Fitnah Mu’adz ibn Jabal

Mu’adz ibn Jabal t pernah membuat fitnah/kekacauan dengan mengimami shalat ‘isya membaca surat al-Baqarah. Salah seorang jama’ah shalatnya ada yang mundur memisahkan diri. Mu’adz sempat menuduhnya munafiq, tetapi Rasul ﷺ kemudian menegur Mu’adz dan menilai bahwa dialah yang telah membuat fitnah. Rasul ﷺ pun menganjurkannya untuk membaca surat al-Lail, as-Syams, al-Infithar, al-A’la, dan yang semisalnya. Apakah ini berarti setiap imam shalat yang membaca surat lebih panjang dari itu juga termasuk pembuat fitnah?


Mu’adz ibn Jabal t (20 SH-18 H) adalah shahabat Anshar dari Madinah yang masuk Islam dan ikut bai’at ‘Aqabah di saat masih muda belia; 20 tahun. Ia pun hidup dalam waktu yang sebentar saja karena wafat di usia yang masih tergolong muda; 38 tahun. Meski demikian ia termasuk qurra (orang yang hafal dan bagus bacaan al-Qur`annya) di zaman Nabi saw. Ia juga ahli dalam bidang hukum sehingga diangkat sebagai da’i dan qadli (hakim) untuk daerah Yaman di masa akhir Nabi saw dan khilafah Abu Bakar ra sampai kewafatannya. Di masa ‘Umar ra ia dipindahtugaskan ke Syam dan wafat di sana (al-A’lam liz-Zarkali).
Keahliannya dalam al-Qur`an menjadikannya diangkat sebagai imam shalat di masjid sekitar tempat tinggalnya, Bani Salimah, meski usianya tergolong muda. Nabi saw sendiri yang memberi pengakuan terhadap keahliannya tersebut dalam salah satu sabdanya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَسَالِمٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ

Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ra: Aku mendengar Nabi saw bersabda: “Ambillah al-Qur`an dari empat orang; ‘Abdullah ibn Mas’ud, Salim, Mu’adz ibn Jabal, dan Ubayy ibn Ka’ab.” (Shahih al-Bukhari, kitab fadla`il al-Qur`an bab al-qurra min ashhab an-nabiy saw no. 4713).
Pada suatu malam, ada satu kejadian yang dialami Mu’adz dan dikenang dalam sejarah melalui hadits yang diriwayatkan secara turun temurun. Kejadian tersebut sebagaimana dituturkan oleh Jabir adalah sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ  قَالَ كَانَ مُعَاذٌ  يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ ﷺ ثُمَّ يَأْتِى فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِىِّ ﷺ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَانْحَرَفَ رَجُلٌ فَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى وَحْدَهُ وَانْصَرَفَ فَقَالُوا لَهُ أَنَافَقْتَ يَا فُلاَنُ قَالَ لاَ وَاللَّهِ وَلآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَلأُخْبِرَنَّهُ. فَأَتَى رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا أَصْحَابُ نَوَاضِحَ نَعْمَلُ بِالنَّهَارِ وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى مَعَكَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ. فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا

Dari Jabir ra, ia berkata: Mu’adz ra biasa shalat bersama Nabi saw kemudian pulang dan mengimami kaumnya. Pada suatu malam ia pernah shalat ‘isya bersama Nabi saw, kemudian pulang kepada kaumnya dan mengimami mereka. Ia membaca pada raka’at pertama surat al-Baqarah. Tiba-tiba ada seseorang (dari makmumnya–pen) yang bergerak, ia salam (membatalkan shalatnya), lalu shalat sendirian, kemudian pulang. Para jama’ah berkata kepadanya: “Apakah kamu munafiq wahai fulan?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah. Aku pasti akan temui Rasulullah saw dan melaporkan ini kepada beliau.” Ia pun datang kepada Rasulullah saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh kami ini pengendara unta-unta pencari air yang sudah bekerja seharian penuh. Lalu Mu’adz yang sudah shalat bersama anda, ia pulang dan mengimami dengan surat al-Baqarah.” Rasulullah saw lalu menghadap kepada Mu’adz dan berkata: “Apakah kamu hendak menjadi pembuat fitnah!? Bacalah surat ini dan surat ini.” (Shahih Muslim bab al-qira`ah fil-‘isya no. 1069)
Dalam sanad Abuz-Zubair disebutkan bahwa Mu’adzlah yang menyebut orang yang memisahkan diri itu munafiq. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, kemungkinan Mu’adz dahulu yang menyebutnya munafiq, lalu jama’ahnya mengonfirmasi kepada orang tersebut tentang tuduhan munafiq itu (Fathul-Bari bab idza thawwalal-imam wa kana lir-rajul hajah). Dalam sanad Abuz-Zubair itu pula disebutkan surat-surat yang Rasul saw anjurkan untuk dibaca oleh seorang imam pada shalat ‘isya:

فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ ﷺ أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

Ia (yang memisahkan diri dari berjama’ah) dilaporkan kepada Mu’adz, lalu Mu’adz berkata: “Sungguh ia munafiq.” Ketika sampai vonis tersebut kepada lelaki itu, ia kemudian datang kepada Rasulullah saw dan mengadukan apa yang diucapkan Mu’adz. Nabi saw lalu bersabda kepada Mu’adz: “Apakah kamu ingin menjadi pembuat fitnah wahai Mu’adz!? Jika kamu mengimami jama’ah bacalah was-syamsi wa dluhaha, sabbih-isma rabbikal-a’la, iqra` bi-smi Rabbika, dan wal-laili idza yaghsya.” (Shahih Muslim bab al-qira`ah fil-‘isya no. 1069)
Jika ditelusuri sanad-sanad yang meriwayatkan hadits Mu’adz ini, diketahui bahwa surat-surat yang Nabi saw anjurkan untuk dibaca dalam shalat ‘isya selain as-Syams, al-A’la, al-‘Alaq, dan al-Lail di atas, disebutkan juga oleh beliau al-Buruj, at-Thariq (Shahih Ibn Hibban dzikrul-ibahah lil-mar`i an yu`addiya fardlahu jama’ah no. 2400), ad-Dluha, dan al-Infithar (Sunan an-Nasa`i bab al-qira`ah fil-‘isya`il-akhirah no. 997).
Alasan dari shahabat yang mengundurkan diri di atas, maksudnya sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, mereka sudah lelah bekerja seharian mengangkut air, dan shalat ‘isya yang diimami Mu’adz juga agak larut malam (disebutkan dalam satu riwayat ‘atamah; sekitar jam 09.00-10.00) karena memang Mu’adz ikut shalat terlebih dahulu di Masjid Nabawi, Madinah, bersama Nabi saw. Di samping itu surat yang dibaca oleh Mu’adz juga surat al-Baqarah, yang kalaupun dibagi dua raka’at tetap saja panjang dan melelahkan makmum. Ini termasuk ‘udzur syar’i yang membolehkan seseorang memisahkan diri dari jama’ah shalat yang dipimpin oleh seorang imam. Caranya ia membatalkan shalatnya, lalu shalat lagi sendirian di belakang. Sebab dalam hadits di atas jelas disebutkan bahwa lelaki yang mundur itu salam (membatalkan shalatnya), lalu shalat lagi sendirian (dalam riwayat lain disebutkan di penjuru masjid), kemudian pulang. Demikian Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim yang dikuatkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari.
Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa surat-surat yang Nabi saw anjurkan kepada Mu’adz tersebut oleh Jabir dikategorikan sebagai surat ausath (pertengahan) mufashshal. Ini menguatkan hadits Sulaiman ibn Yasar yang menyebutkan bahwa Nabi saw biasa mengimami shalat ‘isya dengan surat-surat pertengahan mufashshal (kelompok surat-surat terakhir dalam mushhaf dari sejak Qaf sampai an-Nas). Artinya selama imam dalam shalat ‘isya—termasuk shalat tarawih di waktu ‘isya—membaca surat-surat seukuran al-Buruj, at-Thariq, al-Infithar, al-Lail, dan as-Syams, maka makmum jangan menggerutu dengan menuding imam membacanya terlalu panjang. Apalagi dengan mempertimbangkan Nabi saw tidak pernah mengimami shalat tarawih dengan surat-surat yang pendek.
Hadits ini juga tidak usah dibenturkan dengan hadits lain yang mengajarkan dan mencontohkan shalat shubuh dan zhuhur dengan membaca surat-surat yang panjang. Maksudnya, hadits ini jangan dipukul rata berlaku untuk semua shalat wajib, sebab faktanya hadits ini berlaku dalam konteks shalat ‘isya dan dalam kasus Mu’adz yang mengimami shalat ‘isya di waktu larut malam dengan surat al-Baqarah. Hadits ini tidak tepat dijadikan senjata untuk menyalahkan imam yang membaca surat-surat panjang dalam shalat shubuh dan zhuhur, sebab faktanya Nabi saw mengajarkan dan mencontohkan demikian. Yang termasuk membuat fitnah itu kalau imam shalat ‘isya membaca surat-surat yang panjang. Tetapi jika imam shalat shubuh dan zhuhur membaca surat yang panjang, itu bukan fitnah, melainkan sunnah.
Hadits ini menjadi dalil bolehnya seseorang shalat wajib yang sama dua kali. Tentunya yang wajibnya yang pertama, yang kedua kalinya termasuk sunat. Sebagaimana dinyatakan Jabir sendiri:

فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاةَ، هِيَ لَهُ نَافِلَةٌ وَلَهُمْ فَرِيضَةٌ

“Ia (Mu’adz) lalu mengimami jama’ah shalat yang itu (‘isya), dimana (shalat ‘isya) itu baginya sunat, sedangkan bagi jama’ahnya wajib.” (as-Sunanul-Kubra bab al-faridlah khalfa man yushallin-nafilah no. 5106).
Ini sekaligus jadi dalil bahwa makmum yang shalat wajib boleh bermakmum kepada imam yang shalatnya sunat asalkan shalat yang sama.
Terakhir, sebagaimana ditulis al-Hafizh dalam Fathul-Bari, ini merupakan dalil bahwa orang yang tidak shalat berjama’ah itu orang munafiq. Itu tampak dari pengetahuan yang sama antara Mu’adz dan jama’ahnya terhadap orang yang enggan berjama’ah shalat, meski kemudian ditegur oleh Nabi saw karena untuk kasus di atas tidak tepat sasaran. Wal-‘Llahu a’lam.