (Tafsir Ibn Katsir surat an-Nur [24] : 31). Wal-‘Llahu a’lam