Bahagia Karena Qana’ah 3

Sesudah mengetahui bahagia akan dirasakan ketika hidup qana’ah (merasa cukup dengan yang halal), problem yang dihadapi adalah bagaimana menghadirkan qana’ah tersebut dalam hati. Sebab hati selalu saja condong pada nafsu memperkaya diri meski itu di luar kemampuan diri sendiri.


Hadits Nabi saw memberikan tuntunan agar kita membiasakan diri hidup zuhud; tidak menganggap penting dunia. Tuntunan keenam ini penting untuk mengerem nafsu duniawi yang sering mendorong diri berperilaku boros atau memaksakan diri menempuh jalan yang haram. Nabi saw mengajarkan:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ ﷺ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاس 

Dari Sahl ibn Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata: Ada seseorang yang datang kepada Nabi saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amal yang jika aku amalkan, Allah akan mencintaiku demikian juga orang-orang?” Rasulullah saw bersabda: Zuhudlah di dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah pada apa yang dimiliki orang lain, niscaya orang-orang akan mencintaimu.” (Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab az-zuhd fid-dunya no. 4102)
Zuhud sebagaimana diajarkan hadits di atas akan mendatangkan dua manfaat. Pertama, cinta Allah. Sebab Allah swt jelas akan murka kepada setiap hamba yang memaksakan diri menempuh jalan yang haram untuk memperkaya dirinya padahal dengan hidup sederhana pun ia masih bisa hidup. Kedua, cinta manusia. Faktanya masyarakat benci kepada orang yang hidupnya “sok mewah” meski ia berpenghasilan cukup, apalagi yang penghasilannya pas-pasan. Yang disenangi masyarakat adalah orang yang hidupnya sederhana, meski semua orang tahu penghasilannya lebih dari cukup. Dua cinta ini merupakan prasyarat hidup bahagia. Mengabaikan zuhud sama dengan menciptakan sendiri neraka di dunia dan di akhirat, sebab hidup akan selalu dikelilingi kebencian Allah dan manusia.
Zuhud akan bisa diamalkan jika hakikat dunia sudah benar-benar dipahami. Hakikat dunia adalah tempat singgah sementara untuk mencapai tempat yang dituju, yakni akhirat. Kenapa harus bersenang-senang di tempat singgah sampai kehabisan bekal untuk sampai pada tempat yang dituju. Bersenang-senang sejenak di tempat singgah boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai mengorbankan bekal utama untuk sampai pada tempat yang dituju. Jangan sampai demi merasakan kesenangan di dunia, tidak menyisakan sedikit pun kesenangan di akhirat akibat hal-hal haram yang dilabraknya.

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: اضْطَجَعَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى حَصِيرٍ فَأَثَّرَ فِي جِلْدِهِ فَقُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ كُنْتَ آذَنْتَنَا فَفَرَشْنَا لَكَ عَلَيْهِ شَيْئًا يَقِيكَ مِنْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : مَا أَنَا وَالدُّنْيَا, إِنَّمَا أَنَا وَالدُّنْيَا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata: Nabi saw berbaring di atas tikar sampai menyisakan bekas pada kulitnya. Aku pun berkata: “Atas nama ayah dan ibuku wahai Rasulullah, seandainya saja engkau memberitahu kami sebelumnya pasti kami akan memberikan hamparan yang bisa melindungimu.” Rasulullah saw menjawab: “Apalah artinya dunia untukku, hanyasanya aku dan dunia ini ibarat seorang pengendara yang beristirahat sejenak di bawah pohon kemudian ia pergi lagi.” (Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab matsalid-dunya no. 4109; Sunan at-Tirmidzi kitab az-zuhd bab akhdzil-mal no. 2377)
Hakikat dunia seperti ini jika tidak selalu diingat akan senantiasa terkalahkan oleh nafsu duniawi. Maka penting untuk selalu mengingatnya dengan dzikrul-‘Llah; menghadirkan hati ketika shalat, jujur menghisab diri ketika dzikir di penghujung shalat, ketika dzikir di waktu pagi, petang dan sahur, dan membuka hati untuk menerima siraman rohani di majelis-majelis ilmu (rujuk QS. al-Munafiqun [63] : 9).
Ketujuh, tidak menentukan target hidup seperti yang sudah dicapai orang lain yang lebih sukses; harus punya rumah, harus punya kendaraan, harus punya investasi tanah, emas, dan sebagainya. Hidup dijalani apa adanya; berusaha sekuat tenaga seraya tetap melihat orang lain yang lebih rendah agar hati senantiasa syukur kepada Allah swt. Dengan syukur tersebut, otomatis rizki akan selalu ditambah oleh Allah swt (QS. Ibrahim [14] : 7).

اُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ

Lihatlah orang yang lebih bawah daripada kalian, dan jangan melihat orang yang lebih atas daripada kalian. Itu sangat tepat agar kalian tidak meremehkan (mengkufuri) nikmat Allah (Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq no. 7619).
Dalam diri harus selalu dihembuskan kesadaran bahwa Allah swt hanya mempedulikan amal seseorang, bukan harta dan penampilan, apalagi harta dan penampilan yang dihasilkan dari jalur syubhat dan haram.

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat penampilan dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian (Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah bab tahrimiz-zhulm no. 6708).
Hadits-hadits ini sama sekali tidak mengharamkan kaya. Sebab dalam hadits lain kita diajarkan untuk terobsesi menjadi orang kaya. Hanya kaya yang dimaksud kaya dalam perspektif Islam, yakni orang yang menumpuk kekayaan untuk menumpuk amal shalih melalu infaq, shadaqah, memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang miskin, dan urusan-urusan haq lainnya. Bukan orang kaya yang hanya perlente dalam penampilan, tetapi hese dalam zakat dan infaq.

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ، وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasud kecuali pada dua orang; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia mengerahkan tenaganya untuk menghabiskan hartanya dalam kebenaran dan seseorang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab al-ightibath fil-‘ilm no. 73).
Tuntunan terakhir, jangan lepaskan hati dari do’a memohon qana’ah. ‘Ali ibn Abi Thalib dalam hal ini pernah meriwayatkan:

عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ مُكَاتَبًا جَاءَهُ فَقَالَ: إِنِّي قَدْ عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِي فَأَعِنِّي قَالَ: أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَيْنًا أَدَّاهُ اللهُ عَنْكَ، قَالَ: قُلْ: اَللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Dari ‘Ali: Ada seorang hamba sahaya mukatab (yang diperbolehkan menebus dirinya sendiri oleh tuannya) datang kepadanya dan berkata: “Aku tidak sanggup atas mukatabahku, tolonglah aku.” ‘Ali menjawab: “Maukah aku ajarkan kepadamu kalimat do’a yang diajarkan Rasulullah saw kepadaku, yang seandainya kamu mempunyai utang sebesar gunung Shir pasti Allah akan menjadikanmu mampu membayarnya? Nabi saw bersabda: Katakanlah: ‘Ya Allah cukupkanlah aku dengan halal-Mu dari haram-Mu, dan berilah aku kecukupan dengan karunia-Mu dari selain-Mu.” (Sunan at-Tirmidzi abwabud-da’awat no. 3563).
Wal-‘Llahul-Musta’an