Hukum Memakai Rumah Yang Digadaikan

Bismillah. Ustadz maaf mau bertanya. Bagaimana hukumnya jika ada yang menggadaikan rumah lalu ia berkata kepada yang menerima gadainya silahkan pakai rumah tersebut tanpa perlu menyewa, selama utang belum dilunasi. Apakah gadai yang seperti itu dibolehkan? Terima kasih atas jawabannya 08952503xxxx
Gadai itu termasuk utang piutang atau pinjaman. Segala macam kelebihan dari utang piutang atau pinjaman hukumnya haram, karena termasuk riba. Meski itu dibumbui dalih suka sama suka atau ridla sama ridla. Sesuatu yang haram tidak menjadi gugur haramnya karena alasan suka sama suka. Nabi saw sudah jelas bersabda:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap pinjaman yang menarik manfaat (kelebihan) maka itu adalah riba (Hadits hasan riwayat al-Harits ibn Abi Usamah yang dikuatkan oleh riwayat al-Baihaqi dan al-Bukhari. Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 881-883).
Riba dalam kasus yang anda tanyakan ada pada jasa pemakaian rumah yang digadaikan tersebut. Jadinya yang meminjam membayar nominal utang yang dipinjam plus jasa pemakaian rumah. Jika sewa rumah satu bulannya dihitung Rp. 500.000,- berarti riba dalam kasus tersebut adalah Rp. 500.000,- dalam setiap bulannya.
Perlu kami tegaskan ulang di sini bahwa:
Pertama, gadai itu akadnya utang piutang atau pinjaman. Maka tidak boleh ada kelebihan apapun dari utang yang harus dibayarkan karena termasuk riba. Baik itu dalam bentuk jasa pemakaian barang gadai ataupun pada pembayaran berlebih dari nominal pinjaman. Tentunya dikecualikan untuk biaya administrasi/ujrah/upah karyawan atau pengurus pegadaian.
Kedua, barang yang digadaikan itu statusnya tetap hak milik yang menggadaikan/peminjam, bukan milik yang menerima gadai/pemberi pinjaman. Maka penerima gadai tidak boleh memakai barang yang digadaikan kecuali dengan membayar jasa pemakaian. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw:

لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Gadai tidak menghalangi kepemilikan yang menggadaikan atas barang yang digadaikannya. Keuntungannya baginya (yang menggadaikan) dan kerugian juga tanggung jawabnya (yang menggadaikan) (Riwayat as-Syafi’i, ad-Daraquthni dan al-Hakim. Bulughul-Maram no. 879).

اَلرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Binatang yang digadaikan boleh ditunggangi jika dibayar nafaqahnya, dan susu dari hewan yang digadaikan boleh diminum jika dibayar nafaqahnya. Dan bagi orang yang menunggangi dan memimumnya wajib membayar nafaqahnya (Shahih al-Bukhari kitab al-buyu’ bab ar-rahn markubun wa mahlubun no. 2512).
Dalam kasus rumah yang digadaikan seperti pertanyaan anda, maka yang menerima gadai jika ia menggunakan rumah tersebut—meski dengan dalih yang menggadaikan merelakan—tetap harus membayar biaya sewanya. Kalau tidak membayar sewa, maka setidaknya harus dihitung untuk mengurangi beban utang dari peminjam/pihak yang menggadaikan. Misalnya pihak yang menerima gadai menggunakannya selama satu bulan dengan harga sewa Rp. 500.000,-. Maka nilai utang dari peminjam dikurangi Rp. 500.000,-. Jika utangnya Rp. 5.000.000,- maka ia hanya harus membayar Rp. 4.500.000,- karena sudah dipotong jasa penyewaan rumah Rp. 500.000,-. Pola transaksi pegadaian seperti ini harus dijalankan agar tidak termasuk riba. Jika pihak pemberi pinjaman/penerima gadai tidak mau piutangnya dipotong dengan jasa penyewaan rumah, maka berarti ia tidak boleh menggunakan rumah yang digadaikan tersebut sama sekali.
Akan lebih baik jika rumah itu disewakan kepada pihak lain untuk membantu pembayaran utang yang menggadaikan. Sebab uang sewa dari rumah yang digadaikan itu hak milik yang menggadaikan, bukan milik penerima gadai. Dan jika penerima gadai malah menerima uang sewa rumah tanpa memotong piutangnya, ini juga jelas termasuk riba. Wal-‘Llahu a’lam.