Jika Benar Cinta Nabi ﷺ

Ada banyak tuntutan pembuktian cinta Nabi saw, salah satu yang paling utama adalah menghidupkan sunnahnya. Di antara sunnahnya tersebut adalah selalu sabar menjalani kehidupan ketika harus jatuh miskin atau menderita. Para shahabat mampu menjalani sunnah Nabi saw ini dengan baik, di antara mereka adalah Abu Hurairah, Abu Dzar dan Abud-Darda`. Sunnah yang satu ini sangat efektif dalam meredam syahwat dunia sekaligus tidak meratapi apa yang luput darinya.


Ketika ada seorang shahabat yang mengaku mencintai Nabi saw dengan sebenar-benarnya, Nabi saw memintanya untuk meninjau ulang pengakuannya. Sebabnya pengakuan cinta Nabi saw menuntut pembuktian, dan pembuktian itu tidak mustahil akan sangat berat ia jalankan. ‘Abdullah ibn Mughaffal menceritakannya sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ ﷺ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ. فَقَالَ لَهُ: انْظُرْ مَاذَا تَقُولُ، قَالَ: وَاللهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ تُحِبُّنِي فَأَعِدَّ لِلْفَقْرِ تِجْفَافًا، فَإِنَّ الفَقْرَ أَسْرَعُ إِلَى مَنْ يُحِبُّنِي مِنَ السَّيْلِ إِلَى مُنْتَهَاهُ

Dari ‘Abdullah ibn Mughaffal, ia berkata: Seseorang berkata kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, demi Allah, sungguh saya mencintai anda.” Beliau bersabda kepadanya: “Perhatikan lagi apa yang kamu katakan.” Ia berkata lagi: “Demi Allah, sungguh saya mencintai anda,” diulang sampai tiga kali. Beliau bersabda: “Jika benar kamu mencintai saya, maka persiapkanlah tameng untuk kefakiran, sebab sungguh kefakiran itu lebih cepat menjadikan seseorang cinta kepadaku daripada air sungai yang mengalir deras ke hilir.” (Sunan at-Tirmidzi abwab az-zuhd bab ma ja`a fi fadllil-faqri no. 2350; al-Mustadrak al-Hakim kitab ar-riqaq no. 7944).
Imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadits ini hasan gharib. Syaikh al-Albani semula menilai hadits ini dla’if dalam as-Silsilah ad-Dla’ifah no. 1681, meski ia mengakui bahwa dua rawi yang dinilai bermasalahnya, yakni Syaddad Abu Thalhah dan Abul-Wazi’, kedua-duanya shaduq (jujur) yukhthi`u/yahimu (ada kalanya keliru). Seharusnya, rawi yang shaduq yukhthi`u/yahimu itu tidak sampai dla’if, melainkan hasan sebagaimana penilaian Imam at-Tirmidzi. Akan tetapi rupanya Syaikh al-Albani lebih condong pada pendapat Imam an-Nasa`i yang menilai munkarul-hadits (hadits munkar), meski sebenarnya beliau mengutip juga penilaian tsiqah (kuat terpercaya) dari Imam Ahmad dan Yahya ibn Ma’in.
Setelah ada dua orang muridnya yang memberikan data tambahan kepadanya, barulah Syaikh al-Albani meralatnya dan menilainya shahih dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 2827. Data tambahan yang dimaksud adalah tiga hadits yang menjadi syahid-nya, yakni hadits Anas, Abu Dzar, dan Abu Sa’id. Hadits Anas dan Abu Dzar redaksinya sama dengan hadits ‘Abdullah ibn Mughaffal di atas, hanya dalam hadits Abu Dzar dijelaskan bahwa ia sendiri yang datang kepada Rasul saw dan mengaku sangat cinta kepada beliau tersebut. Ini bisa menjadi penambah data bahwa shahabat yang tidak disebutkan namanya dalam hadits ‘Abdullah ibn Mughaffal di atas adalah Abu Dzar. Sementara hadits Abu Sa’id, redaksinya adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ حَاجَتَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ اِصْبِرْ أَبَا سَعِيْدٍ, فَإِنَّ الْفَقْرَ إِلَى مَنْ يُحِبُّنِي مِنْكُمْ أَسْرَعُ مِنَ السَّيْلِ عَلَى أَعْلَى الْوَادِي وَمِنْ أَعْلَى الْجَبَلِ إِلَى أَسْفَلِهِ

Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah saw tentang kebutuhannya, lalu Rasulullah saw bersabda: “Bersabarlah wahai Abu Sa’id, sebab sungguh kefakiran itu lebih cepat menjadikan seseorang cinta kepadaku daripada air sungai yang mengalir ke bagian atas lembah atau air terjun yang mengalir deras dari atas gunung ke bawah.” (Musnad Ahmad bab musnad Abi Sa’id al-Khudri no. 10952).
Dari data-data hadits di atas diketahui bahwa pesan inti dari Nabi saw adalah buktikan cinta kepada Nabi saw itu dengan kesabaran ketika menghadapi kesusahan khususnya kefakiran atau kemiskinan. Imam al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul-Ahwadzi menjelaskan, pesan Nabi saw di atas ditujukan agar seseorang yang mengakui cinta Nabi saw tersebut tidak kemudian mengeluh dan meratapi nasibnya, apalagi sampai tidak ridla dengan rizki yang telah diberikan Allah swt kepadanya dan merasa selalu kurang sehingga berani mengemis sambil memperlihatkan kesengsaraan dirinya. Maka dari itu Nabi saw mengungkapkannya dengan “siapkan tameng”, sebab sebagaimana halnya tameng bisa melindungi tubuh dari serangan musuh, demikian halnya sabar (menguatkan diri untuk bertahan dengan apa yang sudah dimiliki dan diusahakan) bisa menyelamatkan diri dari keluh kesah dan terjerumus pada pengingkaran akan nikmat-nikmat Allah swt.
Nabi saw mengaitkan cinta Nabi saw dengan kesabaran ketika hidup susah karena memang Nabi saw pun, jika standarnya kehidupan manusia hari ini, ternyata hidupnya susah, bahkan mungkin lebih susah daripada orang yang mengaku susah di zaman ini. Jadi kalau mengakui cinta Nabi saw, maka ikutilah sunnah Nabi saw dalam menghadapi kenyataan susahnya hidup.

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ أَنَسٍ وَعِنْدَهُ خَبَّازٌ لَهُ فَقَالَ مَا أَكَلَ النَّبِيُّ ﷺ خُبْزًا مُرَقَّقًا وَلَا شَاةً مَسْمُوطَةً حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ

Dari Qatadah, ia berkata: Kami ketika berada di rumah Anas dan saat itu ada pembantunya tukang pembuat roti dari tepung halus, Anas berkata: “Nabi saw tidak pernah makan roti dari tepung gandum yang dihaluskan (terigu) dan kambing muda sampai beliau bertemu Allah/wafat.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ath’imah bab al-khubzil-muraqqaq no. 5385).

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا

Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata kepada ‘Urwah: “Wahai anak saudariku, sungguh kami dahulu pernah melihat hilal, kemudian hilal berikutnya, sampai tiga hilal dalam dua bulan, tetapi tidak pernah dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah saw (tidak pernah memasak).” Aku (‘Urwah) bertanya: “Wahai bibi, lalu apa yang menghidupi kalian dahulu?” ‘Aisyah menjawab: “Dua yang hitam; kurma dan air. Tetapi memang terkadang ada tetangga Rasulullah saw yang mempunyai unta/kambing perah lalu mereka memberikan air susunya kepada kami.” (Shahih al-Bukhari kitab al-hibah bab fadlil-hibah no. 2567).
Hadits ini tentunya bukan berarti bahwa orang yang mengaku cinta Nabi saw harus hidup miskin, sebab faktanya ‘Aisyah dan Anas sendiri ketika menceritakan hadits di atas sudah hidup berkecukupan. ‘Aisyah sampai pernah mampu membebaskan 40 orang hamba sahaya dan memiliki tanah yang luas (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab al-hijrah no. 6073-6075). Anas sendiri menjadi petani kurma yang paling kaya di Madinah (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab man zara qauman fa lam yufthir ‘indahum no. 1982). Maksudnya bagi mereka yang kebetulan ditimpa kefakiran—dan setiap orang pasti mengalaminya meski dengan kadar yang berbeda-beda [QS. 2 : 155]—maka kuatkanlah kesabaran sebagaimana dahulu pernah dialami oleh Nabi saw dan keluarganya.
Nasihat Nabi saw selalu disesuaikan dengan orang yang meminta nasihatnya. Inilah yang menurut para ulama menjadi penjelas mengapa Nabi saw selalu memberikan nasihat yang berbeda tentang apa yang harus diutamakan kepada masing-masing shahabat. Nasihat Nabi saw dalam hadits di atas untuk bersabar ketika hidup fakir miskin sangat tepat ditujukan kepada Abu Dzar sebab memang beliau ditakdirkan menjalani hidup fakir miskin.
Anjuran dari Nabi saw sendiri untuk selalu terobsesi menjadi orang kaya dan mendermakan hampir semua kekayaannya dalam al-haqq, cukup banyak ditemukan, di antaranya:

لا حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ، وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasud kecuali pada dua orang; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia mengerahkan tenaganya untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan seseorang yang diberi hikmah oleh Allah lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab al-ightibath fil-‘ilm no. 73). Wal-‘Llahu a’lam.