Hukum Wanita Karir

Bismillah. Ustadz kalau menurut al-Qur`an dan hadits, perempuan yang sudah bersuami apakah diperbolehkan berkarir seperti mengajar atau lebih baik tinggal di rumah? Jazakallah khairan. 08950139xxxx
Berkarir di luar rumah atau dari dalam rumah bagi perempuan, diperbolehkan sepanjang tidak mengabaikan kewajiban pokoknya sebagai al-mar`atus-shalihah; istri yang shalihah. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ  فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ 

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada suami lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. an-Nisa` [4] : 34).
Dalam hadits juga ditekankan bahwa seorang perempuan itu bertanggung jawab mengurus rumah suaminya dan suami adalah pemimpin baginya:

وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Seorang lelaki itu pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Seorang perempuan pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya (Shahih al-Bukhari bab al-jumu’ah fil-qura no. 893).
Meski demikian ini tidak berarti perempuan haram berkarir, sebab istri ‘Abdullah ibn Mas’ud yang memiliki kemampuan usaha juga memilih untuk terjun ke dunia usaha ketika mengetahui suaminya tidak bisa usaha dan miskin. Itu tampak dari pertanyaannya kepada Nabi saw tentang boleh tidaknya zakat kepada suaminya yang miskin dan anaknya. Nabi saw pun membolehkannya bahkan menganjurkannya. Kepada Bilal ra yang sedang berjaga di rumah Nabi saw, Zainab istri Ibn Mas’ud ra berkata:

سَلْ النَّبِيَّ ﷺ أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتَامٍ لِي فِي حَجْرِي وَقُلْنَا لَا تُخْبِرْ بِنَا فَدَخَلَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ مَنْ هُمَا قَالَ زَيْنَبُ قَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ قَالَ امْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

“Tolong tanyakan kepada Nabi saw apakah boleh aku infaqkan kepada suamiku dan anak-anak yatimku yang aku asuh sendiri?” Kami (Zainab dan seorang perempuan lainnya) berkata (kepada Bilal): “Jangan kamu beritahukan bahwa ini pertanyaan dari kami.” Bilal lalu masuk ke rumah Rasul saw dan bertanya. Rasul saw balik bertanya: “Siapa dua perempuan yang bertanya itu?” Bilal menjawab: “Zainab.” Beliau bertanya lagi: “Zainab yang mana?” Bilal menjawab: “Istri ‘Abdullah (ibn Mas’ud).” Beliau menjawab: “Ya boleh, baginya mendapatkan dua pahala; pahala qarabah (berbuat baik kepada kerabat/shilaturahim) dan pahala shadaqah.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab az-zakat ‘alal-aqarib dan az-zakat ‘alaz-zauj wal-aitam no. 1466).
Catatan: Istri boleh menyalurkan zakat ke suami dan anak karena istri tidak punya kewajiban menafkahi suami dan anaknya. Jika suami berzakat kepada istri dan anak yang masih wajib dinafkahi olehnya, maka itu haram, karena akan bertumpang tindih dengan kewajiban memberi nafkah (Fathul-Bari).
Dalam hadits juga ditemukan keterangan bahwa bibi Jabir ibn ‘Abdullah yang sudah janda mempunyai kerbun kurma sendiri:

عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ طُلِّقَتْ خَالَتِى فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ فَأَتَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ بَلَى فَجُدِّى نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِى أَوْ تَفْعَلِى مَعْرُوفًا

Dari Jabir ibn ‘Abdillah ra, ia berkata: Bibiku ditalak, lalu ketika ia hendak memetik buah kurma dari kebunnya, ia dilarang oleh seseorang untuk keluar. Ia lalau datang kepada Nabi saw dan beliau menjawab: “Tidak apa-apa, silahkan petik buah kurma dari kebunmu, dengan itu sungguh kamu jadi bisa bershadaqah dan berbagi kebaikan.” (Shahih Muslim bab jawaz khuruj al-mu’taddah al-ba`in no. 3794).
Demikian juga hamba sahaya Ka’ab ibn Malik yang bekerja sebagai penggembala:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ سَعْدٍ أَوْ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ جَارِيَةً لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأُصِيبَتْ شَاةٌ مِنْهَا فَأَدْرَكَتْهَا فَذَبَحَتْهَا بِحَجَرٍ فَسُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كُلُوهَا

Dari Mu’adz ibn Sa’ad atau Sa’ad ibn Mu’adz ra bahwasanya hamba sahaya perempuan Ka’ab ibn Malik menggembala kambing di Sal’. Ia memperoleh satu ekor kambing dan menyembelihnya dengan batu. Nabi saw ditanya dan beliau menjawab: “Silahkan makan.” (Shahih al-Bukhari bab dzabihatil-mar`ah wal-amah no. 5505).
Artinya dua perempuan tersebut memilih jalan untuk mencari nafkah dengan usaha dan bekerja sendiri. Dan ini terjadi di zaman Nabi saw, artinya dibolehkan.
Meski demikian, memang harus diakui jika perempuan memilih berkarir banyak yang jadi tidak shalihah; berani melawan kepada suami, bahkan menempatkan suami sebagai pembantunya. Angka perceraian yang selalu lebih tinggi berasal dari gugatan istri yang mapan menjadi bukti lainnya. Rumah tangga pun seringkali jadi tidak terurus. Wanita karir yang seperti ini tentu hukumnya haram.