Masih Ingin Menjadi Orang Kaya?

Tidak bisa dipungkiri semua orang pasti ingin menjadi orang kaya. Untuk itu shalat pun seringkali diakhirkan, masjid dan majelis ta’lim pun selalu diabaikan. Padahal para shahabat dahulu bersedih hati ketika mereka ditaqdirkan menjadi orang kaya, sebab mereka faham orang kaya itu banyak ruginya. Meski hidup senang di dunia, tetapi kelak di akhirat pahalanya banyak dikurangi seukuran kekayaannya di dunia. Semakin kaya di dunia, semakin berkurang pahalanya di akhirat. Jadi, masih ingin menjadi orang kaya?


Di antara shahabat yang tercatat dalam riwayat bersedih hati karena menjadi orang kaya itu adalah ‘Abdurrahman ibn ‘Auf dan Khabbab ibnul-Arat. Shahabat yang disebut terakhir memang mengalami hidup miskin di awal Islam, tetapi di masa pasca-Nabi saw ia hidup kaya. Imam al-Bukhari menulis riwayat ketika ‘Abdurrahman ibn ‘Auf hendak makan bersama para shahabat, ia malah berkata:

قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي كُفِّنَ فِي بُرْدَةٍ إِنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ بَدَتْ رِجْلَاهُ وَإِنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ وَأُرَاهُ قَالَ وَقُتِلَ حَمْزَةُ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنْ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنْ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حَتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ

“Mush’ab ibn ‘Umair dahulu gugur di medan perang dan ia lebih baik dariku, tetapi ia hanya dikafani oleh sehelai kain yang jika ditutup kepalanya, terbuka kakinya. Jika ditutup kakinya, terbuka kepalanya. Demikian halnya Hamzah gugur di medan perang dan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia dihamparkan kepada kita seperti yang kita rasakan sekarang. Kita diberi dunia seperti yang sudah kita rasakan. Sungguh kami takut ini adalah kesenangan/pahala yang disegerakan bagi kami.” Kata Ibrahim: “Ia kemudian menangis dan tidak jadi makan.” (Shahih al-Bukhari bab idza lam yujad illa tsaub wahid no. 1275).
‘Abdurrahman ibn ‘Auf menyatakan seperti di atas karena faham dengan sabda Nabi saw kepada ‘Umar ibn al-Khaththab ketika ia menyinggung kekayaan para penguasa Romawi dan Persia:

أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Mereka itu kaum yang disegerakan kesenangan mereka dalam kehidupan dunia (Shahih al-Bukhari bab al-ghurfah wal-‘ulyah al-musyrafah no. 2468).
Inilah yang ‘Abdurrahman takutkan, sehingga ia sebenarnya ingin seperti Mush’ab ibn ‘Umair. Ia takut kekayaan yang dimilikinya sebenarnya hanya kesenangan akhirat yang didahulukan di dunia. Akan tetapi memang taqdir tidak bisa dihindari, ia ditaqdirkan menjadi orang kaya.
Tidak jauh beda dengan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Khabbab ibnul-Arat pun demikian, ia bersedih karena ditaqdirkan menjadi orang kaya. Ketika ia sakit menjelang akhir hayatnya dan dijenguk oleh para shahabat dan tabi’in, ia mencurahkan isi hatinya dengan terlebih dahulu menyinggung Mush’ab ibn ‘Umair yang wafat dalam keadaan miskin dan ia iri kepadanya:

إِنَّ أَصْحَابَنَا الَّذِينَ مَضَوْا لَمْ تَنْقُصْهُمْ الدُّنْيَا شَيْئًا وَإِنَّا أَصَبْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ شَيْئًا لَا نَجِدُ لَهُ مَوْضِعًا إِلَّا التُّرَابَ

Sesungguhnya para shahabat kita telah berlalu tanpa dunia mengurangi pahala mereka sedikit pun. Tetapi kita sesudah mereka memperoleh sedikit dunia yang kita tidak punya lagi tempat untuk menyimpannya kecuali tanah.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab ma yuhdzaru min zahratid-dunya no. 6431).
Maksud Khabbab bahwa para shahabat banyak yang sudah meninggal tanpa terkurangi pahala mereka oleh dunia, adalah oleh kekayaan dunianya. Sehingga Mush’ab yang meninggal dalam keadaan miskin disebut oleh Khabbab meninggal tanpa pernah mengambil pahalanya. Sebab Khabbab sudah faham, orang-orang yang kaya itu hakikatnya telah mengambil pahala mereka untuk dinikmati di dunia, dan kelak di akhirat ditunaikan sisanya. Curahan hati Khabbab ini didasarkan pada hadits Nabi saw:

مَا مِنْ غَازِيَةٍ أَوْ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فَتَغْنَمُ وَتَسْلَمُ إِلاَّ كَانُوا قَدْ تَعَجَّلُوا ثُلُثَىْ أُجُورِهِمْ وَمَا مِنْ غَازِيَةٍ أَوْ سَرِيَّةٍ تُخْفِقُ وَتُصَابُ إِلاَّ تَمَّ أُجُورُهُمْ (إِلاَّ تَعَجَّلُوا ثُلُثَىْ أَجْرِهِمْ مِنَ الآخِرَةِ وَيَبْقَى لَهُمُ الثُّلُثُ

Tidak ada satu pasukan pun yang berperang lalu mereka mendapatkan ghanimah dan selamat, kecuali mereka telah mendapatkan 2/3 pahala mereka [kecuali mereka mendahulukan 2/3 pahala akhirat mereka, dan tinggal tersisa 1/3-nya lagi]. Dan tidak ada satu pasukan pun lalu mereka tidak memperoleh ghanimah dan malah terluka/kalah kecuali akan sempurna pahala mereka (Shahih Muslim bab bayan qadri tsawab man ghaza no. 5035. Yang ditulis dalam kurung [] dari riwayat no. 5034).
Jadi Khabbab merasa rugi karena pahalanya di akhirat sudah dikurangi oleh kekayaannya di dunia. Berbeda terbalik dengan orang-orang miskin yang pahalanya di akhirat ditunaikan dengan sempurna sebab belum terkurangi kekayaan di dunia.
Terlebih lagi, Nabi saw juga sudah mengajarkan bahwa orang-orang miskin kelak masuk surga lebih dahulu 40-500 tahun, sebelum orang-orang kaya. Maka dari itu Nabi saw berdo’a ingin hidup tetap dalam keadaan miskin agar menjadi orang-orang yang lebih dahulu masuk surga.

عَنْ أَنَسٍ  أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ المَسَاكِينِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا

Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama kelompok orang-orang miskin pada hari kiamat.” ‘Aisyah bertanya: “Mengapa berdo’a seperti itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Karena sungguh mereka masuk surga sebelum orang-orang kaya 40 tahun lebih cepat (Sunan at-Tirmidzi bab anna fuqara`al-muhajirin yadkhulunal-jannah qabla aghniya`ihim no. 2352. Riwayat yang 40 tahun juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ra dalam Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq no. 7654).

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ المُسْلِمِينَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ

Kaum muslimin yang faqir akan masuk surga sebelum orang-orang kaya lebih cepat setengah hari, yakni 500 tahun (Sunan at-Tirmidzi bab anna fuqara`al-muhajirin yadkhulunal-jannah qabla aghniya`ihim no. 2355).
Miskin yang dimaksud Nabi saw dalam do’anya di atas tentunya orang miskin yang terhormat; orang miskin yang mampu bersabar dan mandiri dalam kemiskinannya tanpa pernah menjadi beban orang lain: “Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling meminta kepada orang-orang, lalu diberi satu dua suap, atau satu dua buah kurma. Orang miskin yang sebenarnya itu adalah yang tidak mempunyai harta cukup, tetapi ia tidak dimengerti oleh orang lain dan diberi shadaqah. Meski demikian ia tidak berani meminta kepada orang-orang” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab qaulil-‘Llah ta’ala la yas`alunan-nas ilhafan no. 1479. Hadits ini menjelaskan firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 273).
Atau orang miskin yang sebenarnya kaya, tetapi mereka memilih menghabiskan kekayaannya dengan infaq agar kelak di akhirat menjadi orang-orang kaya dan masuk surga lebih awal. Itulah sebabnya Nabi saw dalam hadits Abu Dzar dengan tegas menyatakan bahwa beliau sama sekali tidak gembira mempunyai emas sebesar gunung Uhud melainkan akan beliau infaqkan sampai habis dalam tiga hari, dan Nabi saw menyatakan: “Sesungguhnya orang yang paling banyak hartanya (di dunia) adalah orang yang paling sedikit hartanya pada hari kiamat, kecuali mereka yang membagikannya seperti ini, ini, dan ini— sambil berisyarat ke arah kanan, kiri dan belakang. Tetapi sungguh sedikit mereka yang seperti itu.” (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw ma uhibbu anna li mitsla Uhud dzahaban no. 6444).
Oleh sebab itu, Nabi saw mengingatkan agar seandainya obsesi menjadi orang kaya itu ada—dan memang harus tetap ada—tetapi jangan terobsesi menjadi orang kaya yang terlihat kekayaannya dalam wujud materi harta di dunia, melainkan orang kaya yang justru menghabiskan kekayaannya di dunia untuk jalan yang haq:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ، وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasud kecuali kepada dua orang; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia mengerahkan tenaganya untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan seseorang yang diberi hikmah oleh Allah lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab al-ightibath fil-‘ilm no. 73).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa yang dimaksud fa sallathahu artinya ia benar-benar mengeluarkan kemampuan maksimalnya. Halakatihi maksudnya sampai habis. Artinya, setiap muslim dianjurkan untuk berminat menjadi orang kaya, tetapi bukan orang kaya yang banyak harta, melainkan orang kaya yang tetap memilih hidup miskin karena kekayaannya dihabiskan dalam al-haqq.
Jadi agar kekayaan itu tidak mengurangi pahala di akhirat kelak, maka kekayaan di dunia tersebut sudah seharusnya dikembalikan lagi ke akhirat melalui zakat, infaq, dan shadaqah. Hidup di dunia hanya secukupnya saja seukuran orang yang sedang safar dan akan pulang ke kampung halamannya.
Dalam hal ini pula al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, mayoritas salaf  (generasi terdahulu dari shahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in) lebih memilih untuk memiliki harta yang sedikit agar mendapatkan pahala yang melimpah di akhirat kelak. Atau mungkin agar ringan ketika dihisab di hari akhir nanti (Fathul-Bari bab fadllil-faqr).
Jadi, masih ingin menjadi orang kaya? Wal-‘Llahu a’lam