Fiqih I’tikaf

I’tikaf arti asalnya ibadah, maksudnya ibadah di masjid selama 10 hari dan malam terakhir Ramadlan tanpa keluar dari masjid kecuali untuk satu keperluan mendesak manusiawi yang tidak bisa diamalkan di masjid. Hukum i’tikaf sunnah muakkadah (sangat ditekankan) karena Nabi saw menganjurkan dan mengamalkan tanpa pernah melewatkannya sekalipun sampai akhir wafatnya. Bagi yang tidak mampu i’tikaf 10 hari/malam terakhir Nabi saw menganjurkan semampunya dengan batasan minimal tiga malam. Termasuk tetap dianjurkan untuk menghidupkan malamnya saja seandainya i’tikaf siang malam belum mampu diamalkan.

I’tikaf Ramadlan harus dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah swt dalam al-Qur`an:

وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ

Janganlah kalian campuri mereka (istri) sedang kalian beri’tikaf di dalam masjid (QS. al-Baqarah [2] : 187).

Yang Dilarang ketika I’tikaf
‘Aisyah ra kemudian menjelaskan:

السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُودَ مَرِيضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِى مَسْجِدٍ جَامِعٍ

Sunnah bagi orang yang beri’tikaf adalah tidak menengok orang yang sakit, menghadiri jenazah, menyentuh istri dan bercumbu dengannya, dan tidak keluar dari masjid kecuali karena suatu keperluan yang tidak bisa dilaksanakan di masjid. Tidak ada i’tikaf kecuali dengan shaum dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid jami’ (yang ada shalat berjama’ah dan jum’at) (Sunan Abi Dawud bab al-mu’takif ya’udul-maridl no. 2475).

Penjelasan ‘Aisyah ra di atas tentunya berstatus sama dari Nabi saw (marfu’ hukman) karena mustahil ‘Aisyah ra menjelaskan demikian jika tidak ada dasarnya dari Nabi saw. Terlebih tidak ada shahabat lain yang membantahnya.

Mulai dari Malam ke-21
I’tikaf Ramadlan tersebut diamalkan pada 10 hari dan malam terakhir, dimulai dari malam ke-21.

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian setelah itu istri-istri beliau beri’tikaf. (Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab ali’tikaf fil-‘asyril-awakhir no. 1922).

Nabi saw mulai i’tikaf dari malam tanggal 21 Ramadlan. Ini didasarkan pada keterangan dari Abu Sa’id al-Khudri:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ  كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُجَاوِرُ فِي رَمَضَانَ الْعَشْرَ الَّتِي فِي وَسَطِ الشَّهْرِ فَإِذَا كَانَ حِينَ يُمْسِي مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً تَمْضِي وَيَسْتَقْبِلُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَجَعَ إِلَى مَسْكَنِهِ … ثُمَّ قَالَ كُنْتُ أُجَاوِرُ هَذِهِ الْعَشْرَ ثُمَّ قَدْ بَدَا لِي أَنْ أُجَاوِرَ هَذِهِ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَثْبُتْ فِي مُعْتَكَفِهِ … وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ فَاسْتَهَلَّتْ السَّمَاءُ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ فَأَمْطَرَتْ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فِي مُصَلَّى النَّبِيِّ ﷺ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ فَبَصُرَتْ عَيْنِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَنَظَرْتُ إِلَيْهِ انْصَرَفَ مِنْ الصُّبْحِ وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra: Rasulullah saw i’tikaf pada bulan Ramadlan dari sejak 10 hari pertengahan (ketika beliau belum diberitahu bahwa lailatul-qadar pada 10 hari terakhir). Pada sore hari ke-20 menjelang malam ke-21 beliau kembali ke tempat i’tikafnya… beliau bersabda: “Saya i’tikaf pada 10 hari pertengahan ini. Kemudian tampak jelas bagiku (aku diberi wahyu) untuk i’tikaf pada 10 hari terakhir. Siapa yang ingin i’tikaf bersamaku, tetaplah di tempat i’tikafnya… Saya diberi wahyu bahwa saya akan sujud di atas air dan tanah.” Maka pada malam itu langit bergemuruh dan turunlah hujan. Masjid bocor pada tempat shalat Nabi saw di malam ke-21. Mataku memandang Rasulullah saw dan melihatnya selesai dari shalat shubuh dalam keadaan wajah yang penuh dengan air dan tanah (Shahih al-Bukhari bab taharri lailatil-qadr no. 2018).

Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi saw sudah i’tikaf sejak malam 21 yang di shubuh esok harinya Nabi saw sujud di atas tanah bercampur air bekas bocor di area mimbar masjid. Mengenai keterangan ‘Aisyah bahwa Nabi saw ketika hendak i’tikaf shalat shubuh dahulu baru masuk ke tempat i’tikafnya, maka itu tidak berarti bahwa Nabi saw memulai i’tikaf dari shubuh:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

Rasulullah saw apabila hendak i’tikaf, shalat shubuh, kemudian beliau masuk ke tempat khusus i’tikafnya (Shahih Muslim bab mata yadkhulu man aradal-i’tikaf no. 2842).

Terkait keterangan ‘Aisyah di atas Imam an-Nawawi menjelaskan:

وَقَالَ مَالِك وَأَبُو حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد: يَدْخُل فِيهِ قَبْل غُرُوب الشَّمْس إِذَا أَرَادَ اِعْتِكَاف شَهْر أَوْ اِعْتِكَاف عَشْر، وَأَوَّلُوا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ دَخَلَ الْمُعْتَكَف وَانْقَطَعَ فِيهِ، وَتَخَلَّى بِنَفْسِهِ بَعْد صَلَاته الصُّبْح، لَا أَنَّ ذَلِكَ وَقْت اِبْتِدَاء الِاعْتِكَاف، بَلْ كَانَ مِنْ قَبْل الْمَغْرِب مُعْتَكِفًا لَابِثًا فِي جُمْلَة الْمَسْجِد فَلَمَّا صَلَّى الصُّبْح اِنْفَرَدَ

Imam Malik, Abu Hanifah, as-Syafi’i dan Ahmad menjelaskan: Masuk ke masjid itu sebelum terbenam matahari (maghrib) apabila ia hendak i’tikaf satu bulan atau 10 hari (terakhir). Para ulama tersebut menakwilkan hadits di atas bahwasanya yang dimaksud adalah beliau masuk ke tempat khusus i’tikafnya, beristirahat di sana, dan menyendiri sesudah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu adalah waktu dimulainya i’tikaf. Dari sejak sebelum maghrib beliau i’tikaf dan menetap di masjid secara keseluruhan. Setelah selesai shalat shubuh baru beliau menyendiri (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Artinya beliau i’tikaf siang dan malam. Di malam hari beraktifitas ibadah semalaman, lalu sesudah shalat shubuh beliau baru beristirahat. Maka jika 10 hari terakhir beliau beri’tikaf, maka berarti beliau selesai i’tikaf di sore hari ke-29/30 (disesuaikan dengan jumlah hari Ramadlannya) atau maghrib tanggal 1 Syawwal.

Akhir I’tikaf Sore Hari ke-29/30
Ada yang berpendapat bahwa akhir i’tikaf itu ba’da shubuh hari ke-29/30 berdasarkan keterangan berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ  قَالَ اعْتَكَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فَلَمَّا كَانَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ نَقَلْنَا مَتَاعَنَا

Dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw di sepuluh malam pertengahan. Maka pada shubuh hari ke-20 kami memindahkan barang-barang keperluan kami.” (Shahih al-Bukhari bab man kharaja min i’tikafihi ba’das-shubhi no. 2040)

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa i’tikaf pada tahap awalnya dilaksanakan pada 10 hari pertama, lalu 10 hari kedua, dan pada akhirnya ditetapkan 10 hari terakhir setelah Nabi saw mendapatkan kepastian dari wahyu bahwa lailatul-qadar adanya pada 10 hari terakhir. Potongan hadits di atas menjelaskan di masa i’tikaf pada 10 hari kedua, para shahabat memindahkan barang-barang keperluannya ba’da shubuh hari terakhir dari 10 hari kedua tersebut. Oleh sebagian ulama ini dijadikan dalil bahwa i’tikaf itu berakhir ba’da shubuh. Menurut Ibn Hajar, pendapat tersebut sangat lemah, sebab i’tikaf itu siang-malam, jadi kalau 10 hari maka mencakup 10 malam dan 10 siang. Maksud dari hadits di atas: (1) para shahabat yang i’tikaf di waktu malam saja, ba’da shubuh terakhir langsung berkemas, atau (2) para shahabat hanya berkemas, tetapi tidak keluar atau mengakhiri i’tikaf sebelum maghrib (Fathul-Bari).

Fatwa Ulama terkait Hukum I’tikaf
Terkait hadits ‘Aisyah ra bahwa Nabi saw selalu i’tikaf sampai wafatnya, Ibnul-‘Arabi mengatakan: “I’tikaf itu sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).” Ibn Bathal berkata: “Rutinnya Nabi saw i’tikaf menjadi dalil bahwa i’tikaf itu muakkad (sangat dianjurkan).” Imam Ahmad berkata: “Saya tidak tahu ada seorang ulama pun yang menyatakan berbeda bahwa i’tikaf adalah sunnah.” (Fathul-Bari bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir). Sementara itu az-Zuhri, seorang ulama Tabi’in berkata: “Sungguh aneh orang-orang ini, bagaimana mungkin mereka meninggalkan i’tikaf. Padahal untuk amal sunat yang lain Rasul saw adakalanya mengamalkannya dan meninggalkannya. Tetapi untuk i’tikaf, Rasul saw tidak pernah meninggalkannya sampai wafatnya.” (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 2 : 611 mabhats: ta’rif al-i’tikaf wa masyru’iyyatuhu).

I’tikaf Minimal Tiga Malam/Hari
Bagi yang tidak mampu 10 malam-hari terakhir, Nabi saw menganjurkannya 7 malam-hari terakhir; 5 malam pada tanggal ganjil, atau 3 malam ganjil. Dan 3 malam ini yang minimalnya, tidak ada yang lebih kurang dari 3 malam. Jadi usahakan semaksimal mungkin i’tikaf di tiga malam ganjil dari 10 hari terakhir.

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822).

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul-Qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).

فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Maka carilah ia pada hari ke-9 (29), ke-7 (27), ke-5 (25) [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023)

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, pada sembilan hari tersisa (21), tujuh hari (23), atau lima hari yang tersisa (25) (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021).

Empat hadits di atas jelas menganjurkan i’tikaf pada malam/hari yang kurang dari 10 hari terakhir; bisa 7 hari terakhir, bisa 5 hari ganjil dari 10 hari terakhir (21, 23, 25, 27, 29), atau 3 hari ganjil dari 10 hari terakhir (21, 23, 25, atau 25, 27, 29).

Bangun Malam bagi Yang Tidak I’tikaf
Bagi yang tidak mampu i’tikaf siang dan malam, Nabi saw tetap mengharuskan bangun di malam hari bahkan meski sudah tidur dahulu sekalipun. Itu terbukti dengan sikap Nabi saw yang membangunkan semua keluarganya meski dari keluarga beliau tersebut tidak ada satu pun yang i’tikaf.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan, mempererat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024).

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam hal ini menjelaskan:

قَوْلُهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ أَيْ لِلصَّلَاةِ وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ مِنْ حَدِيثِ زَيْنَبَ بِنْتِ أُمِّ سَلَمَةَ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا بَقِيَ مِنْ رَمَضَانَ عَشْرَةُ أَيَّامٍ يَدَعُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ يُطِيقُ الْقِيَامَ إِلَّا أَقَامَهُ… وَعَلَى تَقْدِيرِ أَنَّهُ لَمْ يَعْتَكِفْ أَحَدٌ مِنْهُنَّ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُوقِظَهُنَّ مِنْ مَوْضِعِهِ وَأَن يوقظهن عِنْد مَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ لِحَاجَتِهِ

Maksud aiqazha ahlahu yaitu membangunkan keluarga untuk shalat. At-Tirmidzi dan Muhammad ibn Nashr meriwayatkan dari hadits Zainab putri Ummu Salamah: “Nabi saw tidak pernah apabila tersisa sepuluh hari dari Ramadlan membiarkan seorang pun dari keluarganya yang mampu bangun untuk shalat kecuali beliau akan membangunkannya… berdasar pada pertimbangan bahwa tidak ada seorang istrinya pun yang i’tikaf, maka mungkin Nabi saw membangunkan keluarganya dari tempat i’tikafnya, atau membangunkan mereka ketika masuk ke rumahnya untuk satu keperluan (Fathul-Bari).
Wal-‘Llahu a’lam