Merayakan Hari Raya

Benarkah hari raya ‘Idul-Fithri boleh dirayakan? Bagaimana perayaan yang dibolehkan itu? 
Imam Muslim menuliskan satu tarjamah terkait perayaan ‘Idul-Fithri ini dalam kitab Shahih Muslimnya:

بَابُ الرُّخْصَةِ فِي اللَّعْبِ الَّذِي لاَ مَعْصِيَةَ فِيْهِ فِي أَيَّامِ الْعِيْدِ    

Rukhshah dalam hal permainan/hiburan yang tidak mengandung maksiat pada hari raya.
Artinya Imam Muslim menyimpulkan bahwa perayaan dengan mengadakan beberapa permainan atau hiburan pada hari raya itu diperbolehkan sepanjang tidak ada unsur maksiatnya. Adapun hadits yang dijadikan dasar dalilnya adalah:

قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ. فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ: مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فَقَالَ: دَعْهُمَا. فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا. قَالَتْ: وَكَانَ يَوْمُ عِيْدٍ يَلْعَبُ السُّوْدَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ, فَإِمَّا سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ  وَإِمَّا قَالَ: تَشْتَهِيْنَ تَنْظُرِيْنَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ, خَدِّي عَلَى خَدِّهِ. وَيَقُوْلُ: دُوْنَكُمْ بَنِي أَرْفِدَةَ! حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ: حَسْبُكِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ قَالَ: فَاذْهَبِي

‘Aisyah ra berkata: Rasulullah saw masuk ke rumahku, dan saat itu di dekatku ada dua orang anak perempuan yang sedang menyanyikan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring di atas kasur dan memalingkan mukanya. Tidak lama kemudian Abu Bakar datang dan ia menegurku sambil berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah saw?” Maka Rasulullah saw pun berbalik dan menghadap kepadanya sambil berkata: “Biarkan mereka!” Ketika Abu Bakar tidak memperhatikan lagi, aku berisyarat dengan mata kepada kedua anak perempuan itu, dan mereka pun keluar. ‘Aisyah berkata lagi: “Pada hari ‘Id banyak orang Sudan bermain senjata dan perisai. Terkadang aku meminta kepada Rasulullah saw, dan terkadang beliau sendiri yang menawarkan: “Kau ingin melihat?” Aku pun menjawab: “Ya.” Lalu beliau menempatkanku di belakangnya, pipiku di atas pipinya. Beliau pada waktu itu berteriak: “Ayo terus Bani Arfidah!”. Sampai ketika aku bosan, beliau bertanya: “Cukup?” Aku pun menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Kalau begitu silahkan pergi!” (Shahih Muslim bab ar-rukhshah fil-la’b alladzi la ma’shiyata fihi fi ayyamil-‘id no. 2102).
Kesimpulan rukhshah (keringanan) dari Imam Muslim di atas di antaranya diketahui dari sikap Abu Bakar yang tidak setuju adanya yang bernyanyi di rumah Rasulullah saw. Jadi artinya Abu Bakar sudah paham—tentunya berdasarkan ajaran Rasul saw—bahwa itu tidak boleh ada. Meski demikian karena saat itu hari ‘Id, Nabi saw membolehkannya. Jawaban Nabi saw dalam sanad yang lain:

يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا

Hai Abu Bakar, setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita (Shahih Muslim no. 2098).
Artinya bahwa hiburan itu bukan prioritas. Nabi saw dan para shahabat pun tidak sengaja mengadakannya. Melainkan ada orang lain yang merayakan, lalu Nabi saw tidak menyalahkan. Terlebih umumnya para shahabat dan generasi salaf selalu harap-harap cemas dan banyak memanjatkan do’a pada hari raya agar segenap amal ibadah selama Ramadlan diterima Allah swt. Inilah yang penting dilakukan pada hari raya. Wal-‘Llahu a’lam