Antara Abu Lahab dan Muludan

Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Haulal-Ihtifal bi Dzikral-Maulidin-Nabawiyyis-Syarif (seputar perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi yang mulia) berdalil bahwa Abu Lahab pun diringankan siksanya setiap hari Senin disebabkan ia turut berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad saw yang jatuh pada hari Senin. Menurutnya, riwayat ini tercantum dalam Shahih al-Bukhari dan merupakan dalil dari kemestian merayakan muludan atau maulid Nabi Muhammad saw.


Kebahagiaan Abu Lahab itu diekspresikan dengan memerdekakan Tsuwaibah yang memberitahunya bahwa bayi yang kelak diberi nama Muhammad—saw—telah lahir. Tsuwaibah pun kemudian menjadi ibu susu Nabi saw. Menurut Ibn ‘Alawi, kisah ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari kitab Nikah, dinukil juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, demikian juga oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannafnya, al-Baihaqi dalam Dala`ilnya, dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan-Nihayah. Ibn ‘Alawi mengakui bahwa status riwayat tersebut mursal/dla’if, tetapi mengingat al-Bukhari turut mengutipnya, dan masalah ini masuk kategori kisah, bukan hukum, maka menggunakan hadits dla’if dibenarkan (Haulal-Ihtifal bi Dzikral-Maulidin-Nabawiyyis-Syarif, Makkah: al-Maktabah at-Takhashshushiyyah lir-Radd ‘alal-Wahhabiyyah, t.th., hlm. 8-10).
Tentu terlalu ceroboh untuk mengatakan hadits dla’if diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari. Kalau sebatas dicantumkan sebagai penguat data, memang itu dimungkinkan. Untuk lebih jelasnya, riwayat tentang Abu Lahab dalam Shahih al-Bukhari tersebut kutipan selengkapnya adalah sebagai berikut:

عن أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ فَقَالَ أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكِ فَقُلْتُ نَعَمْ لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ قُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي إِنَّهَا لَابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ ﷺ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

Dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan (salah seorang istri Rasulullah saw), ia berkata: “Wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan.” Nabi saw bertanya: “Kamu suka hal itu?” Aku (Ummu Habibah) menjawab: “Ya, aku tidak mungkin mendorong anda pada kecelakaan, dan yang paling aku inginkan bersama-sama denganku dalam kebaikan (sebagai istri Nabi saw) addalah saudariku.” Nabi saw menjawab: “Tetapi itu tidak halal bagiku (memperistri dua saudari sekaligus diharamkan QS. 4 : 23).” Aku berkata lagi: “Kami dapat kabar bahwa anda ingin menikahi putri Abu Salamah.” Nabi saw bertanya: “Putri Abu Salamah?” Aku menjawab: “Ya.” Nabi saw berkata: “Seandainya ia bukan anak tiriku (tentu halal). Tetapi ia tidak halal bagiku (haram menikahi anak tiri [QS. 4 : 23]. Ummu Salamah, sepeninggal Abu Salamah dinikahi oleh Nabi saw). Sesungguhnya ia juga termasuk anak saudara sepersusuanku. Karena Tsuwaibah sama-sama menyusuiku dan Abu Salamah. Janganlah kalian menawarkan kepadaku untuk menikahi anak-anak kalian atau saudara-saudara kalian.”
‘Urwah berkata: Tsuwaibah itu adalah maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) Abu Lahab. Abu Lahab memerdekakannya lalu ia menyusui Nabi saw. Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi melihat siksa yang dahsyat untuk Abu Lahab. Ia bertanya kepada Abu Lahab: “Apa yang kamu temukan?” Abu Lahab menjawab: “Tidak pernah aku bertemu sesudah kalian (kesenangan) pun, kecuali aku diberi minum pada (hari) ini karena aku pernah memerdekakan Tsuwaibah.” (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab wa ummahatukumul-lati ardla’nakum no. 5101)
Yang diriwayatkan dengan bersanad shahih oleh Imam al-Bukhari hanya dari Ummu Habibah. Adapun pernyataan ‘Urwah berikutnya sebatas dicantumkan oleh al-Bukhari tanpa sanad dan mursal (tidak menyebutkan shahabat sumber riwayat), sebagai penguat bahwa Tsuwaibah itu benar-benar menyusui Nabi saw, sesudah ia dimerdekakan Abu Lahab. Abu Lahab pun konon diringankan siksaannya setelah membebaskan Tsuwaibah tersebut. Tidak ada sedikit pun celah isyarat tentang kelahiran Nabi saw (maulid) dalam Shahih al-Bukhari di atas.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari kemudian menelusuri jalur periwayatan lain untuk lebih memperjelas maksud dari riwayat tersebut. Maka ditemukanlah riwayat as-Suhaili yang menyebutkan bahwa yang bermimpi itu adalah ‘Abbas, saudara Abu Lahab, sama-sama paman Nabi saw. Abu Lahab menyatakan pada hari ini diberi keringanan siksa, maksudnya hari Senin, ketika itu Tsuwaibah menyampaikan kabar gembira kelahiran Muhammad saw, lalu Abu Lahab pun memerdekakan Tsuwaibah saking gembiranya dengan kabar tersebut.
Akan tetapi riwayat di atas tidak bisa dijadikan hujjah pembenaran muludan disebabkan beberapa pertimbangan:
Pertama, al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dalam Fathul-Bari dengan tegas menyatakan bahwa riwayat tersebut tidak bisa dijadikan dalil bahwa orang kafir benar-benar diringankan siksanya karena amal baiknya. Sebab amal baik orang kafir pasti hangus dan tidak akan bermanfaat meringankan siksa di akhirat berdasarkan firman Allah swt:

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan (QS. al-Furqan [25] : 23).
Dalam al-Qur`an, amal orang kafir sering disebut dengan firman Allah swt: habithat a’maluhum fid-dunya wal-akhirah (hancur semua amal baik mereka di dunia dan akhirat).
Kedua, seandainya riwayat di atas shahih tentu bisa dikompromikan dengan ayat-ayat di atas. Akan tetapi faktanya riwayat tersebut statusnya dla’if (mursal) dan tidak ada penguatnya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Yang dijadikan hujjah oleh Imam al-Bukhari sebatas Tsuwaibah yang dimerdekakan oleh Abu Lahab lalu menyusui Nabi saw. Sementara tentang Abu Lahab yang diringankan siksanya, al-Bukhari tidak menjadikannya sebagai rujukan istidlal.
Ketiga, para ulama sepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan dasar ‘aqidah/syari’at (Fathul-Bari kitab an-nikah bab wa ummahatukumul-lati ardla’nakum).
Keempat, kalaupun hadits ini hendak dipaksakan untuk dijadikan hujjah muludan, tetap keliru, sebab tidak ada sedikit pun isyarat bolehnya merayakan kelahiran Nabi saw. Hanya sebatas berbahagia. Dan memangnya siapa yang tidak bahagia dengan kelahiran Nabi saw? Semua muslim pasti berbahagia. Hanya orang kafir yang tidak berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad saw. Tetapi itu tidak jadi dalil harus dirayakan setiap bulan Rabi’ul-Awwal. Orangtua-orangtua kita (shahabat, tabi’in) yang lebih tahu tentang Islam juga tidak ada satu pun yang menjadikannya dalil untuk merayakan muludan.
Dengan demikian penggunaan dalil tentang Abu Lahab ini untuk mengabsahkan muludan jelas batalnya. Wal-‘Llahu a’lam