Bukan Dadakan, Tetapi Didikan

Ibadah Haji dan Qurban yang betul-betul diterima Allah swt tidak tergantung pada amalan pergi haji, melaksanakan manasik, lalu pulang, selesai. Atau membeli hewan qurban, menyembelih, dan membagikannya, lalu selesai. Melainkan tergantung pada sejauhmana mampu mencapai derajat al-mukhbit atau tidak. Dan ini tidak bisa didadak pada saat ibadah tersebut saja, melainkan harus terdidik dalam waktu yang cukup lama.


Kuncinya dengan demikian kembali pada setiap individu yang siap menempa dirinya dengan pendidikan; melibatkan proses membaca atau mendengar ayat-ayat Allah swt, merenungkan dan mentafakkuri kandungannya, melatih diri untuk mampu mengamalkan ajaran-ajarannya, sampai beramar ma’ruf nahyi munkar dengan apa yang sudah mampu diamalkan. Bukan sebatas pergi haji lalu pulang, selesai dan sahlah hajinya. Atau menyembelih hewan qurban dan membagikannya, lalu selesai dan sahlah qurbannya. Kunci dari diterimanya ibadah haji dan qurban adalah pada keberhasilan mencapai derajat al-mukhbit, dan ini harus melalui proses pendidikan, bukan hasil yang instant dan dadakan.
Al-Qur`an selalu tegas menyebutkan tolak ukur dari benar atau tidaknya suatu amal ibadah. Shalat misalnya, bisa dinyatakan benar jika mampu menjauhkan pengamalnya dari perbuatan asusila dan munkar/dosa besar. Puncaknya sampai pada derajat al-khasyi’un; orang-orang yang khusyu’. Ibadah zakat kriteria benar tidaknya bisa terukur dari kesiapan untuk selalu membersihkan harta dari yang haram dan syubhat (tuthahhiruhum) dan menjaga kesucian jiwa dari semua penyakitnya (tuzakkihim). Sementara shaum terukur dari pengamalan taqwa dalam kehidupan sehari-harinya. Dan haji/qurban terukur dari pencapaian sifat-sifat al-mukhbit yang dijelaskan sendiri langsung oleh Allah swt sebagai orang-orang yang benar dalam haji dan qurbannya:

فَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ فَلَهُۥٓ أَسۡلِمُواْۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُخۡبِتِينَ  ٣٤ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَٱلصَّٰبِرِينَ عَلَىٰ مَآ أَصَابَهُمۡ وَٱلۡمُقِيمِي ٱلصَّلَوٰةِ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ  ٣٥

Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah (mukhbitin), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka (QS. Al-Hajj [22] : 34-35).
Pertama, ibadah haji dan qurban itu pertanda orang-orang yang jika disebut nama Allah swt bergetar hati mereka. Sebab mustahil mereka melaksanakan haji dan qurban jika bukan karena hati yang tersentuh dengan perintah Allah swt untuk melaksanakan kedua ibadah tersebut. Dalam kedua ibadah tersebut juga akan selalu disebutkan nama Allah swt. Orang-orang ini merasa tersentuh dan terpanggil dengan sebutan-sebutan Allah swt (dzikir) dalam kedua ibadah tersebut.
Ketika menafsirkan potongan ayat idza dzukiral-‘Llah wajilat qulubuhum dalam QS. al-Anfal [8] : 2, al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan:

وَهَذِهِ صِفَةُ الْمُؤْمِنِ حَقَّ الْمُؤْمِنِ، الَّذِي إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَ قَلْبُهُ، أَيْ: خَافَ مِنْهُ، فَفَعَلَ أَوَامِرَهُ، وَتَرَكَ زَوَاجِرَهُ

Ini adalah sifat seorang mukmin yang sebenar-benarnya mukmin, yaitu apabila disebut nama Allah bergetar hatinya, maksudnya ia takut kepada Allah lalu melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Penafsiran ini didasarkan pada ayat-ayat lain di antaranya:

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ  ١٣٥

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (QS. Ali ‘Imran [3] : 135).

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ  ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ  ٤١

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya) (QS. an-Nazi’at [79] : 40-41).
Ayat dalam Ali ‘Imran di atas menunjukkan bahwa orang yang tersentuh ketika disebut Allah swt/dzikir itu adalah orang yang lekas istighfar ketika berbuat dosa kemudian menjauh seterusnya dari dosa. Sementara dalam an-Nazi’at, orang yang takut kepada Allah swt itu wujudnya adalah selalu mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Akan tetapi pertanyaan selanjutnya, apakah benar orang yang melaksanakan haji dan qurban itu pasti melaksanakannya karena ‘tersentuh hatinya oleh Allah’ atau sekedar formalitas semu saja? Jawabannya kembali pada kondisi hatinya dalam menyikapi dzikrul-‘Llah lainnya selain haji dan qurban yang ada dalam adzan, shalat, mengaji al-Qur`an, kajian di majelis ta’lim, dan lainnya. Jika dari dzikrul-‘Llah yang disebutkan terakhir ini seseorang abai, berarti haji dan qurbannya hanya sekedar formalitas saja, bukan cerminan mukhbit dari dirinya.
Kedua, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka. Kesabaran itu artinya ‘bertahan ketika sulit’ (Mu’jam ar-Raghib). Kesulitan yang dimaksud bukan hanya ketika musibah, tetapi juga ketika mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan atau perkara haram (QS. al-Furqan [25] : 75; az-Zumar [39] : 10. Fathul-Bari bab as-shabr ‘an maharimil-‘Llah). Orang yang beribadah haji dan qurban disebut orang yang sabar karena memang mengamalkan kedua ibadah tersebut sulit. Tidak mustahil bentrok dengan musibah yang melanda, harus mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya, juga banyak larangan-larangan yang harus dijauhi.
Meski demikian, apakah bisa dipastikan semua yang beribadah haji dan qurban itu mengamalkannya dengan penuh kesabaran, atau hanya sekedar formalitas semata? Jawabnya tergantung pada implementasi sabar di luar haji dan qurban. Jika sesudah haji dan qurban kesabaran itu menjadi amal kesehariannya itu pertanda yang jelas bahwa ia menjalankan kedua ibadah tersebut memang dilandasari kesabaran. Jika tidak, berarti haji dan qurban yang dilaksanakan hanya formalitas tanpa ikhlash.
Ketiga dan keempat, orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan. Kaitannya dengan haji dan qurban adalah dalam hal pelaksanaan kewajiban yang melibatkan hati, fisik dan harta; demikian juga ibadah yang tidak mencakup pemenuhan perintah Allah swt secara personal tetapi juga pemenuhan hak sesama manusia secara sosial. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibn Katsir:

الْمُؤَدِّينَ حَقَّ اللَّهِ فِيمَا أَوْجَبَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَدَاءِ فَرَائِضِهِ… وَيُحْسِنُونَ إِلَى خَلْقِ اللَّهِ مَعَ مُحَافَظَتِهِمْ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ.

Orang-orang yang menunaikan hak Allah yang berupa kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan kepada mereka… Mereka berbuat baik kepada sesama makhluk Allah di samping menjaga aturan-aturan Allah.
Orang yang beribadah haji dan qurban pertanda bahwa orang itu siap ibadah dengan hati, fisik dan harta; juga secara personal dan sosial. Akan tetapi tentu tidak bisa dipastikan bahwa setiap yang ibadah haji dan qurban berniat tulus kepada Allah swt untuk melaksanakan ibadah dengan berbagai dimensinya tersebut. Uji shahihnya terlihat dari ibadah shalat dan zakat sesudah haji dan qurban; apakah dilaksanakan atau tidak? Jika dilaksanakan, pertanda bahwa ia memang selalu siap beribadah dengan hati, fisik dan harta; juga secara personal dan sosial. Jika shalatnya jelek, zakat jarang ditunaikan, itu pertanda ibadah haji dan qurban yang dikerjakannya hanya sekedar formalitas tanpa makna, atau tidak akan dapat pahala.
Jelas sekali bahwa haji dan qurban bukan hanya sekedar ritual formalistik semata, melainkan pembuktian apakah jiwa sudah terdidik menjadi al-mukhbit ataukah tidak. Wal-isti’anah bil-‘Llah.