Fiqih Lockdown

Lockdown atau karantina kewilayahan sudah diterapkan di berbagai daerah, khususnya kota-kota besar di DKI Jakarta, Jabar, dan Banten. Dampaknya masjid-masjid yang ada di daerah tersebut juga terkena himbauan untuk ditutup dari kegiatan yang melibatkan jama’ah seperti shalat berjama’ah, shalat jum’at, dan pengajian. Bagaimana umat Islam mesti menjalankan ibadahnya ketika pusat kegiatan ibadah berjama’ahnya ditutup?


Dasar hukum menutup masjid adalah khauf (ketakutan) dari penularan virus Covid-19. Para ulama sepakat bahwa khauf adalah salah satu udzur yang dibenarkan syari’at untuk meniadakan shalat berjama’ah, termasuk shalat Jum’at, dan memindahkannya menjadi shalat di rumah masing-masing. Haditsnya disampaikan oleh Ibn ‘Abbas ra dan Ibn ‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ

Dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas, bahwasanya ia berkata kepada Muadzdzinnya pada hari turun hujan lebat (dalam sanad lain disebutkan pada adzan Jum’at [Shahih Muslim no. 1641-1643]): “Apabila kamu selesai mengucapkan: ‘Asyhadu an la ilaha illal-‘Llah, asyhadu anna Muhammad Rasulullah’, maka jangan ucapkan: ‘Hayya ‘alas-shalah’, tetapi ucapkanlah: ‘Shallû fî buyûtikum’ (shalatlah di rumah kalian).” Maka seakan-akan jama’ah yang hadir menilainya munkar. Ibn ‘Abbas berkata: “Apakah kalian merasa heran dengan hal ini. Sungguh telah melakukan ini orang yang lebih baik dariku (Rasul saw). Sungguh shalat Jum’at itu satu kemestian, tetapi aku takut menyusahkan kalian sehingga kalian berjalan di tanah berlumpur.” (Shahih Muslim bab as-shalat fir-rihal fil-mathar no. 1637; Shahih al-Bukhari bab ar-rukhshah in lam yahdluril-jumu’ah fil-mathar [rukhshah jika tidak menghadiri shalat Jum’at ketika hujan] no. 901).
Hadits ini memang menyebutkan khauf dari hujan lebat dan tanah lengket sehingga susah dilalui atau akan menjadi kotor dan akan mengurangi kekhidmatan shalat Jum’at. Akan tetapi berlaku fiqih yang sama dengannya untuk semua jenis khauf, termasuk khauf dari penularan virus Covid-19 yang dampak buruknya lebih parah dari hujan lebat dan tanah lengket.
Berdasarkan hadits ini, shalat Jum’at tidak perlu didatangi. Ibn ‘Abbas dan muadzdzinnya pun tidak jadi mengamalkan shalat Jum’at, melainkan shalat zhuhur biasa, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar:

وَاَلَّذِي يَظْهَر أَنَّهُ لَمْ يُجَمِّعهُمْ، وَإِنَّمَا أَرَادَ بِقَوْلِهِ صَلُّوا فِي بُيُوتكُمْ مُخَاطَبَة مَنْ لَمْ يَحْضُر وَتَعْلِيم مَنْ حَضَرَ

Yang jelas, Ibn ‘Abbas tidak mengamalkan shalat Jum’at bersama mereka (yang hadir). Hanyasanya yang dimaksud dengan seruan: “Shalatlah kalian di rumah” ditujukan kepada yang belum hadir dan mengajari yang sudah hadir (Fathul-Bari bab ar-rukhshah in lam yahdluril-jumu’ah fil-mathar).
 
Lafazh Adzan Diganti atau Ditambah
Jika dalam hadits di atas Ibn ‘Abbas ra memerintah muadzdzinnya untuk mengganti lafazh hayya ‘alas-shalah menjadi shallu fi buyutikum, maka dalam hadits Ibn ‘Umar ra, ia sendiri adzan dengan menambahkan lafazh perintah shalat di rumah itu di akhir lafazh adzan yang biasa dikumandangkan (Shahih al-Bukhari bab al-adzan lil-musafir idza kanu jama’ah wal-iqamah no. 632, bab ar-rukhshah fil-mathar no. 666; Shahih Muslim bab as-shalat fir-rihal fil-mathar no. 1632-1634).
Dua dalil di atas status keshahihannya sama, maka berarti bisa diamalkan kedua-duanya.
Hadits Ibn ‘Abbas ra

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ – أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ – أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ

صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ

(صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ – صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ)

(أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ – أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ)

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Hadits Ibn ‘Umar ra

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ – أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ – أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ – حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ – حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ

(صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ – صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ)

(أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ – أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ)

Keterangan: Lafazh adzan dalam kurung adalah pilihan lainnya.

 
Shalat Jum’at Diganti Zhuhur di Rumah
Sejak zaman Nabi saw syari’at shalat Jum’at berlaku secara jami’; menghimpun semua jama’ah yang ada di satu daerah berpenduduk tetap di satu masjid, sehingga sering disebut masjid jami’, sebab memang adzan Jum’at berdasarkan QS. al-Jumu’ah [62] : 9 disyari’atkannya di masjid. Mereka yang terjangkau datang ke masjid terkena kewajiban shalat Jum’at, sementara yang jauh tidak terkena kewajiban shalat Jum’at dan hanya wajib shalat zhuhur; tetapi mereka boleh datang ke masjid Nabi saw untuk ikut shalat Jum’at. Imam al-Bukhari menuliskan satu hadits terkait ketentuan syari’at ini:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَتْ كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَالْعَوَالِيِّ فَيَأْتُونَ فِي الْغُبَارِ يُصِيبُهُمْ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُمْ الْعَرَقُ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ إِنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهُوَ عِنْدِي فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا

Dari ‘Aisyah, istri Nabi saw, ia berkata: Ada beberapa orang yang saling bergantian datang pada hari Jum’at dari rumah mereka di penjuru kota. Mereka datang melewati padang berdebu. Mereka terkena debu-debu tersebut sampai berkeringat. Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah saw ketika beliau berada di dekatku. Nabi saw bersabda: “Seandainya saja kalian bersuci untuk hari kalian ini.” (Shahih al-Bukhari bab min aina tu`tal-jumu’ah wa ‘ala man tajibu no. 902)
Keterangan ‘Aisyah ra bahwa penduduk dari penjuru kota yantabuna; saling bergantian datang, menunjukkan bahwa mereka tidak selalu datang semuanya. Sebagian ada yang datang, sebagian lagi ada yang tidak datang. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak wajib shalat Jum’at, tetapi mereka boleh datang dan ikut shalat Jum’at. Ini juga menunjukkan bahwa di daerah pinggiran Madinah tidak disyari’atkan shalat Jum’at.
Dalam kaitan syari’at ini Imam al-Bukhari dalam bab min aina tu`tal-jumu’ah wa ‘ala man tajibu menuliskan dua atsar berikut:

وَقَالَ عَطَاءٌ إِذَا كُنْتَ فِي قَرْيَةٍ جَامِعَةٍ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَحَقٌّ عَلَيْكَ أَنْ تَشْهَدَهَا سَمِعْتَ النِّدَاءَ أَوْ لَمْ تَسْمَعْهُ

‘Atha` (tabi’in, w. 114 H) berkata: “Jika kamu berada di satu ‘daerah yang menghimpun’ (masyarakatnya) lalu ada panggilan shalat pada hari Jum’at, maka wajib bagi kamu mendatanginya baik kamu mendengar adzan atau tidak.”
Dalam riwayat ‘Abdurrazzaq sebagaimana ditulis dalam Fathul-Bari, ketika ‘Atha` ditanya apa maksud qaryah jam’iah (daerah yang menghimpun), ia menjawab:

ذَات الْجَمَاعَة وَالْأَمِير وَالْقَاضِي وَالدُّور الْمُجْتَمِعَة الْآخِذ بَعْضهَا بِبَعْضٍ

Memiliki kelompok masyarakat, pemimpin, hakim, dan fasilitas-fasilitas umum yang sebagiannya bergantung kepada sebagiannya lagi (masjid, pasar, balai pertemuan, dan lainnya—pen).
Atsar kedua dari Anas ibn Malik ra:

وَكَانَ أَنَسٌ  فِي قَصْرِهِ أَحْيَانًا يُجَمِّعُ وَأَحْيَانًا لَا يُجَمِّعُ وَهُوَ بِالزَّاوِيَةِ عَلَى فَرْسَخَيْنِ

Anas ketika berada di rumah besarnya, terkadang ia ikut shalat jum’at dan terkadang tidak ikut shalat jum’at, yakni ketika di Zawiyah yang berjarak dua farsakh (dari Bashrah [1 farsakh : 3 mil]).
Yang dimaksud qashr semacam villa atau kastil. Disebutkan dalam riwayat lain terletak di daerah perkebunan yang jauh dari pemukiman penduduk yang ada di Bashrah. Jaraknya ke Bashrah dua farsakh sekitar 6 mil/10 km. Sikap Anas ra yang sengaja tidak ikut shalat Jum’at menunjukkan bahwa bagi dirinya tidak wajib, meski diperbolehkan, maka dari itu sekali-kali ia ikut shalat Jum’at ke Bashrah. Sikap Anas ra juga menunjukkan bahwa ia tidak shalat Jum’at di qashr-nya meski pastinya ia tidak tinggal sendiri, tetapi hanya shalat zhuhur, karena shalat Jum’at hanya disyari’atkan di masjid jami’.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa syari’at shalat Jum’at harus selalu jami’ (terpusat di satu tempat) yang umumnya masjid karena di sanalah disyari’atkan adzan. Atau dengan kata lain “masjid jami’ ”. Masjid jami’ itu sendiri didirikan di setiap daerah yang sudah masuk kategori qaryah jami’ah; daerah berpenduduk tetap. Bagi yang tidak tinggal di daerah berpenduduk tetap, melainkan berjarak jauh dari daerah tersebut, dan tidak ada masjid jami’, maka tidak wajib shalat Jum’at dan tidak disyari’atkan di sana shalat Jum’at.
Maka ketika masjid-masjid jami’ terkena lockdown seperti dalam pandemi Covid-19 saat ini artinya sudah tidak ada tempat yang bisa diamalkan untuk shalat Jum’at. Memaksakan diri shalat Jum’at di rumah, mushalla, kantor, balai RW, dan semacamnya secara terpisah-pisah dikhawatirkan menjadi bid’ah yang tidak pernah diamalkan di zaman Nabi saw, shahabat, tabi’in, dan berlanjut terus sampai hari ini. Maka dari itu fatwa dari Majelis-majelis Ulama di berbagai negara tidak ada satu pun yang menganjurkan melaksanakan shalat Jum’at yang dipaksakan di tempat-tempat yang tidak jami’, sebab memang tidak ada syari’atnya. Sebagaimana terbaca dalam hadits dan atsar-atsar di atas, jika tidak ada masjid jami’ maka berlaku syari’at yang asal yakni shalat zhuhur.
Bahkan meskipun imam dan muadzdzinnya sudah ada di masjid, seperti hadits Ibn ‘Abbas ra di atas, tetapi jama’ahnya diseru untuk shalat di rumah, al-Hafizh Ibn Hajar dalam keterangan di atas menyatakan bahwa Ibn ‘Abbas dan muadzdzinnya tetap tidak melaksanakan shalat Jum’at karena tidak ada jama’ah yang jami’. Artinya Ibn ‘Abbas ra mengamalkan shalat zhuhur berjama’ah biasa.
Hadits Ibn ‘Abbas ra di atas juga menjadi dalil bahwa imam dan muadzdzin tetap boleh shalat di masjid di masa lockdown sekalipun, tetapi jama’ah masjid tetap diperintahkan shalat di rumah. Hanya tentunya kasus dalam hadits Ibn ‘Abbas ra berbeda dengan pandemi Covid-19 saat ini. Dalam hadits Ibn ‘Abbas ra alasannya sebatas masyaqqah (memberatkan) sehingga bagi yang merasa tidak berat diperbolehkan datang, sementara dalam pandemi Covid-19 adalah bahaya yang besar jika jama’ah berkumpul sehingga statusnya tidak boleh datang sama sekali. Kalaupun imam dan muadzdzinnya hendak tetap shalat di masjid tidak disalahkan, hanya jama’ah tetap harus shalat di rumah.
 
Ibadah Berjama’ah di Rumah
Selebihnya dari itu, sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Mesir, kaum muslimin di masa lockdown tetap harus shalat berjama’ah di rumah, sebab keutamaan shalat berjama’ah sudah tidak perlu didiskusikan kembali. Jadi daripada shalat munfarid di masjid, lebih baik berjama’ah di rumah. Selain itu tentunya melaksanakan semua ibadahnya secara maksimal di rumah. Bagi yang memungkinkan termasuk juga bekerja, belajar, dan mengajar di rumah. Dikecualikan bagi mereka yang terkait dengan kepentingan umum seperti pedagang makanan, polisi, pegawai pemerintahan, dan semacamnya.
Pemerintah juga wajib memberikan tunjangan lockdown kepada mereka yang sangat terdampak seperti para pedagang di tempat keramaian, guru-guru pengajian di masjid dan madrasah, pengemudi angkutan umum, dan semua masyarakat yang terkena musibah ekonominya akibat pandemi Covid-19 ini.
Wal-‘Llahu a’lam