“Jas Merah” PKI

“Jas Merah” singkatan dari jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Istilah ini diungkapkan oleh Soekarno pada pidato terakhirnya sebagai Presiden RI, 17 Agustus 1966. Oleh demonstran kesatuan aksi yang menuntut pertanggung jawaban Soekarno dalam hal pemberontakan G30S/PKI, kemudian dipelesetkan menjadi jangan sekali-kali melupakan sejarah dan ditujukan kepada Soekarno. Itu dikarenakan Soekarno sendiri yang dinilai lupa akan sejarah pengkhianatan PKI dan malah selalu mendukung PKI sampai kemudian meletus G30S/PKI. Maka dari itu sungguh benar, Jas Merah PKI!


Sepanjang tahun 1965-1967, dunia perpolitikan Indonesia diramaikan oleh aksi-aksi demonstrasi menuntut pertanggung jawaban Presiden Soekarno atas terjadinya pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 30 September 1965 dan sekaligus menuntut pembubaran PKI. Pemerintah menyebutnya G30S/PKI (Gerakan 30 September/PKI) atau Gestapu (Gerakan September 30), sementara Soekarno menyebutnya Gestok (Gerakan 1 Oktober) karena terjadi pada 1 Oktober dini hari. Diprakarsai oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), bermunculanlah kesatuan-kesatuan aksi lainnya, dari guru, buruh, nelayan, termasuk dari ormas-ormas Islam. Apalagi setelah rezim Soekarno tetap bergeming enggan membubarkan PKI dan malah menembaki mahasiswa yang berdemonstrasi di Istana sampai menggugurkan seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Arief Rachman Hakim—yang kemudian diabadikan jadi nama masjid di UI Salemba. Pelaksanaan shalat jenazah dan pemakaman Arief Rachman Hakim yang diikuti ribuan orang semakin membangkitkan kemarahan rakyat saat itu. Setelah sebelumnya peristiwa pemakaman para jenderal korban Gestapu juga dihadiri ribuan orang di sepanjang jalan yang menunjukkan kesedihan sekaligus kemarahan rakyat, sikap rezim Soekarno yang malah menembaki rakyatnya semakin membuat mereka marah. Bukannya membubarkan PKI yang berkhianat dan menjadi tuntutan rakyat, melainkan malah menembaki rakyatnya sendiri.
Pada 22 Juni 1966, MPRS kemudian menggelar Sidang dan meminta pertanggung jawaban Soekarno. Pidato Nawaksara Soekarno ternyata ditolak oleh Sidang MPRS yang kemudian memintanya untuk memperbaiki pertangung jawabannya. Pidato perbaikan tersebut kemudian dilengkapi dan disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 yang intinya:
“Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30 S, maka saya sendiri menyatakan:

  1. G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
  2. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966 dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutuk Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata, “Sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas bahwa “Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB.”
  3. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11 Maret (Soeharto—pen) yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’raj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi: “Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok”.

Akan tetapi rakyat tetap menyatakan ketidakpercayaannya. Sidang MPRS pun pada 16 Februari 1967 menyatakan menolak pertanggung jawaban Seokarno atas peristiwa Gestapu. Pada 7 Maret 1967 MPRS kemudian bersidang lagi dan memutuskan pemberhentian Soekarno sebagai Presiden dan mengangkat Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai dilaksanakannya Pemilu.
Rakyat Indonesia tidak akan lupa akan jasa besar Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sekaligus membangun pondasinya. Tetapi rakyat juga tidak akan lupa kediktatorannya pada rentang tahun 1960-1966 ketika ia sangat dekat dengan PKI dan selalu berpihak kepada PKI daripada rakyatnya. Sehingga ketika berujung pada G30S/PKI—dimana Soekarno mengaku juga merasa dikhianati oleh PKI—di sanalah Soekarno jelas-jelas telah melakukan apa yang diistilahkan oleh para demonstran dengan “jas merah”; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Terlebih ketika Soekarno bergeming enggan membubarkan PKI dan malah menerbitkan Surat Perintah 13 Maret 1966 yang mencabut hak Soeharto dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 (supersemar) setelah tahu bahwa Soeharto memanfaatkan surat tersebut untuk membubarkan PKI. Akan tetapi nasi sudah jadi bubur; rakyat dan MPRS saat itu kadung lebih percaya kepada TNI AD yang dipimpin Soeharto daripada Presiden Soekarno sendiri dalam mengatasi pengkhianatan PKI.
Seokarno benar-benar lupa, bahwa komunis sepanjang sejarahnya selalu memusuhi Tuhan dan agama. Idealisme Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang dipaksakan Soekarno sebagai penafsiran Pancasila, sehingga yang menolaknya dianggap melawan Pancasila dan kemudian dipenjarakan, adalah bukti bahwa Soekarno lupa akan sejarah komunisme itu sendiri yang selalu tidak bisa disatukan dengan agama, apalagi agama Islam.
Dalam hal ini umat Islam tidak akan lupa sikap Soekarno yang malah menganakemaskan PKI—karena selalu dianggap paling depan mendukung idealisme Nasakomnya—dan kemudian mempraktikkan kediktatoran: Pembubaran Masyumi, PSI, dan Murba, tiga partai anti-PKI; penangkapan dan penahanan tokoh-tokoh anti-PKI yang mayoritasnya para ulama dan pimpinan parpol Islam; pembreidelan koran anti-komunis yaitu Indonesia Raya, Pedoman, Abadi; pelarangan Manifes Kebudayaan (kelompok budayawan anti-komunis); teror Bandar Betsy; teror Kanigoro; pelarangan buku karya Hamka dan ulama lain yang anti-komunis, bahkan berani menyiksa para ulama sekelas Buya Hamka di penjara; pemburukan nama dan karakter di bidang seni budaya; pementasan Matine Gusti Allah dan ludruk/ketoprak semacamnya yang menghina Tuhan dan agama; pembakaran buku yang menolak komunisme; serangan terhadap umat anti-komunis di pers ibu kota yaitu Bintang Timur dan Harian Rakyat. Ini di antara fakta-fakta yang tercatat oleh para sejarawan sebagai penyebab kemarahan rakyat kepada Presiden Soekarno atas keberpihakannya kepada PKI.
Soekarno lupa bahwa umat Islam selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini dan berbanding terbalik dengan PKI yang malah pernah berkhianat pada tahun 1948 dengan memproklamasikan Republik Soviet Indonesia sebagai bagian dari Uni Soviet di Rusia.
Rakyat tidak akan lupa bahwa pada tanggal 10 Agustus 1948, Muso—pimpinan PKI—kembali ke Indonesia setelah 22 tahun mengasingkan diri di Moskow, Uni Soviet. Itu dilakukannya setelah ia cuci tangan membiarkan para petani dan buruh dibunuh oleh Kolonial Belanda setelah sebelumnya mereka diajak untuk memberontak Pemerintah Kolonial Belanda pada November 1926. Setelah kembali ke Indonesia, Muso mendapat restu dari Moskow—markas Komunis Internasional—untuk melakukan reorganisasi PKI. Maka ia pun segera mengenalkan “Djalan Baru Menoedjoe Republik Indonesia” dan bersama Amir Sjarifoeddin memproklamirkan Republik Soviet Indonesia di Madiun, 18 September 1948. Bendera merah putih diganti dengan bendera merah palu arit. Lagu kebangsaan Indonesia Raya diganti dengan lagu Internasionale. Ideologi Pancasila diganti dengan Marxisme-Leninisme. Tentara berseragam hijau diganti dengan tentara berseragam merah, sehingga rakyat  menyebutnya Tentara Merah.
Tentara Merah bentukan Amir-Muso kemudian melancarkan teror di Madiun. Sebagaimana dipaparkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2, tentara merah berani masuk masjid tanpa membuka sepatu. Para ulama dan santri, beberapa pimpinan partai Masyumi, GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia), PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Pemuda Marhaen, TRIP (Tentara Pelajar RI), TGP (Tentara Genie Pelajar), guru-guru sekolah, aparat pemerintahan, ditangkap dan dibunuh.
Di kaki gunung Wilis, Dungus Kresek, Madiun, terdapat pemakaman massal ulama yang ditangkap dari berbagai pesantren. Di daerah Takeran Maospati Magetan Madiun terdapat sumur yang dijadikan tempat penyiksaan ulama dan santri yang diambil dari pesantren Sewulan, Mojopurno, dan Ponorogo. Mereka dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hidup kemudian ditimbuni dengan batu.
Di Gorang Gareng Magetan terdapat tempat pembantaian massal di lembah terbuka. Pembantaian ini semula tidak diketahui oleh penduduk kota, hanya oleh keluarga yang kehilangan anggotanya saja. Baru diketahui setelah tentara Siliwangi menduduki daerah Gorang Gareng Magetan tersebut.
Inilah yang disebutkan oleh H. M. Isa Anshari (Ketua Umum PP. Persis 1950-1962, Ketua Front Anti Komunis) dalam pidatonya di Sidang Konstitante sebagai pejagalan ulama dan santri. Ia menyatakan: “Pemberontakan kaum komunis di Madiun tanggal 18 September tahun 1948, sebenarnya adalah penyembelihan besar-besaran terhadap kaum agama dan kaum nasionalis.”
Tentara Siliwangi atau TNI dari Jawa Barat bersatu dengan TNI dari Jawa Timur, bersama laskar Hizbullah, barisan Sabilillah, dan seluruh rakyat Madiun kemudian melakukan perlawanan. Pada 31 September 1948 kekuasaan Republik Soviet di Madiun itu akhirnya musnah. Muso yang melarikan diri kemudian tertembak mati. Sementara Amir Sjarifoeddin dan pimpinan PKI lainnya tertangkap di Purwodadi.
Pada tahun 1965, PKI berupaya kudeta lagi kepada pemerintahan yang sah untuk kedua kalinya. Jika sebelumnya ditempuh dengan langsung berkonfrontasi dengan penguasa, maka kali ini justru dilakukan dengan mendukung sepenuhnya Presiden Soekarno. Hal ini semakin dikuatkan oleh kecenderungan Soekarno untuk meninggalkan Blok Barat (kapitalisme Barat) dan beralih ke Blok Timur (komunisme Uni Soviet dan RRC/Republik Rakyat Cina). Soekarno pun memberlakukan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin dengan asas Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan menyatakan setiap golongan yang menolaknya sebagai penentang Negara dan pengkhianat Revolusi. Sudah barang tentu umat Islam Indonesia yang selamanya tidak mungkin menerima ideologi komunisme menolak pemberlakuan Nasakom ini. Kondisi ini menjadikan PKI sebagai pihak yang diuntungkan oleh Pemerintahan Soekarno. PKI dianggap setia kepada ideologi negara, sementara umat Islam dianggap sebagai pengkhianat ideologi negara.
Sebagaimana dijelaskan oleh Taufiq Ismail dalam Sesudah 50 Tahun Gagalnya Kudeta PKI (1965-2015): Dimulai dengan Api Semoga Berakhir dengan Air, PKI merencanakan dua lapis pelaksanaan kudeta. Pertama, menyingkirkan penghalang utama kudeta dengan rencana menghabisi tujuh jenderal pimpinan tertinggi Angkatan Darat yang anti-PKI pada 30 September 1965. Kedua, kudeta kekuasaan dengan menggunakan Dewan Revolusi yang sudah dibentuk di seluruh daerah di Indonesia yang didahului oleh pembubaran Kabinet RI.
Akan tetapi serapi-rapinya upaya PKI dalam merencanakan kudeta, tetapi nyatanya gagal juga. Allah swt menghendaki pimpinan tertinggi TNI, Jenderal A.H. Nasution berhasil selamat pada malam G30S/PKI. Peralihan kekuasaan oleh Dewan Revolusi yang diumumkan di RRI dan Kantor Telekomunikasi oleh Letkol Untung (pimpinan operasi G30S/PKI), berhasil diambil alih lagi oleh Mayjen Soeharto beserta bawahannya Sarwo Edhie Wibowo, setelah TNI berhasil menguasai kembali RRI dan Kantor Telekomunikasi. Melalui pengumuman dari RRI yang sudah dikuasai TNI itu dan setelah kuburan para jenderal di Lubang Buaya juga ditemukan, mulailah rakyat berani memperlihatkan kemarahannya tanpa lagi takut dengan senjata dari musuh-musuhnya.
Maka sungguh ironi jika hari ini ternyata masih banyak agen KGB (yang dimaksud plesetan dari agen intelijen Uni Soviet, yakni Komunis Gaya Baru) yang menggandrungi pemikiran marxisme dan komunisme. Mereka malah berani melakukan pembelokan fakta sejarah dengan sering menyebut bahwa Gestapu murni karena pertentangan internal di tubuh TNI AD antara kelompok Letkol Untung dengan kelompok A. H. Nasution, tanpa menyebut peran PKI sama sekali. Mereka juga menyebut bahwa pembubaran PKI disertai dengan penangkapan dan pembantaian kepada para pengikutnya oleh rakyat Indonesia khususnya umat Islam yang diadudomba oleh intel-intel CIA. Ujung-ujungnya mereka meminta agar rakyat Indonesia, khususnya Pemerintah RI, meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada para mantan PKI. Ini semua disebabkan “Jas Merah” PKI. Mereka ibarat maling teriak maling. Maling-maling itu harus disadarkan. Jika tidak cukup, tangkap mereka dan serahkan kepada pihak berwenang. Wal-‘Llahu a’lam.