Demokrasi Haram?

Bismillah, apakah benar demokrasi itu haram karena dalam demokrasi siapapun boleh menjadi pemimpin? 08532277xxxx
Tentu tidak terlalu tepat jika dinyatakan bahwa dalam sistem demokrasi siapapun bisa menjadi pemimpin. Yang benar tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, sebab ada aturannya. Hanya karena landasan filosofi demokrasi sekular, maka aturan-aturan itu didasarkan pada nalar rasional masyarakat sekular, dengan mengenyampingkan aturan agama. Maka dari itu larangan perempuan menjadi pemimpin, demikian juga non-muslim menjadi pemimpin, yang jelas-jelas dilarang oleh syari’at Islam, tidak akan diakomodir dalam persyaratan calon kepala daerah, legislator, atau presiden sekalipun.
Upaya untuk mengislamkan demokrasi dalam konteks Indonesia melalui undang-undang dasar (UUD) sudah sejak awal dilakukan oleh para founding fathers negeri ini mulai dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sampai amandemen UUD 1945 pada awal era reformasi tahun 1999 silam. Minimalnya terlihat dari sila tentang kerakyatan/demokrasi yang sedikit lebih Islami: “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”. Selebihnya, usaha para tokoh Islam untuk mengislamkan demokrasi itu tidak sepenuhnya berhasil, tetapi juga tidak sepenuhnya gagal. Sehingga faktanya, Indonesia tidak menjadi negara yang menerapkan demokrasi sekular sepenuhnya, juga tidak menerapkan Islam sepenuhnya. Di negeri ini ada Pengadilan Agama (Islam); ada perundang-undangan Islam seperti UU Anti Penodaan Agama,  Perkawinan, Waris, Wakaf, Haji, Perbankan Syari’ah, Ekonomi Syari’ah, dan lainnya; ada juga Kementerian Agama yang mengurus urusan keagamaan Islam seperti lembaga-lembaga pendidikan Islam dari mulai TK sampai Perguruan Tinggi Islam. Artinya Islam masih hadir dan diakui oleh penguasa negeri ini.
Kewajiban setiap muslim itu yang pokoknya adalah berdakwah dan beramar ma’ruf nahyi munkar. Itu bahkan disebutkan al-Qur`an sebagai sifat yang sudah otomatis melekat pada umat ini (QS. Ali ‘Imran [3] : 110). Baik sistemnya demokrasi atau kerajaan, dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar ini harus tetap dijalankan.
Meski kita harus menghargai ijtihad sebagian saudara kita yang memilih tidak ikut dalam sistem pemilu atau pilkada negeri ini, tetapi tentu akan lebih maslahat jika umat Islam ikut terlibat aktif dalam pemilu dan pilkada negeri ini. Yang dimaksud aktif itu adalah teliti memilih pemimpin yang lebih dekat pada ideal, melakukan kontrak politik untuk membela Islam dan umat Islam, lalu mengedukasi masyarakat agar pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang berpihak kepada Islam dan umat Islam. Meski aturan syari’at tidak diakomodir dalam UU Pemilu atau Pilkada, umat Islam tetap bisa menerapkannya dalam dakwah sehingga pemimpin yang terpilih adalah yang paling berkah.
Nabi saw mengajarkan:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Pertahankan jama’ah (negara) umat Islam dan pemimpinnya.” Aku bertanya: “Kalau tidak ada jama’ah (negara) dan imamnya?” Beliau menjawab: “Tinggalkan semua kelompok itu, walau kamu harus menggigit akar pohon sampai datangnya kematian kepadamu, kamu tetap dalam keadaan seperti itu.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jama’ah wala imam no. 6557).
Dalam riwayat lain, petuah Nabi saw itu redaksinya:

فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب

Jika kamu menemukan khalifah, maka bergabunglah bersamanya, meski khalifah itu memukul punggungmu (zhalim). Tetapi jika tidak ada khalifah, maka larilah (Fathul-Bari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jama’ah wala imam).
Faktanya negeri ini masih ada Presidennya, Gubernur, Walikota, dan Bupatinya. Jadi pertahankan kepemimpinan ini jangan sampai bubar. Baru jika sudah bubar, tidak ada kepemimpinan yang diakui, umat Islam dianjurkan mengasingkan diri. Wal-‘Llahu a’lam.