Hukum Nikah Sirri Online

Masyarakat terhenyak ketika diberitakan bahwa situs-situs nikah sirri online ternyata banyak ditemukan di Indonesia. Masyarakat heran bagaimana bisa nikah sirri dijalankan secara online. Modus perzinahan, kawin kontrak, dan perdagangan perempuan dan anak di bawah umur pun terendus oleh pihak kepolisian. Pemerintah mengaku malu karena ternyata di negeri ini masih ada praktik-praktik kuno masyarakat yang tidak beradab. Para ulama pun jadi sasaran pertanyaan, apakah nikah sirri seperti itu dibenarkan oleh syari’at.


Adalah AW, salah seorang yang dijadikan tersangka oleh Polisi terkait situs nikah sirri online. Berdasarkan pengakuannya, dalam situs yang dikelolanya tersebut ada istilah mitra dan klien dalam relasi komodifikasi pernikahan ini. Mitra adalah perawan atau perjaka yang berminat dikonteskan dalam lelang. Mitra bakal menetapkan nominal mahar, dan 20 persen dari mahar akan diserahkan ke pihak nikahsirri.com. Adapun klien adalah pihak yang berminat mendapatkan perawan atau perjaka lewat mekanisme lelang. Klien bakal membayar mahar sesuai nominal yang disyaratkan mitra.
Setiap ‘klien’ diwajibkan membayar 1 koin mahar atau senilai Rp 100 ribu. Setelah membayar 1 koin mahar, klien akan mendapatkan username dan password yang bisa digunakan pada saat log in untuk memilih ‘mitra’. Klien yang berminat menikah dengan salah satu mitra (calon mempelai pria/wanita) harus membayar kembali sejumlah koin yang sudah ditentukan oleh masing-masing mitra. “Misalnya, seorang mitra bernilai 200 koin mahar, maka klien harus membayar sebesar Rp 2 juta untuk proses lebih lanjut,” imbuhnya. Sementara itu, mitra tidak diwajibkan membayar. Namun mitra akan mendapat potongan 10-20 persen apabila ada transaksi dengan klien.
AW mengatakan uang operasional digunakan untuk mencari penghulu dan saksi. Sedangkan soal tempat, pihaknya menyerahkan urusan itu ke peserta lelang. “Kami hanya sekedar memfasilitasi penghulu dan saksi, untuk tempatnya terserah dari mereka mau di hotel atau di mana, mereka yang tentukan,” kata AW.
Dari klaimnya, AW menyatakan nikah siri dan lelang perawan bisa memperbaiki ekonomi. Dia menyatakan pemikirannya itu merupakan potret kondisi Indonesia untuk masyarakat kelas bawah. “Kita bicara soal perut rakyat. Mohon jangan dilihat dari kacamata mewah, jangan dilihat dari kacamata Rayben. Tapi harus dengan mata telanjang betapa rakyat itu (miskin). Orang itu kalau udah kelaparan kadang sampai harus membunuh, apalagi ini hanya sekedar nikah saja,” tutur AW sebagaimana dilansir oleh detikcom.
Polisi mensinyalir tersangka Aris memfasilitasi prostitusi online secara terselubung dengan membuat situs nikahsirri.com. Tersangka membawa kedok agama agar seolah-olah lelang perawan yang ditawarkan di situs itu adalah legal. “Jadi ini memang bisa dikatakan prostitusi secara terselubung dengan membawa-bawa agama, agar orang berpikir sah karena nikah secara siri,” jelas Kanit V Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Kompol James Hutajulu kepada detikcom, Senin (25/9/2017).
Tak hanya itu, polisi juga menyebut Aris menyediakan konten pornografi dalam situs tersebut. Akibat pelanggaran pornografi ini, polisi menjerat Aris dengan pasal berlapis yakni UU ITE dan UU Pornografi. “Ada gambar-gambar berkonten pornografi,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono kepada detikcom, Minggu (24/9/2017).
Argo menambahkan, tersangka menyediakan fasilitas yang diduga mengarah kepada perdagangan orang terselubung. “Kalau ada yang berminat, dia memfasilitasi tapi harus bayar Rp 100 ribu untuk melihat konten itu. Artinya orang yang mau gabung ke konten itu harus bayar dulu,” sebut Argo.
Selain menyajikan ‘lelang perawan’, situs nikahsirri.com juga menyediakan layanan kawin kontrak.
Sementara itu, Komnas Perempuan menyebut praktik yang dijalani Aris ini sebagai bentuk human trafficking (perdagangan manusia). “Saya kira ini bagian dari (human) trafficking. Kalau kemudian (keperawanan) itu dilelang, kayak ini jual-beli manusia saja,” sebut Komisioner Komnas Perempuan Masruchah saat dihubungi detikcom, Minggu (24/9).
 
Hukum Nikah Sirri
Nikah sirri adalah istilah lain dari ‘nikah di bawah tangan’. Ini adalah satu bentuk pernikahan yang dilangsungkan sesuai syari’at agama tetapi tidak tercatat secara sah di Kantor Urusan Agama. Jadi secara syari’at sah—tentunya jika dipenuhi semua rukun dan syarat yang sudah ditentukan syari’at—tetapi secara hukum negara tidak sah. Dalam hal terjadi sengketa, nikah siri seringkali mengorbankan perempuan dan anak-anak. Perempuan atau mantan istri seringkali tidak bisa menuntut haknya lewat jalur hukum karena pernikahannya dinyatakan tidak sah. Seorang anak juga tidak bisa mendapatkan status hukum yang sah atau akta kelahiran karena bukan berasal dari pernikahan yang sah. Ia akan tercatat sebagai anak yang lahir di luar nikah.
Sebagian ulama memilih bersikap tasyaddud (memperketat) dalam menentukan hukum nikah sirri ini. Bagi mereka nikah sirri hukumnya haram. Alasannya, nikah sirri memudlaratkan bagi perempuan dan anak-anak. Di samping itu, pernikahan harus membawa kenyamanan, sementara pernikahan sirri jelas tidak membawa kenyamanan. Alasan lainnya, segala bentuk transaksi termasuk utang piutang harus tercatat, apalagi transaksi (aqad) pernikahan yang lebih suci, harus pula tercatat. Pernikahan juga harus diumumkan (i’lan), sementara nikah sirri pasti dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pertimbangan lain, menaati Pemerintah dalam hal kemaslahatan hukumnya wajib. Maka mencatat pernikahan di Kantor Urusan Agama pun kedudukannya jadi wajib. Sehingga kesimpulannya, nikah sirri hukumnya haram.
Dalam pertimbangan ulama penganut tasyaddud di atas, tampaknya ada hal-hal yang terlalu dilebih-lebihkan. Pasalnya tidak ada dalil qath’i (pasti) dan sharih (tegas) yang dijadikan dasar untuk menetapkan hukum wajib pernikahan dicatat di Pemerintah. Dari sejak zaman Nabi saw sampai kekhalifahan dan kesultanan Islam pun tidak ada data bahwa pernikahan pada zaman-zaman tersebut wajib dicatat di Pemerintah. Setiap terjadi sengketa, mekanisme pengadilan Islam yang didasarkan pada bukti dan saksi—di luar surat pencatatan nikah—sudah cukup untuk menyelesaikan masalah. Yang jadi masalahnya itu pengadilan zaman sekarangnya yang mutlak mensyaratkan nikah tercatat secara resmi untuk diajukan kasus sengketanya di pengadilan. Jadi bukan persoalan nikah sirrinya, apalagi ada dalil yang mengharamkannya secara tegas, tetapi persoalan pengadilan dan sistem hukumnya yang menuntut harus selalu ada bukti tercatat secara resmi di Negara.
Maka dari itu, alasan mudlarat bagi perempuan dan anak-anak menjadi batal jika faktanya nikah sirri tidak mendatangkan mudlarat bagi perempuan dan anak-anak. Sebab tidak bisa dijamin 100% bahwa nikah sirri mudlarat bagi perempuan dan anak-anak, bahwa nikah sirri pasti bakal berujung perceraian dan persengketaan.
Alasan nikah harus mendatangkan kenyamanan secagai dalil haramnya nikah sirri juga bisa batal jika justru dengan menikah secara sirri lebih nyaman daripada tidak menikah sama sekali.
Alasan segala bentuk transaksi harus dicatat menjadi benar jika itu untuk utang piutang. Itu pun bukan berarti harus selalu melalui lembaran negara, pokoknya harus tercatat dan ada saksi pencatatannya, dalam lembaran apapun itu dicatatnya.Tetapi untuk perdagangan atau jual beli langsung, al-Qur`an sendiri tidak mewajibkannya.

ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُم

…Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli… (QS. al-Baqarah [2] : 282)
Maka dari itu pernyataan “segala transaksi” harus dicatat terlalu dilebih-lebihkan. Demikian halnya dengan aqad (“transaksi”) pernikahan, tidak ditemukan dalilnya harus dicatat.
Pernikahan memang benar harus di-i’lan-kan, tetapi bukan berarti harus dicatat. Pernikahan bisa tetap i’lan dengan mengundang keluarga dan tetangga meski tidak tercatat. Bahkan sebaliknya, pernikahan yang tercatat di KUA pun bisa tidak i’lan jika dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi karena malu diketahui orang banyak seperti dalam kasus poligami. Jadi tidak bisa dipaksakan bahwa perintah i’lan itu adalah perintah mencatat pernikahan.
Menaati Pemerintah hukumnya memang wajib. Akan tetapi mencatat pernikahan itu sendiri belum diwajibkan sepenuhnya oleh Pemerintah, masih sebatas dianjurkan. Jika memang pernikahan wajib dicatat, maka yang melakukan nikah sirri bisa ditangkap dan dipenjarakan karena melanggar aturan Pemerintah. Pada faktanya, itu tidak ada. Jadi tidak bisa serta merta yang melaksanakan nikah sirri dinyatakan tidak menaati Pemerintah, sebab Pemerintahnya sendiri tidak mewajibkan dan memberikan sanksi kepada yang tidak mencatatkan pernikahannya.
 
Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sudah pernah membahas persoalan “nikah di bawah tangan ini” dalam Ijtima’ Ulama tahun 2006. Keputusannya kemudian dikuatkan dalam Fatwa tahun 2008 sebagai berikut:
FATWA TENTANG NIKAH DI BAWAH TANGAN
Pertama: Ketentuan Umum
Nikah di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Kedua: Ketentuan Hukum

  1. Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat
  2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/madharrah (saddan lidz-dzari’ah).

Jakarta, 17 September 2008 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
 
Dalil-dalil yang dijadikan rujukan oleh MUI adalah dalil-dalil umum seputar wajibnya pernikahan, syarat-syarat pernikahan, sekaligus kewajiban menaati Pemerintah. Di samping itu dalil-dalil dan kaidah-kaidah fiqih tentang haramnya menimbulkan madlarat. Fatwa yang dikemukakan oleh MUI ini lebih sesuai dengan fakta hukum fiqih sebagaimana disinggung sebelumnya. Jadi hukum pernikahannya tetap sah, tetapi jika ada madlarat, maka hukumnya haram. Pencatatan pernikahan pun tidak dinyatakan “wajib”, melainkan sebatas “harus” (atau semacam sunat) sebagai langkah preventif dari datangnya dampak negatif.
Dalam kasus nikah sirri online sebagaimana diulas di atas, jika semua kemadlaratan yang dituduhkan oleh pihak kepolisian dan Pemerintah benar-benar terbukti, yakni prostitusi terselubung, pernikahan kontrak/nikah mut’ah, eksploitasi anak di bawah umur, pornografi, dan perdagangan manusia, maka itu semua cukup untuk menjadi bukti bahwa nikah sirri hukumnya haram. Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.