Ketentuan Jama’ dan Qashar

Ustadz mohon dijelaskan batasan kapan jama’ saja, kapan qashar saja, dan kapan jama’-qashar sekaligus? 0838-2240-xxxx
Jama’ shalat bisa dilakukan ketika safar ataupun muqim. Ketika safar, jama’ sebaiknya tidak diamalkan sepanjang waktu safar melainkan di waktu-waktu tertentu yang dirasa sedang sulit jika shalat tidak dijama’. Meski di setiap waktu shalat dijama’ pun hukumnya mubah, hanya lebih baik jama’ diamalkan ketika dalam perjalanan dan sedang sempit waktunya. Ketika muqim jama’ hanya boleh dilakukan di saat-saat tertentu juga, sekali-kali, misalnya ketika ada kesulitan yang mendesak. Tetapi ketika muqim jama’ tidak boleh dengan qashar, karena qashar hanya berlaku ketika safar saja. Ketika safar pun jama’ boleh disatupaketkan dengan qashar jika tidak sedang bermakmum kepada yang muqim. Apabila yang safar bermakmum kepada yang muqim maka ia harus ikut shalat muqim yakni tam tidak qashar. Jika kemudian ia jama’ dengan shalat ‘ashar atau ‘isya sesudahnya, maka yang shalat ‘asharnya boleh diqashar karena ia shalat sendiri sebagai musafir.
Sementara qashar hanya bisa diamalkan ketika safar saja. Yang sering jadi diskusi panjang adalah tentang batasan jarak dan lama waktu safarnya yang membolehkan qashar.
 
Saat Shalat Boleh Dijama’
Jama’ shalat sebaiknya tidak di setiap waktu shalat ketika safar dikemukakan oleh shahabat Ibn ‘Umar ra:

عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أنه كان بِطَرِيقِ مَكَّةَ فَبَلَغَهُ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ شِدَّةُ وَجَعٍ فَأَسْرَعَ السَّيْرَ حَتَّى كَانَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّفَقِ نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعَتَمَةَ جَمَعَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ قَالَ إِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar ra bahwasanya ia sedang di jalan Makkah tiba-tiba menerima berita bahwa Shafiyyah binti Abu ‘Ubaid sakit parah, maka ia pun bergegas dalam melaju. Ketika syafaq (mega merah) sudah terbenam ia turun dan shalat maghrib dan ‘atamah/’isya dengan menjama’ di antara keduanya. Ia kemudian berkata: “Sungguh aku melihat Nabi saw apabila sedang bergegas dalam perjalanan beliau mengakhirkan maghrib dan menjama’ dengan ‘isya.” (Shahih al-Bukhari bab al-musafir idza jadda bihis-sair no. 1805; Shahih Muslim bab jawazil-jam’i bainas-shalatain fis-safar no. 1656)
Pernyataan Ibn ‘Umar ra di atas yang hanya menyebut Nabi saw menjama’ shalat maghrib dan ‘isya, menurut Imam an-Nawawi bukan terbatas pada maghrib dan ‘isya saja, sebab zhuhur dan ‘ashar pun bisa berdasarkan hadits lain. Pernyataan yang menyebut maghrib dan ‘isya saja tersebut karena konteksnya saat itu Ibn ‘Umar menjama’ shalat maghrib dan ‘isya.
Pernyataan Ibn ‘Umar ra bahwa Nabi saw menjama’ ketika “bergegas dalam perjalanan” menunjukkan bahwa jama’ itu pada umumnya ketika melakukan perjalanan, bukan ketika sedang menetap di satu tempat. Meski demikian ini juga bukan menjadi syarat yang wajib, sebab Nabi saw ketika perang Tabuk pernah shalat jama’ meski sedang menetap di satu tempat.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه أَنَّهُمْ خَرَجُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ تَبُوكَ. فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ. قَالَ: فَأَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ. ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا

Dari Mu’adz ibn Jabal ra bahwasanya para shahabat keluar bersama Rasulullah saw pada tahun Tabuk. Rasulullah saw menjama’ shalat antara zhuhur dan ‘ashar lalu maghrib dan ‘isya. Mu’adz menjelaskan: “Beliau mengakhirkan shalat pada satu hari kemudian keluar (dari tenda) lalu shalat zhuhur dan ‘ashar dijama’, setelah itu masuk (tenda) lagi. Kemudian beliau keluar lagi lalu shalat maghrib dan ‘isya dijama’” (Muwaththa` Malik bab al-jam’ bainas-shalatain no. 2).
Imam as-Syafi’i dalam al-Umm menjelaskan bahwa keterangan di atas “kemudian keluar” dan “kemudian masuk” menunjukkan bahwa Nabi saw sedang tidak melakukan perjalanan, melainkan sedang menetap sementara di satu tempat. Itu berarti bahwa jama’ shalat tidak harus sedang dalam perjalanan (sa`iran), melainkan juga boleh ketika menetap sementara (nazilan) di satu tempat. Akan tetapi al-Hafizh Ibn Hajar mengompromikan bahwa yang dijelaskan hadits Mu’adz sebatas menunjukkan boleh, tetapi dalam standar kebiasaannya Nabi saw menjama’ shalat ketika sedang bergegas di perjalanan saja (Fathul-Bari bab idza-rtahala ba’da ma zaghatis-syams).
Apa yang disimpulkan al-Hafizh di atas menemukan pembenarannya dalam manasik haji. Dari sekian rangkaian manasik haji mulai dari Mina, ‘Arafah, Muzdalifah, dan Mina lagi, Nabi saw hanya dilaporkan mengamalkan jama’ ketika di ‘Arafah (jama’ taqdim zhuhur-‘ashar) dan Muzdalifah (jama’ ta`khir maghrib-‘isya) saja. Selebihnya ketika di Mina beliau shalat lima waktu pada waktunya masing-masing tanpa jama’ dan hanya qashar saja. Itu karena ketika di Mina beliau sedang menetap sementara, sementara ketika di ‘Arafah dan Muzdalifah sedang dalam peralihan tempat dan melibatkan ribuan jama’ah sehingga termasuk “bergegas di perjalanan”.
Jadi intinya jama’ boleh ketika safar, baik itu sedang dalam perjalanan (sa`iran) atau sedang menetap sementara (nazilan). Akan tetapi sebaiknya hanya ketika sedang bergegas dalam perjalanan saja.
Sementara jama’ shalat ketika muqim dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas ra sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ.

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw pernah shalat zhuhur dan ‘ashar dijama’, juga maghrib dan ‘isya dijama’, bukan karena takut atau safar.” (Shahih Muslim bab al-jam’ bainas-shalatain fil-hadlar no. 1662)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. فِى حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَىْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw pernah menjama’ shalat zhuhur dan ‘ashar, juga maghrib dan ‘isya, di Madinah, bukan karena takut atau hujan.” Waki’ bertanya kepada Ibn ‘Abbas: “Mengapa beliau melakukan itu?” Jawab Ibn ‘Abbas: “Agar tidak memberatkan umatnya.” (Shahih Muslim bab al-jam’ bainas-shalatain fil-hadlar no. 1667).
Dalam hadits no. 1670, Ibn ‘Abbas diceritakan pernah sengaja berkhutbah dari ba’da ‘Ashar sampai lewat waktu Maghrib. Ketika diprotes oleh jama’ah karena melanggar sunnah, Ibn ‘Abbas balik menimpali bahwa ia lebih tahu sunnah. Itu sengaja ia lakukan karena shalat maghrib dan ‘isya hendak dijama’, agar jama’ah tahu bahwa itu boleh, sebab Nabi saw pernah melakukan hal tersebut. Seorang tabi’in bernama ‘Abdullah ibn Syaqiq, yang merasa aneh dengan sikap Ibn ‘Abbas, lantas menanyakan hal tersebut kepada Abu Hurairah. Ia pun menjawab bahwa yang dilakukan Ibn ‘Abbas itu benar.
Dari hadits-hadits di atas ada banyak ulama yang menta`wil, seperti Imam Malik, karena sedang hujan, tapi terbantahkan dengan pernyataan Ibn ‘Abbas sendiri, bukan karena hujan. Ada juga yang mengatakan karena Rasul saw sedang sakit, tapi terbantahkan dengan shalat berjama’ah Rasul saw itu sendiri. Kalau sedang sakit, pasti Rasul saw tidak akan shalat berjama’ah dengan sengaja. Yang benar, menurut mayoritas ulama, memahami sebagaimana zhahirnya. Bahwa itu dibolehkan, tentunya ketika ada hajah (keperluan) dan itu sekali-kali, tidak menjadi ‘adah (rutinitas). Mengingat Nabi saw juga banyak keperluannya, tetapi beliau hanya pernah melakukannya sekali saja. Artinya tidak setiap kali ada keperluan, setiap kali juga dijama’. Hanya sesekali saja, tidak ‘adah/rutin (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim, Fathul-Bari bab ta`khiriz-zhuhr ‘ilal-‘ashr).
 
Saat Shalat Boleh Diqashar
Adapun qashar shalat hanya berlaku ketika safar saja dan tidak berlaku ketika muqim. Bahkan ketika safar menetap sementara di satu tempat sampai 20 hari pun maka shalatnya sebaiknya tidak qashar karena sudah dikategorikan muqim.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا

Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Nabi saw pernah menetap sementara (dalam salah satu safarnya) selama 19 hari mengqashar shalat. Maka kami (para shahabat) apabila safar (dan menetap sementara) selama 19 hari, kami mengqashar. Dan jika lebih dari itu, kami akan shalat tam (tanpa qashar).” (Shahih al-Bukhari bab ma ja`a fit-taqshir no. 1080).
Maksud pernyataan shahabat: “Kami apabila safar selama 19 hari,” menurut Ibn Hajar bukan berarti waktu lama safar secara keseluruhan, tetapi “menetap di satu tempatnya” selama 19 hari tersebut, sebab Nabi saw juga selama safar pulang pergi Makkah-Madinah dalam Fathu Makkah atau ibadah haji waktunya secara keseluruhan hampir satu bulan dan beliau tetap mengqashar shalat. Ini menurut al-Hafizh didasarkan pada hadits Ibn ‘Abbas ra di atas yang ada pada jalur riwayat Abu Ya’la:

إِذَا سَافَرْنَا فَأَقَمْنَا فِي مَوْضِع تِسْعَة عَشَر

“Apabila safar dan menetap sementara di satu tempat selama 19 hari.” (Fathul-Bari bab ma ja`a fit-taqshir).
Imam as-Syaukani dalam Nailul-Authar menjelaskan bahwa batasan maksimal menetap bagi yang safar dalam dalil, selain 19 hari di atas, adalah hadits Jabir yang menyebutkan 20 hari. Menurutnya ini harus dijadikan batasan maksimal seseorang dikategorikan safar. Tidak boleh lebih dari itu jika tidak ada dalilnya, sebab yang pokok bagi yang menetap di satu tempat itu statusnya muqim meski ia sedang safar. Hanya karena ada dalil maksimal 19-20 hari Nabi saw pernah qashar, maka sampai batas itu juga kebolehan mengqashar shalat ketika seseorang berada di satu daerah selain tempat tinggalnya. Selebihnya dari itu harus kembali tam (sempurna tanpa qashar) karena itulah aturan yang pokoknya (Nailul-Authar bab man aqama li qadla`i hajah wa lam yujmi’il-iqamah). Hadits Jabir ra yang dimaksud Imam as-Syaukani adalah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلاَةَ

Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: “Rasulullah saw tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqashar shalat.” (Sunan Abi Dawud bab man aqama bi ardlil-‘aduw yaqshuru no. 1237).
Tentunya maksud 19-20 hari menetap di satu tempat itu adalah tempat yang tidak diniatkan untuk dijadikan tempat tinggalnya. Jika seseorang ditugaskan untuk tugas di luar kota selama satu tahun misalkan, maka sejak ia datang ke kota tersebut meski baru satu atau dua hari, sudah dikategorikan muqim. Tidak serta merta harus menunggu 19-20 hari terlebih dahulu kemudian baru menghentikan qashar. Jika memang jelas niatnya akan tinggal selama satu tahun maka itu sudah lebih dari batasan qashar.
Dikecualikan jika yang safar bermakmum kepada yang muqim, maka tetap harus mengikuti shalat yang muqim dengan tam tanpa qashar.

عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Musa ibn Salamah, ia berkata: Kami pernah bersama Ibn ‘Abbas di Makkah. Aku bertanya: “Kami (para musafir) apabila shalat berjama’ah dengan kalian (muqimin) shalat empat raka’at. Tetapi apabila kami pulang ke tempat sementara kami, kami shalat dua raka’at.” Ibn ‘Abbas ra menjawab: “Itu adalah sunnah Abul-Qasim saw.” (Musnad Ahmad musnad ‘Abdillah ibn al-‘Abbas no. 1862)
Wal-‘Llahu a’lam