Enam Waktu Terlarang Shalat 2

 

Selain ketika matahari terbit, tepat di tengah hari, dan ketika terbenam, ada tiga waktu lagi yang Nabi saw larang untuk shalat. Demikian Imam as-Shan’ani menegaskan dalam kitabnya, Subulus-Salam. Kapan ketiga waktu yang dimaksudkannya itu? Shalat yang dilarangnya shalat apa? Larangannya jatuh pada makruh atau haram?


Waktu keempat dan kelima yang Nabi saw larang untuk shalat adalah yang disebutkan dalam hadits berikut:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ

Tidak ada (tidak boleh) shalat sesudah shalat ‘ashar sampai matahari terbenam dan tidak ada (tidak boleh) shalat sesudah shalat fajar/shubuh sampai terbit matahari (Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab al-auqat al-lati nuhiya ‘anis-shalat fiha no. 1960; Shahih al-Bukhari kitab mawaqitis-shalat bab la tataharras-shalat qabla ghurubis-syamsi no. 586; Bulughul-Maram no. 175).
Dari hadits di atas diketahui bahwa yang dilarang itu adalah shalat sunat ba’da shalat ‘Ashar dan Shubuh. Jadi sesudah shalat Shubuh dan ‘Ashar tidak boleh ada shalat sampai matahari benar-benar sudah terbit atau terbenam.
Dalam kaitan hadits di atas lahir beberapa ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama:
Pertama, apakah larangan ini hukumnya haram atau sebatas makruh? Imam an-Nawawi menyatakan bahwa mayoritas ulama sepakat larangan dalam hadits di atas hukumnya sebatas makruh (Fathul-Bari). Akan tetapi Imam as-Shan’ani membantahnya dengan menyatakan bahwa yang pokok larangan itu hukumnya haram. Hukumnya menjadi makruh itu kalau ada dalil lain yang menunjukkan bahwa larangan di atas tidak keras. Akan tetapi dalil tersebut tidak ditemukan (Subulus-Salam).
Hemat kami, berdasarkan prinsip menjauhi yang syubhat, ketika suatu hukum diperselisihkan antara haram dan makruh, maka para ulama sepakat untuk memilih yang lebih selamatnya yakni haram. Terlebih Nabi saw sendiri sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud yang telah lalu memerintahkan demikian.

حَتَّى تُصَلِّىَ الصُّبْحَ ثُمَّ أَقْصِرْ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ

Sampai kamu shalat shubuh. Kemudian berhentilah (shalat) sehingga matahari terbit.

حَتَّى تُصَلِّىَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Sampai kamu shalat ‘ashar. Kemudian berhentilah (shalat) sehingga matahari terbenam. (Sunan Abi Dawud bab man rakhkhasha fihima no. 1279)
Kedua, jika larangan di atas jelasnya tertuju pada shalat sunat, apakah ini berlaku untuk semua shalat sunat ataukah dikecualikan untuk shalat sunat yang ada sebabnya, seperti tahiyyatul-masjid, shalat jenazah, shalat gerhana, dan sebagainya?
Imam as-Syafi’i dalam hal ini menyatakan bahwa larangan di atas hanya berlaku bagi shalat sunat yang tidak ada sebabnya. Jika ada sebabnya seperti shalat jenazah dan shalat gerhana, maka dibolehkan. Dalilnya, Nabi saw pernah melaksanakan shalat ba’da ‘Ashar sebagai qadla dari shalat sunat ba’da Zhuhur yang tidak sempat terlaksanakan karena ada urusan genting. Akan tetapi Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad menyatakan sebaliknya. Tiga ulama rujukan tiga madzhab tersebut menyatakan bahwa larangan di atas berlaku untuk semua shalat sunat, termasuk shalat sunat yang ada sebabnya seperti shalat jenazah, tahiyyatul-masjid dan sebagainya. Dalil amaliah Nabi saw pernah mengqadla shalat ba’da Zhuhur pada ba’da ‘Ashar, menurut mereka, semestinya dipahami sebagai pengecualian untuk shalat qadla saja, bukan untuk shalat sunnat secara umum yang tidak ada sebab (Fathul-Bari). Jadi kesimpulannya, semua shalat sunat terlarang, kecuali shalat sunat qadla sebagaimana Nabi saw pernah amalkan.
Ketiga, ada yang berpendapat bahwa larangan yang dimaksud dari dua waktu di atas sebenarnya ditujukan pada waktu terlarang pertama dan ketiga, yakni saat terbit dan terbenamnya matahari. Tegasnya, larangan Nabi saw shalat ba’da shubuh itu adalah ketika matahari terbit. Demikian halnya, larangan Nabi saw shalat ba’da ‘ashar itu adalah ketika matahari terbenam. Pendapat ini dianut oleh ‘Aisyah dan Ibn ‘Umar. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan al-Baihaqi, pendapat ‘Aisyah ini bertentangan dengan jumhur shahabat. Sangat dimungkinkan ‘Aisyah berpendapat seperti itu karena melihat Nabi saw pernah mengqadla shalat ba’da zhuhur sesudah shalat ‘ashar. Padahal sebagaimana disinggung di atas, amaliah Nabi saw tersebut adalah pengecualian untuk shalat sunat qadla saja. Artinya pendapat ‘Aisyah ini hanya didasarkan pada wahm (asumsi), bukan dari sabda Nabi saw sendiri. Sehingga tidak bisa dijadikan pegangan kuat ketika faktanya berbeda dengan sabda Nabi saw sendiri. Maka dari itu mayoritas ulama tetap berpendapat bahwa larangan shalat ba’da shubuh dan ‘ashar ini berdiri sendiri dan merupakan hukum tambahan sesudah larangan shalat ketika matahari terbit, tepat di tengah hari, dan ketika terbenam (Fathul-Bari).
Jumlahnya dengan demikian ada lima: (1) ketika matahari terbit, (2) tepat di tengah hari, (3) ketika terbenam, (4) ba’da shubuh sampai terbit matahari, dan (5) ba’da ‘ashar sampai matahari terbenam. Atau bisa juga dihitung tiga dengan menggabungkan yang pertama dengan keempat dan ketiga dengan kelima, sehingga jadinya: Sesudah shalat shubuh sampai matahari sudah terbit, ketika tepat di tengah hari (beberapa menit sebelum adzan zhuhur), dan sesudah shalat ‘ashar sampai matahari sudah terbenam.
Meski demikian, Ibn Hazm menambahkan juga pengecualian lain selain untuk shalat sunat qadla, yakni untuk shalat ba’da ‘ashar ketika matahari masih di atas, belum turun menuju terbenam, berdasarkan hadits:

عَنْ عَلِىٍّ أَنَّ النَّبِىَّ ﷺ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلاَّ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Dari ‘Ali: “Nabi saw melarang shalat sesudah ‘ashar kecuali jika matahari masih tinggi.” (Sunan Abi Dawud bab man rakhkhasha fihima idza kanatis-syamsu murtafi’ah no. 1276).
Selanjutnya, waktu yang keenam sebagaimana dimaksud as-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam adalah waktu antara terbit fajar shubuh sampai shalat shubuh. Pada waktu ini dilarang shalat apapun selain shalat qabla shubuh. Artinya tidak ada shalat tahiyyatul-masjid, syukrul-wudlu, dan lainnya sesudah adzan shubuh sebelum shalat shubuh. Yang ada hanya shalat dua raka’at qabla shubuh. Dalilnya, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram berikut ini:

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ.  أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ. وَفِي رِوَايَةِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ: لاَ صَلاَةَ بَعْدَ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ إِلَّا رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ

Dari Ibn ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada shalat sesudah fajar kecuali dua raka’at.” Lima Imam mengeluarkannya kecuali an-Nasa`i (Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah). Dalam riwayat ‘Abdurrazzaq disebutkan: “Tidak ada shalat sesudah terbit fajar kecuali dua raka’at fajar/qabla shubuh.”

وَمِثْلُهُ لِلدَّارَقُطْنِيِّ عَنِ اِبْنِ عَمْرِوِ بْنِ الْعَاصِ

Dan yang seperti itu juga ada riwayat ad-Daraquthni dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash (Bulughul-Maram no. 186-187).
Wal-‘Llahu a’lam