Menyikapi Penyakit Yang Belum Ditemukan Obatnya

Massifnya pemberitaan virus Corona Covid-19 masuk ke Indonesia tidak dipungkiri menimbulkan ketakutan kepada warga Indonesia. Umat Islam tentu harus tetap merujukkan rasa takutnya pada taqdir agar tetap tenang dan tidak panik, sebab kematian walau bagaimanapun bukan disebabkan oleh virus, melainkan taqdir. Keyakinan ini akan menjadikan setiap orang tawakkal kepada Allah swt. Tentunya tawakkal yang disertai upaya yang tepat sebagaimana dituntunkan Nabi saw dalam berbagai haditsnya.


Nabi saw memberikan dua panduan pokok dalam menghadapi kasus penyakit yang belum ditemukan obatnya. Jika penyakit itu belum menjadi wabah maka semaksimal mungkin menghindari orang yang berpenyakitnya agar tidak tertular penyakitnya, meski tidak sampai wajib, sebatas dianjurkan. Kalaupun hendak berinteraksi dengan mereka maka tetap dibolehkan. Akan tetapi jika sudah mewabah, maka siapapun yang berada di daerah wabah jangan membawa penyakit tersebut ke luar daerah wabah. Kesabaran dalam menghadapi penyakit akan diganjar oleh Allah swt dengan pahala mati syahid, tentunya mereka yang muslim dan tawakkal kepada Allah swt. Orang-orang yang mati syahid itu pada hakikatnya tidak mati, mereka adalah orang-orang yang hidup dengan disuguhi anugerah kenikmatan di sisi Allah swt. Jadi apa alasannya hati merasa takut berlebihan akibat pemberitaan virus Corona?
Terhadap penyakit yang belum ditemukan obatnya, Nabi saw memberikan tuntunan:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ

Tidak ada pengalihan penyakit (secara tidak alami berdasarkan mitos), tidak ada kesialan, tidak ada burung hantu (yang diyakini sebagai pembawa sial), tidak ada shafar (yang diyakini sebagai pembawa sial). Dan larilah kamu dari penderita kusta sebagaimana kamu lari dari singa (Shahih al-Bukhari kitab at-thibb bab fil-judzam no. 5707).
Maksud sabda Nabi saw la ‘adwa tidak bertentangan dengan anjuran Nabi saw untuk menghindari penderita kusta. Maksud la ‘adwa adalah meniadakan pengalihan penyakit sebagaimana diyakini oleh mitos-mitos masyarakat Jahiliyyah. Demikian Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bab la ‘adwa wa la thiyarah. Disetarakannya dengan keyakinan Jahiliyyah lainnya yang berupa mitos yakni kesialan. Lebih jelasnya, dalam sabdanya lain Nabi saw mengingatkan kepada para pemilik unta berpenyakit untuk tidak mendatangkan untanya ke tengah-tengah unta-unta yang sehat. Artinya penyakit menular itu memang ada dan harus dicegah penularannya sebagaimana Nabi saw menganjurkan orang yang sehat untuk menghindari penderita kusta dalam hadits di atas:

لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

Pemilik unta berpenyakit tidak boleh mendatangkan untanya yang sakit ke unta-unta yang sehat (Shahih Muslim bab la ‘adwa wa la thiyarah no. 5922-5923).
Akan tetapi tetap jangan diyakini bahwa penyebaran penyakit itu terjadi akibat kesalahan dari si penderita, sebab pada hakikatnya semuanya akibat kehendak Allah swt. Maka dari itu ketika ada seorang shahabat yang mempertanyakan, mengapa untanya jadi berkudis setelah didekati oleh unta lainnya yang berkudis, Nabi saw menjawab dengan pertanyaan retoris:

عن أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللهِ فَمَا بَالُ إِبِلِي تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيَأْتِي الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيَدْخُلُ بَيْنَهَا فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Sungguh Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada pengalihan penyakit, shafar, dan burung hantu.” Lalu ada seorang Arab dari pedusunan yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa sebabnya untaku ketika di padang pasir seperti kijang, tetapi ketika ada unta berkudis datang mendekatinya tiba-tiba menjadikannya berkudis juga?” Beliau menjawab: “Lalu siapa yang menyebabkan kudis pada unta yang pertama?” (Shahih al-Bukhari bab la shafar wa huwa da` ya`khudzul-bathn no. 5717).
Maksud pertanyaan Nabi saw di atas adalah bahwa unta menjadi berkudis itu pada hakikatnya karena kehendak Allah swt. Dia lah juga yang menghendaki adanya kudis pada unta yang pertama kudisan yang bukan karena ditulari oleh unta lainnya.
Memahami dua hadits yang tampaknya bertentangan seperti diuraikan di atas adalah pemahaman yang diajarkan jumhur ulama. Tidak boleh dengan menyatakan salah satunya lemah atau digugurkan dengan hadits lainnya ketika faktanya dua-duanya shahih dan masih bisa dikompromikan. Demikian Imam an-Nawawi menjelaskan.
Seperti itu juga metode memahami perintah Nabi saw untuk menjauhi penderita kusta di atas ketika dihadapkan dengan riwayat bahwa Nabi saw pernah makan di dekat penderita kusta, sebagaimana diceritakan riwayat berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُومٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِي القَصْعَةِ، ثُمَّ قَالَ: كُلْ بِسْمِ اللَّهِ، ثِقَةً بِاللَّهِ، وَتَوَكُّلًا عَلَيْهِ

Dari Jabir ibn ‘Abdillah: Rasulullah saw memegang tangan penderita kusta dan memasukkannya bersama beliau dalam piring besar, kemudian berkata: “Makanlah dengan nama Allah,” karena kuat keyakinan kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fil-akl ma’al majdzum no. 1817)
Imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa sanad hadits di atas diperselisihkan, dan beliau memastikan bahwa yang kuatnya hadits di atas mauquf atas ‘Umar, yakni ‘Umar lah yang mengajak penderita kusta tersebut. Thariqatul-jam’i (cara mengompromikan) dua hadits di atas adalah bahwa menghindari penderita kusta itu dianjurkan, dan diperbolehkan mendekatinya (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Al-Qadli ‘Iyadl, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi, menjelaskan kesepakatan para ulama bahwa penderita kusta dilarang datang ke masjid dan berbaur dengan masyarakat. Penderita kusta hanya diperbolehkan ke masjid untuk shalat Jum’at, sementara momen ibadah lainnya dilarang. Mereka tetap diperbolehkan untuk beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Termasuk mengambil air di sumber air yang sama dengan masyarakat sekitar, seandainya tidak ada yang mengambilkan air untuk mereka. Jika penderita kusta banyak, dianjurkan agar mereka menempati daerah khusus yang berjauhan dengan masyarakat umum (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim).
Itu berarti bahwa hadits sudah mengajarkan—yang kemudian dikuatkan oleh penjelasan para ulama hadits—bahwa usaha untuk meminimalisir penularan harus dilakukan secermat mungkin tanpa su`uzhan kepada penderitanya. Penderita tetap harus diperlakukan sebagaimana masyarakat pada umumnya dan mereka berhak hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya, meski dengan batas-batas tertentu yang diupayakan bisa meminimalisir penularan penyakit. Harus tetap diyakini bahwa penyakit itu sendiri menular karena kehendak Allah swt, sehingga tidak ada hati yang buruk kepada para penderita apalagi sampai melakukan persekusi.
Terkecuali jika penyakit itu sudah menjadi wabah di suatu daerah, maka dengan tawakkal dan sabar setiap orang yang ada di daerah tersebut harus bertahan dahulu agar virus penyakit tidak menyebar ke mana-mana meski ia bukan salah satu penderitanya. Bahkan seandainya seseorang meninggal di daerah wabah tersebut, asalkan niatnya sabar atas ketentuan syari’at dan meyakini sepenuhnya bahwa kematian itu taqdir Allah swt, maka kematiannya dihitung pahala syahid.

أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Sesungguhnya (wabah penyakit) itu adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Tetapi Allah juga menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Tidak ada seorang hamba pun yang ketika terjadi wabah penyakit tetap tinggal di negerinya karena bersabar seraya mengetahui bahwa tidak akan ada yang menimpanya kecuali yang telah Allah tetapkan, melainkan ia akan memperoleh pahala seperti yang mati syahid (Shahih al-Bukhari bab ajris-shabir fit-tha’un no. 5734).
Allah swt sudah menegaskan bahwa orang-orang yang mati syahid sebenarnya tidak mati, mereka justru hidup dengan dianugerahi berbagai kenikmatan oleh Allah swt (QS. al-Baqarah [2] : 154, Ali ‘Imran [3] : 169). Jadi mengapa harus takut berlebihan…?
Wal-‘iyadzu bil-‘Llah