Berpakaian di Dunia, Telanjang di Akhirat

Suatu malam ketika Nabi ﷺ bermalam di rumah seorang istrinya, Ummu Salamah , beliau terbangun dalam keadaan terkejut. Beliau mendapatkan wahyu bahwa suatu saat nanti akan ada banyak kekayaan melimpah untuk umatnya. Tetapi akibatnya akan banyak pula fitnah dan penyimpangan di tengah-tengah mereka. Hampir setiap orang yang berpakaian pada zaman itu, ternyata telanjang kelak di akhirat. Siapakah mereka?


Hadits Ummu Salamah radliyal-‘Llahu ‘anha yang dimaksud diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam berbagai bab, yakni bab tentang ilmu, tahajjud, pakaian, dzikir, dan fitnah (kekacauan umat di akhir zaman). Matan dari hadits yang dimaksud adalah:

اِسْتَيْقَظَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ لَيْلَةً فَزِعاً، يَقُوْلُ: سُبْحَانَ اللهِ، مَاذَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ الْخَزَائِنِ، وَمَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْفِتَنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ – يُرِيْدُ أَزْوَاجَهُ لِكَيْ يُصَلِّيْنَ – رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ).

Pada suatu malam Rasulullah saw terbangun dalam keadaan terkejut, lantas beliau bersabda: “Subhanallah, betapa banyak kekayaan yang Allah turunkan dan betapa banyak pula turunnya fitnah. Siapa yang akan membangunkan penghuni-penghuni kamar?—Ummu Salamah berkata: “Yang dimaksud istri-istrinya supaya mereka shalat malam.”— Nabi saw melanjutkan: Banyak sekali yang berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab la ya`ti zaman illal-ladzi ba’dahu syarrun minhu no. 7069)
Keterkejutan Nabi saw di atas tentu didasarkan pada wahyu yang turun kepada beliau tentang fitnah yang akan terjadi di masa mendatang. Itulah sebabnya Imam al-Bukhari menuliskannya pada bab tentang fitnah (kitab al-fitan). Fitnah tersebut juga ternyata berawal dari kekayaan. Imam al-Bukhari memberikan tarjamah untuk hadits di atas dengan mengutip hadits Nabi saw yang lain:

لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ

Tidak akan datang zaman kepada kalian melainkan yang sesudahnya lebih jelek darinya sampai kalian bertemu Rabb kalian (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab la ya`ti zaman illal-ladzi ba’dahu syarrun minhu no. 7068).
Artinya dalam kacamata Nabi saw, masa depan yang penuh dengan kekayaan itu lebih jelek dari masa sebelumnya yang tidak banyak kekayaan. Ini jelas berbeda sekali dengan kacamata mayoritas setiap orang yang menilai kebaikan dan kemajuan itu justru pada masa depan seseorang atau satu masyarakat yang secara ekonomi lebih kaya. Kaitan antara kekayaan dan kerusakan itu sendiri dijelaskan Nabi saw dalam hadits lain sebagai berikut:

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ

Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan menimpa kalian. Tetapi justru aku takut dunia dihamparkan untuk kalian sebagaimana orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling bernafsu padanya sebagaimana mereka dahulu, sehingga melalaikan kalian sebagaimana telah melalaikan mereka (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab ma yuhdzaru min zahratid-dunya no. 6425).
Bagi orang-orang tertentu sangat mungkin bertambahnya kekayaan itu menjadi semakin baik karena semakin banyak amal shalihnya. Akan tetapi Nabi saw berbicara dalam konteks masyarakat umum yang sebagaimana sering dinyatakan al-Qur`an “kebanyakan manusia tidak mengetahui/bersyukur/sadar/mengerti”. Jadi secara umum bertambanya kekayaan bagi suatu masyarakat itu selalu lebih jelek. Fakta sejarah bahkan dari sejak era salaf membuktikan hal tersebut.
Kaitannya dengan perintah Nabi saw untuk membangunkan istri-istrinya shalat malam adalah sebagai sebuah pelajaran bahwa untuk menyelamatkan diri dari fitnah-fitnah dunia setiap orang harus tadlarru’ (merendah diri) kepada Allah swt di setiap malamnya. Waktu malam jadi pilihan Nabi saw karena pada waktu ini merupakan saat yang tepat untuk berdo’a dan diijabah do’a. Sehingga diharapkan setiap orang yang shalat malam dan berdo’a padanya diselamatkan dari bahaya fitnah kekayaan ini. Demikian al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan dalam Fathul-Bari. Maka dari itu tidak heran jika Imam al-Bukhari juga memasukkan hadits di atas dalam bab shalat tahajjud dengan tarjamah: bab tahridlin-Nabi ‘ala qiyamil-lail; Nabi saw menganjurkan keras shalat malam. Atau juga Imam al-Bukhari menuliskan hadits di atas dalam bab ilmu dengan tarjamah: bab al-‘ilm wal-‘izhah bil-lail; ilmu dan mengajar di malam hari. Maksudnya dianjurkan mengajari ilmu malam-malam terutama terkait shalat malam. Dan tidak perlu jauh-jauh mencari peserta belajarnya, sebagaimana Nabi saw contohkan, yang diajari malam-malam itu adalah istri dan keluarganya secara keseluruhan.
Nabi saw mengancam banyak sekali yang berpakaian di dunia ternyata telanjang di akhirat. Maksud sabda Nabi saw ini—sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari—ada lima:
Pertama, berpakaian dalam arti zhahir, tetapi kelak di akhirat telanjang karena tidak punya pahala. Secara lebih luas berpakaian itu pertanda bahwa seseorang kaya, tetapi pakaian yang dipakai dan kekayaan yang dimilikinya tersebut tidak menyebabkannya banyak beramal menghasilkan pahala. Dalam hal ini salah satu contohnya adalah mereka yang tidak bangun shalat malam.
Allah swt sendiri memang dengan jelas mengaitkan kemalasan orang untuk sujud dan bertasbih lama di waktu malam dengan obsesi cinta dunia yang terlalu besar. Akibatnya seseorang disibukkan dengan dunia dan hanya tersisa kelelahan saja di waktu malam, sehingga ia selalu melewatkan shalat, sujud, dan tasbih di waktu berharga tersebut (rujuk QS. al-Insan [76] : 26-27 yang berkaitan erat dengan surat sebelumnya al-Qiyamah [75] : 20-21).
Kedua, orang-orang yang berpakaian tetapi tidak menutupi rapat auratnya. Bisa karena pakaiannya banyak celahnya atau karena transparan. Jadinya ia berpakaian tetapi hakikatnya tetap telanjang. Maka ia disiksa kelak di akhirat dengan amalnya serupa waktu di dunia, yakni telanjang.
Ketiga, berpakaian itu maknanya adalah ia memiliki nikmat-nikmat Allah, tetapi itu semua tidak menjadikannya banyak bersyukur kepada Allah. Akibatnya ia menjadi disiksa di akhirat yang disimbolkan dengan telanjang, sebagai pertanda kenikmatan-kenikmatan yang sudah hilang entah kemana.
Keempat, seorang wanita yang berpakaian bahkan berkerudung, tetapi kerudungnya ia ikatkan ke belakang kepalanya sehingga dadanya tetap terlihat. Jadi tetap saja pada hakikatnya wanita tersebut telanjang. Maka ia pun disiksa dengan ketelanjangan di akhirat nanti.
Apa yang diperingatkan al-Hafizh ini perlu diperhatikan lagi oleh setiap kaum perempuan, mengingat hari ini banyak sekali yang berkerudung tetapi asal-asalan saja. Padahal al-Qur`an mengajarkan agar setiap perempuan muslimah itu melabuhkan kerudungnya sampai menutupi dadanya, bukan malah sengaja memperlihatkan bagian dadanya.

وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya (QS. an-Nur [24] : 31).
Kelima, berpakaian dalam arti bersuamikan/beristrikan orang shalih—sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2] : 187 masing-masing dari suami istri itu adalah pakaian. Akan tetapi keshalihan suami/istrinya tersebut tidak bermanfaat baginya di akhirat karena amalnya tidak ikut shalih. Kondisi ini digambarkan dengan ketelanjangan di akhirat.
Menurut Imam at-Thibi, yang paling tepat dan sesuai dengan konteks hadits dari kelima penjelasan di atas adalah penjelasan terakhir ini. Meski hadits tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi saw, tetapi menurutnya, tentu berlaku secara umum kepada siapa pun yang mempunyai suami/istri yang shalih. Yakni jika seseorang tidak mengikuti jejak keshalihan suami/istrinya, keberadaan pasangannya yang shalih tersebut tidak akan bermanfaat baginya sedikit pun. Jika pasangannya selamat di surga, maka ia malah akan “telanjang” di akhirat. Salah satu contoh konkrit dari keshalihan itu sendiri adalah merutinkan shalat malam. Maka dari itu Nabi saw memerintahkan istri-istrinya untuk bangun shalat malam.
Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.