Mengapa Tidak Hijrah dari Riba?

Para pelaku ekonomi muslim umumnya sudah tahu bahwa riba haram. Umumnya juga mereka sudah tahu model-model riba dalam kehidupan modern yang banyak terkait dengan lembaga keuangan konvensional. Tetapi umumnya juga mereka mengaku terpaksa berinteraksi dengan riba karena kebutuhan. Padahal Allah swt sudah menjanjikan bahwa siapa saja yang berhijrah di jalan-Nya, meski akan mengalami kesulitan terlebih dahulu, pada akhirnya akan menemukan kesenangan di dunia. Jadi mengapa tidak segera hijrah dari riba?


Kepada para shahabat yang sudah berhijrah dari Makkah ke Madinah; mereka yang sudah mengorbankan semua yang mereka miliki di Makkah demi menyelamatkan agama yang diyakini, Nabi saw masih mengingatkan bahwa hijrah belum sepenuhnya selesai. Masih ada hijrah ma’nawi yang harus mereka amalkan dengan istiqamah, yaitu:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

Orang Muslim itu adalah orang yang muslim-muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Sedangkan muhajir (orang yang hijrah) itu adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allah (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab al-muslim man salima al-muslimun no. 9).

الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ

Orang mu`min itu adalah orang yang orang-orang lainnya merasa aman dalam hal harta dan jiwa mereka dari (gangguan)-nya. Sementara muhajir adalah orang yang menjauhi kesalahan dan dosa (Sunan Ibn Majah kitab al-fitan bab hurmah damil-muslimin wa malihi no. 3924).

الْهِجْرَةُ أَنْ تَهْجُرَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ

Hijrah adalah kamu menjauhi perbuatan nista, baik yang tampak atau tersembunyi, mendirikan shalat dan menunaikan zakat (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn ‘Amr no. 6798).
Hadits-hadits di atas mengingatkan umat Islam bahwa hijrah tidak hanya selesai dengan pindahnya mereka dari satu daerah yang memaksakan kekufuran menuju daerah yang memberi kebebasan pada Islam. Di daerah baru dimana mereka sudah bebas beragama Islam pun tuntutan untuk hijrah masih tetap ada, yakni menjauhi semua yang dilarang Allah swt, semua maksiat, dan semua perbuatan nista yang tampak ataupun yang tersembunyi.
Dalam konteks umat Islam Indonesia hari ini yang umumnya secara sadar terlibat dengan riba, hadits-hadits di atas seyogianya mengingatkan diri bahwa hijrah itu tidak hanya untuk masa Nabi saw dan para shahabat ketika mereka dijajah oleh orang kafir Quraisy. Hijrah juga berlaku bagi mereka yang masih berjalin kelindan dengan riba untuk segera melepaskan diri darinya. Alasan-alasan klasik karena terpaksa, belum mampu, dan semacamnya harus segera diakhiri dengan berbagai pertimbangan:
Pertama, alasan terpaksa, hajat (karena kebutuhan), atau bahkan dlarurat, seringkali hanya sebagai kebohongan semata. Sebab jika hanya karena “kebutuhan” pada faktanya masyarakat Jahiliyyah juga berinteraksi dengan riba itu karena mendesak, terdesak oleh keperluan, dan karena kebutuhan yang harus mereka penuhi. Tidak ada seorang pun dari mereka yang hidupnya tertawan oleh riba hanya untuk “gagah-gagahan” seperti halnya masyarakat modern saat ini, mengingat perbankan belum ada pada zaman itu. Mereka umumnya terpaksa meminjam dengan riba karena kebutuhan. Tetapi tetap saja semua itu tidak menjadikan riba halal. Allah swt tetap tegas menyatakannya haram. Maka dari itu alasan hajat sangat tidak relevan untuk dijadikan alasan dalam riba. Paling yang masih relevan adalah alasan dlarurat karena memang disebutkan dalam al-Qur`an. Tetapi makna dlarurat-nya jangan disesuaikan dengan hawa nafsu, melainkan ditempatkan berdasarkan syari’at. Dlarurat itu berlaku ketika dipaksa, sebab al-Qur`an menyebutnya ghaira baghin; bukan karena ingin. Jika alasannya “terpaksa” ini selalu bias, karena di baliknya selalu saja ada motif “ingin”; ingin segera memiliki rumah, ingin segera memiliki mobil, ingin segera mengganti sepeda motor dengan yang baru, dan ingin-ingin lainnya. Dlarurat juga berlaku wa la ‘adin; tidak melebihi batas, seukuran yang “dipaksa”-nya saja. Jika misalkan dipaksa oleh pemerintah harus menerima gaji lewat bank konvensional, maka berlaku daruratnya dalam hal menerima gaji saja. Tidak perlu sambil menyelam minum air; sekalian menabung yang notabene dijadikan modal oleh bank riba dalam menjalankan ribanya, atau menggadaikan SK di bank untuk beli rumah, mobil, dan sebagainya.
Kedua, alasan terpaksa oleh sistem ekonomi yang riba seperti berlaku di negeri ini juga harus segera ditanggalkan, sebab jalan hijrah pada faktanya ada. Tengok kanan dan kiri, banyak pengusaha muslim yang hari ini membuktikan dirinya bisa tetap berusaha dengan tidak menempuh riba. Alhamdulil-‘Llah, sudah mulai banyak asosiasi-asosiasi pengusaha muslim yang mendeklarasikan diri bersih dari riba dan siap melawan riba yang sekaligus jadi bukti bahwa riba bisa dan harus dilawan. Artinya jalan untuk melepaskan diri dari riba itu ada. Jalan untuk hijrah melepaskan diri dari sistem yang mengekang masih ada. Maka alasan terpaksa karena sistem yang mengekang tidak bisa berlaku lagi sebab bisa hijrah.
Allah swt dalam al-Qur`an menyalahkan orang-orang Islam yang dipaksa ikut berperang oleh orang-orang kafir dalam barisan orang-orang kafir melawan pasukan kaum muslimin dan kemudian mati, dengan mempertanyakan mengapa mereka tidak hijrah padahal peluang hijrah ada dan bumi Allah swt itu luas:

إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا  ٩٧ إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا  ٩٨ فَأُوْلَٰٓئِكَ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَعۡفُوَ عَنۡهُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورٗا  ٩٩

 Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (orang yang tidak mau hijrah), (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas (mustadl’afin) di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (97). Kecuali mereka yang tertindas (mustadl’afin) baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (98). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS. An-Nisa` [4] : 97-99).
Dalam ayat-ayat di atas Allah swt menyebutkan dua jenis mustadl’afin yang kedua-duanya wajib berhijrah. Pertama, mustadl’afin yang mampu berhijrah tetapi enggan berhijrah sehingga mati dalam kelompok orang-orang kafir. Kedua, mustadl’afin yang tidak mampu berhijrah karena memang tidak mempunyai bekal dan tidak tahu jalan. Mustadl’afin yang pertama dihukumi neraka, sementara mustadl’afin yang kedua diampuni kesalahannya.
Maka pertanyaannya, apakah orang Islam yang beriteraksi dengan riba dan umumnya mereka dari kalangan mapan termasuk mustadl’afin yang memang tidak mampu hijrah ataukah mustadl’afin yang sebenarnya bisa hijrah? Setiap muslim dituntut untuk jujur menjawabnya. Sebab di alam kematian nanti mulut tidak bisa berdalih sebagaimana halnya di dunia. Seribu dalih untuk membenarkan riba di dunia akan dibungkam nanti di alam kematian.
Ketiga, alasan tidak bisa hidup cukup dan mapan jika tidak berinteraksi dengan riba juga harus segera ditanggalkan, sebab memang Allah swt sudah menggariskan taqdir bahwa hijrah itu akan terasa pedih dan susah di awalnya, tetapi kelak akan terasa manis dan senang di kemudian harinya.

۞وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا  ١٠٠

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa` [4] : 100).
Ayat ini mengingatkan bahwa tidak mustahil ada yang hijrah tetapi belum sempat mendapatkan janji kesenangan di dunia karena dijemput kematian. Ini merupakan isyarat bahwa hijrah pada awalnya akan berat dan susah. Sirah Nabi saw dan para shahabat adalah buktinya. Meski demikian, pada intinya Allah swt tetap menjanjikan kesenangan di dunia bagi siapa yang berani hijrah. Maka permasalahannya apakah umat Islam masih yakin dengan janji-janji Allah swt? Ataukah mereka hendak pasrah menikmati hidup saat ini dengan bergelimang riba? Innal-‘Llaha la yukhliful-mi’ad.