Jalan Cinta Ilahi

Cinta yang pasti selalu didamba sudah barang tentu harus dikejar. Jalan-jalan untuk mendapatkannya harus ditempuh meski dengan mendaki ratusan gunung atau menyeberangi puluhan samudera. Tanpa menempuh jalannya, cinta mustahil bisa didapatkan. Cinta ilahi pun demikian halnya, ia meniscayakan berbagai jalan untuk ditempuh guna memastikan diperolehnya kebahagiaan abadi.

Jalan cinta ilahi setidaknya disebutkan ada delapan dalam al-Qur`an. Jalan yang pertama adalah ihsan. Ini sebagaimana difirmankan Allah swt:

وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥

Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (QS. al-Baqarah [2] : 195).
Ihsan sebagaimana dijelaskan ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani memiliki dua makna: (1) memberi kebaikan kepada yang lain dan (2) mengetahui dan mengamalkan sesuatu dengan sangat baik (al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an, hlm. 236). Artinya, ihsan adalah keinginan untuk selalu mempersembahkan yang terbaik kepada orang lain. Bukan hanya menginginkan yang terbaik untuk diri sendiri, melainkan juga yang terbaik untuk orang lain, terlebih untuk Allah swt.
Ar-Raghib kemudian mengutip salah satu firman Allah swt untuk menjelaskan pengertian ihsan sebagai berikut:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat yang terbaik (QS. an-Nahl [16] : 90).
Dalam ayat di atas Allah swt menyebut ihsan sebagai sesuatu yang berbeda dari ‘adl. Sesuai dengan makna asalnya, berarti ihsan satu level lebih tinggi di atas ‘adl yang makna asalnya ‘lurus/tepat’. Ar-Raghib menjelaskan, jika adil adalah memberi sesuai dengan yang semestinya atau mengambil sesuai dengan yang seharusnya, maka ihsan adalah memberi lebih banyak dari yang semestinya atau mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya. Adil hukumnya wajib, sementara ihsan hukumnya sunat (al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an, hlm. 236).
Jadi ihsan ini bukan hanya amal yang biasa-biasa saja, melainkan harus “luar biasa”. Itu pula yang tampak pada setiap orang yang di masa mudanya dahulu mendamba cinta dari seorang perempuan ataupun pria. Tidak mungkin usaha yang dilakukan untuk meraih cinta yang didamba tersebut dilakukan dengan biasa-biasa saja, melainkan pasti “luar biasa”. Atau seperti yang tampak pada perilaku suporter tim sepakbola misalnya, mereka pasti melakukan hal-hal yang “luar biasa” demi mendukung tim yang dicintainya. Itu semua dilakukan maksimal meski tanpa pamrih sedikit pun. Inilah jalan cinta yang utama.
“Keluarbiasaan” ini pun dijelaskan oleh Nabi saw dalam hadits. Ketika Jibril bertanya apa itu ihsan, Nabi saw menjawab:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

“Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Shahih Muslim kitab al-iman bab ma’rifah al-iman wal-islam wal-qadr wa ‘ilmis-sa’ah no. 102)
Artinya, ihsan adalah ibadah yang tidak biasa-biasa saja, melainkan luar biasa, merasa sangat dekat dengan Allah swt seakan-akan ia melihat Allah swt atau minimalnya ia merasakan betul dilihat oleh Allah swt.
Berdasarkan uraian di atas, juga hadits tentang “wali Allah” yang sudah dijelaskan sebelumnya, amal yang luar biasa tersebut mutlak mencakup semua yang wajib sampai merambah amal-amal sunatnya. Tanpa ini, jalan cinta ilahi selalu tidak pernah ditemukan. Kalaupun ditemukan, selamanya seseorang akan tersesat di jalan cinta ini tanpa pernah bisa menemukan ujungnya.
Al-Qur`an sendiri menjelaskan bahwa ihsan itu diwujudkan dalam amal-amal berikut:
Pertama, selalu infaq dengan yang terbaik dan tidak terbaikan dengan dunia.

فِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat ihsan-lah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (QS. al-Baqarah [2] : 195).
Maksud firman Allah swt “janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” adalah orang-orang yang berjihad hanya dengan diri tapi tidak dengan harta, akibatnya mereka kelaparan dan tidak maksimal dalam jihad. Termasuk juga orang-orang yang memilih diam di rumah dan keluarganya, enggan berjihad dan berinfaq. Maka Allah swt kemudian memerintahkan ihsan dalam berinfaq baik untuk diri sendiri ataupun orang lain yang kesusahan karena telah membinasakan diri. Demikian juga ihsan dalam jihad dan infaq dengan tidak terlalaikan oleh dunia (Tafsir Ibn Katsir).
Dalam ayat yang semakna Allah swt menyebutkan mereka sebagai orang-orang yang selalu berjihad sepenuh hati dan memohon ampun karena mungkin sudah terlena dengan dunia (QS. Ali ‘Imran [3] : 146-147). Sehingga Allah swt pun memberikan balasan:

فَ‍َٔاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ ثَوَابَ ٱلدُّنۡيَا وَحُسۡنَ ثَوَابِ ٱلۡأٓخِرَةِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٤٨

Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (QS. Ali ‘Imran [3] : 148).
Kedua, selalu mempersembahkan yang terbaik bagi orang lain. Contoh rilnya selalu sigap membantu orang lain meski diri sendiri sedang sulit, termasuk menahan amarah dan memaafkan seseorang yang menyakiti dirinya meski itu sangat sulit.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤

(Orang yang bertaqwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (QS. Ali ‘Imran [3] : 134).

فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱصۡفَحۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣

Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (QS. al-Ma`idah [5] : 13).
Ketiga, orang yang selalu meningkatkan iman dan amal shalihnya sampai menjadi ihsan sebagaimana dijelaskan Nabi saw dalam hadits Jibril di atas:

لَيۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ جُنَاحٞ فِيمَا طَعِمُوٓاْ إِذَا مَا ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّأَحۡسَنُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٩٣

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertaqwa dan berbuat ihsan. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (QS. al-Ma`idah [5] : 93).
Wal-‘Llahul-Musta’an