Al-Qur`an Wajib Dihafal (Bagian Pertama)

Al-Qur`an Wajib Dihafal (Bagian Pertama) – Al-Qur`an menjadi hudan/hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa karena al-Qur`an mampu menggetarkan tubuh dan hati mereka sekaligus sehingga senantiasa membuat mereka takut kepada Allah swt. Itu akan terasa ketika al-Qur`an diposisikan sebagai kitab yang mutasyabih matsani. Cara yang paling utama untuk itu adalah dengan menghafal al-Qur`an. Tanpa menghafalnya, al-Qur`an mustahil menjadi kitab yang mutasyabih matsani dan hudan.

Keterkaitan antara al-Qur`an sebagai hudan yang menggetarkan hati dan tubuh sekaligus dengan kedudukannya sebagai mutasyabih dan matsani ditegaskan oleh firman Allah swt:

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبٗا مُّتَشَٰبِهٗا مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ ٢٣

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit (tubuh) orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya (QS. az-Zumar [39] : 23).

Ayat di atas tegas menyatakan bahwa hidayah Allah swt yang diberikan oleh-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya itu adalah melalui al-Qur`an yang menggetarkan tubuh dan hati, melahirkan rasa takut, dan mendatangkan ketenteraman ketika dijadikan dzikir. Semua ini karena pembawaan dari al-Qur`an itu sendiri yang mutasyabih dan matsani. Ayat ini menjadi penjelas dari berbagai ayat yang menyebutkan al-Qur`an sebagai hudan; hidayah atau petunjuk. Di antaranya:

الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢

Alif Lam Mim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. al-Baqarah [2] : 1-2)

قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدٗى وَشِفَآءٞۚ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٞ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًىۚ أُوْلَٰٓئِكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۢ بَعِيدٖ ٤٤

Katakanlah: “al-Qur’an itu adalah petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat [41] : 44).

Maksud dua ayat di atas bahwa al-Qur`an menjadi hudan bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa, dijelaskan dalam ayat az-Zumar sebelumnya,yakni ketika al-Qur`an mampu menggetarkan tubuh dan hati, melahirkan rasa takut, dan mendatangkan ketenteraman ketika dijadikan dzikir.

Dalam ayat lain, Allah swt menguatkan fakta ini dengan menyebutkan teladan para Nabi ‘alaihimus-salam. Jelasnya, setiap muslim diajarkan untuk selalu memohon hidayah menuju jalan yang lurus di setiap shalat. Jalan yang lurus itu adalah jalannya para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang terbukti benar imannya), syuhada (siap berkorban harta dan nyawa), dan orang-orang shalih (QS. an-Nisa` [4] : 69). Jalannya para Nabi dan orang-orang shalih ini dijelaskan dalam surat Maryam selalu dekat dengan ayat-ayat Allah swt dan selalu merasa tergugah dengannya sampai sujud dan menangis. Artinya, seorang muslim sudah mendapatkan hidayah seperti halnya para Nabi itu ketika ia dekat dengan al-Qur`an dan selalu merasa tergugah dengannya sampai sujud dan menangis.

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنۡ حَمَلۡنَا مَعَ نُوحٖ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡرَٰٓءِيلَ وَمِمَّنۡ هَدَيۡنَا وَٱجۡتَبَيۡنَآۚ إِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُ ٱلرَّحۡمَٰنِ خَرُّواْۤ سُجَّدٗاۤ وَبُكِيّٗا۩ ٥٨

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis (QS. Maryam [19] : 58).

Semuanya kembali pada sifat utama al-Qur`an itu sendiri yang mutasyabih dan matsani. Makna mutasyabih, sebagaimana dijelaskan mufassir salaf, Qatadah, adalah “setiap ayat serupa dengan ayat lainnya”. Mufassir salaf lainnya, ‘Ikrimah dan al-Hasan menjelaskan: “Dalam satu surat ada ayat tertentu, dalam surat lainnya ada ayat yang semakna dengannya”. Maka ad-Dlahhak dan ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam menyatakan pengertian matsani yang makna asalnya “dua” adalah “ayatnya selalu diulang-ulang”. Misalnya kisah Musa, Hud, Shalih ‘alaihimus-salam diulang-ulang dalam berbagai surat dan ayat al-Qur`an. Sa’id ibn Jubair juga mengutip pernyataan Ibn ‘Abbas: “al-Qur`an itu sebagian ayatnya serupa dengan ayat lainnya, dan sebagian ayatnya diulang-ulang pada surat lainnya.”

Makna lain dari mutasyabih dan matsani, dijelaskan oleh Sufyan ibn ‘Uyainah, yakni bahwa al-Qur`an mutasyabih, maksudnya makna satu ayat serupa dengan ayat lainnya dalam surat yang lain. Sementara al-Qur`an matsani, maksudnya makna satu ayat ada lawan dan tandingannya pada ayat lainnya. Jadi matsani yang makna asalnya “ada duanya” di sini dipahami sebagai ada tandingannya. Contohnya, setelah Allah swt menjelaskan orang-orang bertaqwa, Allah swt sering melanjutkannya dengan menjelaskan orang-orang durhaka. Ketika Allah swt menjelaskan orang-orang fujjar (para pendosa), Allah swt sertakan berikutnya dengan ayat-ayat tentang orang-orang abrar (para pembuat kebaikan). Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya.

Tegasnya, al-Qur`an akan menjadi hudan ketika al-Qur`an diposisikan sebagai kitab yang mutasyabih dan matsani. Di sini mutlak memerlukan usaha memahami seluruh ayat-ayatnya, sekaligus mampu mengingat-ingatnya. Memahami yang dimaksud tentu tidak harus mendalam seperti halnya para ulama tafsir. Memahami yang dituntut di sini adalah memahami peringatan dan pelajarannya, seperti yang difirmankan Allah swt:

 وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٖ ١٧

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS. al-Qamar [54] : 17, 22, 32, 40).

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ ٢٤

Maka apakah mereka tidak memperhatikan alQur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad [47] : 24. Ayat semakna dalam QS. an-Nisa` [4] : 82).

Mengingat-ingat adalah langkah lainnya yang harus diusahakan agar al-Qur`an terasa mutasyabih dan matsani. Mana mungkin al-Qur`an dapat dirasakan sebagai mutasyabih dan matsani jika hati seseorang tidak tahu dan tidak bisa mengingat ayat-ayat dalam al-Qur`an. Terlebih dalam ayat az-Zumar di atas, Allah swt menyebutkan al-Qur`an sebagai hudan itu ketika al-Qur`an dijadikan dzikir; amaliah membaca dan mengingat secara rutin. Ini jelas memerlukan upaya untuk selalu mengingat-ingatnya, atau dengan kata lain menghafalnya.

Al-Qur`an Wajib Dihafal (Bagian Pertama)Upaya mengingat dimaksud, yang paling utamanya adalah dalam shalat, terutama shalat malam, sehingga Allah swt menyebutnya sebagai dzikir yang akbar (QS. al-‘Ankabut [29] : 45). Di sini tampak jelas keterkaitannya, sebab dzikir al-Qur`an yang paling utama adalah shalat, khususnya shalat malam. Dalam berbagai ayat juga sering disinggung bahwa shalat itu—khususnya shalat malam—harus sambil “membaca” al-Qur`an (QS. al-Muzzamil [73] : 1-7, 20). Dzikir al-Qur`an dalam shalat menuntut adanya hafalan. Maka konsekuensinya al-Qur`an wajib dihafal sebagai bagian dari dzikir al-Qur`an, terutama dalam shalat, khususnya shalat malam. Dengan cara seperti itu maka al-Qur`an akan menjadi hudan bagi hati setiap muslim.
Wal-‘Llahu a’lam wa Huwal-Musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *