Hak Rumah untuk Asatidzah dan Jama’ah

Umat manusia sudah sepakat bahwa siapa pun orangnya berhak untuk penghidupan yang layak. Hak ini bahkan dikategorikan Hak Asasi Manusia (HAM). Kebutuhan primer untuk penghidupan yang layak itu adalah sandang (pakaian), pangan (makan), dan papan (rumah). Namun entah siapa yang wajib memenuhi hak ini, ketika faktanya mereka yang terbatas kemampuannya tidak kunjung memiliki rumah. Pemerintah hanya sebatas memberikan paket cicilan rumah tanpa bunga. Orang-orang kaya malah hidup dari penderitaan orang-orang miskin yang seumur hidupnya menyetorkan biaya sewa rumah.


Masyarakat pada umumnya sudah tercekoki pola pikir ekonomi liberal. Ini akibat pelajaran ekonomi liberal yang sudah diajarkan dari sejak SD. Dalam konsep ekonomi liberal diyakini bahwa orang kaya adalah orang yang bertekad kuat untuk menjadi orang kaya dan ia berusaha keras untuk itu. Sementara orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai tekad kuat untuk menjadi orang kaya dan ia hanya mengandalkan pemberian orang lain tanpa berusaha keras untuk menjadi orang sukses. Jadinya seseorang kaya karena keinginannya sendiri, demikian juga seseorang miskin karena salahnya sendiri yang tidak mau berusaha keras untuk menjadi kaya. Unsur taqdir dan kehendak Allah swt sama sekali tidak diyakini keberadaannya di balik kaya dan miskinnya seseorang.
Pemikiran seperti ini menjadi dasar dari kapitalisme, dimana para pemilik kekayaan bebas menguras kekayaan orang-orang miskin dengan berbagai modus transaksi, apakah itu jual beli atau terutama bunga (riba). Jadinya semua hal harus selalu dihitung dengan uang dan uang. Ajaran shadaqah, infaq, al-ma’un (pinjaman tanpa bunga), dan ta’awun (saling tolong menolong) kepada sesama khususnya faqir miskin, otomatis menjadi hilang. Bahkan meskipun itu kepada saudara dan kerabatnya sendiri. Dalam benak seorang kapitalis akan selalu tertanam pikiran bahwa harta ini harus menjadi lumbung keuangannya. Ia harus mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan selama-lamanya dari harta yang dimilikinya saat ini. Tidak peduli kalaupun itu dengan memerah keuangan orang-orang miskin yang selamanya hidup dalam kemiskinan, karena siapa suruh mereka memilih hidup miskin.
Dalam satu aspek, ajaran bahwa seseorang miskin akibat malas dan tidak cakap dalam manajemen keuangan bisa dibenarkan. Akan tetapi itu tidak berarti menghilangkan sama sekali ajaran shadaqah dan infaq. Terlebih faktanya banyak juga orang-orang yang miskin meski ia tidak malas dan meski ia cakap dalam manajemen keuangan. Tetapi karena taqdir rizkinya saja yang tidak seluas orang kaya yang menyebabkannya tetap hidup dalam kemiskinan.
Shahabat Hakim ibn Hizam ra adalah di antara contoh orang miskin akibat mental miskin. Ia senang hidup dengan menempatkan tangan di bawah pemberian orang lain. Ia pun pada awalnya senang meminta kepada Rasulullah saw karena tahu beliau pasti memberi, tidak mungkin tidak. Rasulullah saw pun memang selalu memberinya. Akan tetapi Rasulullah saw di samping memberi juga memberi nasihat kepadanya bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Nasihat tersebut kemudian membekas pada diri Hakim dan ia pun bertekad sekuat tenaga untuk menjadi orang yang “tangan di atas”. Sehingga pada masa berikutnya, Hakim ditaqdirkan berhasil menjadi orang kaya dan bahkan menjadi orang Quraisy yang paling kaya ketika meninggal dunia (Shahih al-Bukhari dan Fathul-Bari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1472).
Hadits di atas mengajarkan bahwa selain memberikan nasihat kepada orang miskin, memberi shadaqah tidak boleh berhenti. Bahwa ada orang miskin yang diakibatkan mental miskin, tidak boleh menjadi dalih untuk tidak membantu mereka. Bantuan pun jangan hanya berupa materi tetapi juga berupa spirit, sehingga orang miskin terbantu secara materi dan spiritual.
Selebihnya dari itu ada orang-orang yang hidup miskin bukan karena mentalnya yang miskin, melainkan karena pilihan hidupnya yang tidak memilih masuk dunia usaha dan kerja, melainkan memilih dunia dakwah, pendidikan, dan pengabdian untuk masjid, madrasah, pesantren, dan masyarakat. Mental mereka sangat bagus dan itu tampak dari semangat beribadah dan bekerja yang sering tanpa pamrih. Mereka adalah orang-orang yang sangat sadar bahwa dunia dakwah dan pendidikan sangat penting untuk keberlangsungan agama dan umat. Mereka sangat menyadari jika dunia pengabdian kepada umat diabaikan maka dosa akan tertimpa bagi umat secara keseluruhan. Jargon mereka: “Kalau bukan kita, siapa lagi?”. Terhadap mereka Allah swt memberikan perhatian khusus dalam ayat al-Qur`an untuk dijadikan prioritas infaq dan shadaqah:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ  ٢٧٣

(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah [2] : 273).
Dalam konteks hari ini orang-orang yang “terikat oleh jihad di jalan Allah” adalah para asatidzah dan jama’ah masjid yang mengabdikan diri mereka di dunia dakwah dan pendidikan. Mereka bukan tidak mampu menjadi pengusaha atau pekerja, tetapi mereka sadar jika untuk masuk dunia usaha dan kerja perlu perhatian dan tenaga yang ekstra, dan itu otomatis harus dengan mengorbankan dunia dakwah dan pendidikan. Jadinya dua dunia yang penting ini akan menjadi korban. Mereka “tertawan” di jalan Allah swt dari menggeluti dunia usaha dan kerja. Mereka jelas berhak dengan penghidupan yang layak; sandang, pangan, dan papan untuk menjamin keberlangsungan gerak mereka juga di dunia dakwah dan pendidikan. Infaq dari orang-orang kaya sudah seharusnya diprioritaskan untuk mereka.
Kebanyakan asatidzah dan jama’ah masjid terlihat oleh orang awam sebagai orang kaya karena tidak pernah meminta dan menampakkan kesusahan. Padahal itu adalah kode etik adab mereka berdasarkan ajaran Islam untuk tidak memosisikan tangan di bawah dan selalu bersabar dengan semua yang dimiliki.
Mereka juga bukan tidak mampu mengikuti program kredit rumah ke salah satu Bank. Akan tetapi larangan riba dan kesepakatan fatwa para ulama atas haramnya bunga kredit Bank sudah tentu menghalangi mereka untuk mengangsur pembelian rumah.
Al-Qur`an sudah menyatakan bahwa kunci pemenuhan hak penghidupan layak mereka adalah infaq dan shadaqah. Maka siapa pun yang memiliki kelebihan rizki harta dan rumah sudah sepantasnya menyalurkan infaq dan shadaqah mereka untuk rumah asatidzah dan jama’ah. Modelnya tidak harus selalu memberikan rumah gratis kepada mereka, meski itu juga lebih baik, melainkan bisa dengan memberi angsuran ringan untuk kepemilikan rumah mereka.
Keterjebakan sebagian besar masyarakat pada bunga kredit bank untuk kepemilikan rumah tidak mustahil disebabkan orang-orang kaya dan banyak rumahnya tidak menyalurkan kredit yang halal kepada mereka. Terlebih ketika faktanya harta orang-orang kaya itu malah disimpan di bank, bukannya digunakan untuk memberdayakan faqir miskin. Jadinya dosa untuk orang-orang kaya seperti ini berlipat-lipat; sudah karena tidak membantu faqir miskin, juga menyebabkan masyarakat terjerumus ke dalam riba, ditambah harta yang malah disalurkan kepada orang-orang kaya, bukannya kepada orang-orang miskin.
Wal-‘Llahu a’lam