Imlek Perayaan Syirik

Kalangan muslim Tionghoa banyak yang menyatakan bahwa Tahun Baru Imlek merupakan perayaan budaya, bukan perayaaan agama. Padahal meskipun perayaan Tahun Baru Imlek sudah menjadi bagian budaya etnis Tionghoa, nilai-nilai agama Tionghoanya jelas-jelas tidak bisa dipisahkan dari perayaan tersebut. Jadi tetap saja, merayakan Imlek sama dengan merayakan agama non-Islam.


Imlek arti asalnya ‘kalender bulan’ (im: bulan, lek: kalender). Meski demikian, imlek bukan kalender yang didasarkan pada peredaran bulan sepenuhnya, sebagaimana halnya kalender Hijriah bagi umat Islam. Sebab tanggal jatuh Tahun Baru Imlek harus antara 21 Januari-20 Februari, tepatnya 1-2 bulan sesudah musim dingin tiba. Jadi dicari awal bulan sabit antara fase 21 Januari-20 Februari, maka di sanalah Tahun Baru Imlek berada. Semestinya, jika kalender bulan hendak diberlakukan sebagaimana adanya, maka seperti halnya kalender Hijriah, awal Tahun Baru selalu berkurang + 11 hari di setiap tahun Masehinya. Jadi tidak hanya di bulan Januari-Februari, tapi di semua bulan Masehi pasti teralami. Untuk itu kalender Imlek kadang menambah satu tahun menjadi 13 bulan, demi memenuhi persyaratan Imlek harus dirayakan sesudah masuk musim dingin pada fase 21 Januari-20 Februari.
Kalender Imlek mulai digunakan pada Dinasti Xia (2100-1600 SM) dengan dirujukkan pada kelahiran penemunya, Huangdi, 2697 SM. Berdasarkan kalender Huangdi ini maka Tahun Baru Imlek pada tahun 2014 ini berarti Tahun 4711 (2014 + 2697 = 4711). Akan tetapi ada juga kalender Imlek yang dirujukkan pada kelahiran Kongzi/Rujiao pada 551 SM. Berdasarkan pada Kalender Kongzi ini maka Tahun Baru Imlek pada 2014 ini adalah Tahun 2565. Dan inilah penghitungan Tahun Imlek yang digunakan di Indonesia.
Perayaan Tahun Baru Imlek tidak mungkin dilepaskan dari aqidah-aqidah yang sesat, bahkan syirik dan kufur. Sebab diyakini oleh para perayanya, bahwa dahulu kala, Nián (年), seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), selalu muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa dengan melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengusiran Nian ini kemudian berkembang menjadi perayaan Tahun Baru.
Ini baru satu mitos. Belum lagi mitos-mitos lainnya seperti shio; tahun ular, tikus, sapi, ayam, anjing, macan, kelinci, naga, monyet, babi, anjing, dan kuda. Untuk tahun 2014 ini konon katanya tahun kuda. Penamaan tahun-tahun seperti itu juga terkait aqidah-aqidah sesat seputar ramalan dan keberuntungan.
Aqidah sesat lainnya tampak pada persembahan-persembahan untuk dewa-dewi di sepanjang dua minggu perayaan Imlek, yang nanti puncaknya dirayakan pada tanggal 15 atau Cap Go Meh. Meski pemerintah daerah selalu menjadikannya sebagai ajang kirab budaya, tetap tidak bisa dihilangkan dari keyakinan awal bahwa perayaan itu terkait aqidah jahiliyyah seputar keistimewaan dua minggu bulan pertama tahun Imlek tersebut.
Tahun Baru Imlek bukan sebatas perayaan budaya non-agama, melainkan perayaan agama, juga disebabkan faktanya memang terkait dengan agama, yakni agama Konghucu. Dari standar penanggalan yang dirujukkan pada Huangdi dan Kongzi pun sudah jelas terlihat bahwa tahun baru ini murni perayaan agama Konghucu. Sebab baik Huangdi atau Kongzi, kedua-duanya merupakan guru agama Konghucu, atau semacam Nabi dalam keyakinan umat Islam. Penduduk daratan Cina yang umumnya beragama Konghucu secara otomatis merayakan Tahun Baru Imlek. Kalau kemudian ada pemeluk non-Konghucu yang turut merayakannya, itu tidak jadi dalil bahwa Tahun Baru Imlek hanya sebatas perayaan budaya Cina. Yang benar, pemeluk non-Konghucu itulah yang terbawa larut (tasyabbuh) merayakan perayaan resmi agama Konghucu.
Dalam ajaran Islam, tidak sembarang budaya bisa dibenarkan untuk diikuti. Jika faktanya budaya itu terkait agama-agama jahiliyyah, maka itu adalah budaya yang sesat. Maka dari itu, ketika Nabi saw hijrah ke Madinah dan penduduknya biasa merayakan tahun baru jahiliyyah, Nabi saw menitahkan umat Islam untuk meninggalkannya dan menggantinya dengan ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan (Nairuz dan Mihrajan/perayaan tahun baru dan awal musim semi). Tanya Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-‘idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-‘idain no. 1567).
Terkait perayaan-perayaan yang ada dalam Imlek, itu jelas juga sebagai bentuk peribadatan kepada dewa-dewi dalam agama Konghucu, atau yang terpengaruh oleh mitos alias aqidah sesat. Jadi kalau umat Islam turut merayakannya, berarti turut beribadah dalam peribadatan agama lain. Padahal Allah swt sudah jelas mengajarkan:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ ١  لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢  وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣  وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥  لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan beribadah apa yang kamu ibadahi. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. al-Kafirun [109] : 1-6)
Umat Islam tidak perlu takut untuk dicap sebagai masyarakat yang “tidak toleran”, sebab toleransi itu hanya berlaku dalam interaksi masyarakat sehari-hari yang tidak ada kaitannya dengan aqidah. Jika sudah terkait dengan aqidah maka teladan yang harus diikuti bukan pemerintah, muslim tionghoa, kyai liberal, dan semacamnya, melainkan Nabi Ibrahim as yang dinyatakan al-Qur`an sebagai teladan terbaik/uswah hasanah:

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah [60] : 4).
Wal-‘Llahu a’lam