Hukum Syukuran Haji

Bagaimana hukum menyelenggarakan syukuran haji atau walimatus-safar sebelum berangkat haji? Padahal Nabi saw dan para shahabatnya tidak pernah mencontohkan? 085101xxxxxx
Sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi saw dan para shahabat tidak otomatis berstatus bid’ah. Jika yang tidak dicontohkan tersebut faktanya bukan sebuah syari’at dan tidak dijadikan syari’at, maka hukumnya mubah. Terlebih jika ternyata ada isyarat petunjuk dari Nabi saw untuk mengamalkannya, maka itu termasuk adab/etika. Masuk dalam hal ini apa yang biasa disebut syukuran haji. Bukan hanya syukuran haji, termasuk juga semua jenis syukuran seperti syukuran atas prestasi duniawi yang diraih, syukuran atas sembuhnya penyakit, dan sebagainya. Petunjuk langsung yang persis sama dari Nabi saw untuk mengamalkan syukuran-syukuran tersebut tidak ditemukan. Yang ada hanya sebatas isyarat petunjuk untuk berbagi nikmat dan kebahagiaan, dan masuknya kategori adab/etika. Yang jadi bid’ah itu kalau sudah dijadikan syari’at, dinilai sebagai suatu ibadah yang harus diamalkan dan dianggap salah atau berdosa jika tidak diamalkan. Ini baru masuk kategori bid’ah karena membuat syari’at baru.
Dalam konteks syukuran haji, isyarat petunjuk untuk mengamalkannya adalah adab yang diajarkan Nabi saw dalam muwada’ah (melepas kepergian orang yang hendak safar). Muwada’ah tersebut tentu bukan hanya dalam haji saja, melainkan umum mencakup semua jenis safar. Dalam muwada’ah, Nabi saw mengajarkan adab untuk mendo’akan orang yang akan safar. Demikian juga, orang yang akan safar diajarkan adab oleh Nabi saw untuk meminta do’a kepada orang-orang yang akan ditinggalkan, khususnya orang-orang penting. Teknis muwada’ah ini dalam konteks hari ini dinilai lebih efektif dengan menggelar syukuran haji, karena keterbatasan waktu untuk mendatangi orang per orang guna memohon izin dan do’a.

 عَنْ أَنَسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ سَفَرًا فَزَوِّدْنِي. قَالَ: زَوَّدَكَ اللهُ التَّقْوَى، قَالَ: زِدْنِي، قَالَ: وَغَفَرَ ذَنْبَكَ قَالَ: زِدْنِي بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، قَالَ: وَيَسَّرَ لَكَ الخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

Dari Anas ia berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya akan safar, berilah aku bekal.” Beliau bersabda: “Semoga Allah membekalimu dengan taqwa.” Ia berkata lagi: “Tambah lagi.” Beliau bersabda: “dan mengampuni dosamu.” Ia berkata lagi: “Tambah lagi, aku mohon.” Beliau bersabda: “dan memudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma yaqulu idza wadda’a insan no. 3444).

عَنْ سَالِمٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَنِ ادْنُ مِنِّي أُوَدِّعْكَ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ يُوَدِّعُنَا فَيَقُولُ: أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

Dari Salim, sesungguhnya Ibn ‘Umar apabila ada seseorang yang akan safar, ia berkata kepada orang itu: “Mendekatlah kepadaku. Aku akan melepasmu sebagaimana Rasulullah saw melepas kepergian kami.” Ia membaca do’a: “Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma yaqulu idza wadda’a insan no. 3443).