Al-Qur`an Wajib Dihafal (Bagian Kedua)

Al-Qur`an Wajib Dihafal (Bagian Kedua) – Al-Qur`an akan menjadi hudan/hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa ketika al-Qur`an dihafal. Orang yang menghafal al-Qur`an akan selalu mengulang-ulang hafalannya di sepanjang hayat untuk selalu dibaca di sepanjang shalatnya. Maka dari itu, Nabi saw dengan tegas memerintahkan agar al-Qur`an dihafal di sepanjang hayat. Orang yang hanya sesekali saja menghafal al-Qur`annya, berarti ia hanya sesekali saja menjadi orang bertaqwanya.
Perintah tegas dari Nabi saw untuk menghafal al-Qur`an sekaligus mengkritik secara pedas kepada orang yang putus asa dari menghafal al-Qur`an adalah:

بِئْسَ مَا لأَحَدِهِمْ أَنْ يَقُولَ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ نُسِّىَ، وَاسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنَ النَّعَمِ

Alangkah jeleknya seseorang di antara kamu yang berkata: “Aku lupa sejumlah ayat ini dan itu, karena yang benar ia dijadikan lupa. Maka dari itu hafalkanlah al-Qur`an, karena sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta (Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi no. 5032).
Hadits ini menekankan wajibnya menghafal al-Qur`an sehingga al-Qur`an tidak mudah lepas dari ingatan. Menghafal yang dimaksud adalah menghafal sepanjang hayat, tanpa ada putus asanya. Orang yang berhenti menghafal karena putus asa tidak kunjung hafal, itulah yang disebut orang jelek oleh Nabi saw di atas. al-Qur`an tidak kunjung hafal karena memang menghafalnya dengan putus asa. Semestinya terus menghafal sepanjang hayat tanpa ada putus asa, niscaya hafalan al-Qur`an tidak akan ada yang lupa.
al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan makna istadzkiru dalam hadits di atas sebagai berikut:

وَاظِبُوا عَلَى تِلاَوَتِهِ وَاطْلُبُوا مِنْ أَنْفُسكُمْ الْمُذَاكَرَة بِهِ

Rutinkanlah membacanya dan tuntutlah diri kalian untuk mengingat-ingatnya (Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi).
Dengan kata lain, hafalkanlah al-Qur`an dengan rutin. Kalau tidak dihafal dengan rutin, maka seseorang selamanya tidak akan mampu mengingat al-Qur`an sebab al-Qur`an akan selalu mudah lepas dari ingatan. Jadi tidak benar jika alasan tidak menghafal al-Qur`an karena sering cepat lupanya. Justru karena mudah lupa, al-Qur`an jadi harus lebih sering dihafal.
Dalam hadits lain Nabi saw memerintahkan:

تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإِبِلِ فِى عُقُلِهَا

Jagalah hafalan  al-Qur`an, karena sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta dari ikatannya (Shahih al-Bukhari kitab fadla`ilil-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi no. 5033).
Maksud dari ta’ahadu dalam hadits di atas menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah:

تَجْدِيدُ الْعَهْدِ بِهِ بِمُلاَزَمَةِ تِلاَوَتِهِ

Terus-terusan memperbarui hafalan al-Qur`an dengan merutinkan membaca (Fathul-Bari bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi).
Sama seperti hadits sebelumnya, perintah menghafal al-Qur`an ini penting karena al-Qur`an mudah lepas dari ingatan. Maka dari itu harus terus-terusan diulang dan diulang lagi. Jangan malah dibiarkan tanpa diulang-ulang. Jadinya akan lepas lagi dari ingatan, bahkan lepas selama-lamanya.
Dalam riwayat lain, masih dari Shahih al-Bukhari, Nabi saw menjelaskan maksud perserupaan menghafal al-Qur`an dengan mengikat unta sebagai berikut:

إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ

Sesungguhnya perumpamaan seseorang yang mempelajari al-Qur`an seperti seorang pemilik unta yang diikat. Jika ia terus menjaga ikatannya, ia bisa terus menahannya. Tetapi jika ia melepaskan ikatannya, maka unta itu akan terlepas (Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi no. 5031).
Maksud dari “melepaskan ikatan” yakni seorang pengkaji al-Qur`an yang tidak rutin lagi menghafal al-Qur`an. Sebab dalam hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Nabi saw menyamakan mempelajari dan merutinkan membaca al-Qur`an dengan mengikat unta. Maka maksud “melepaskan ikatan” dalam konteks al-Qur`an itu adalah tidak lagi mempelajari dan merutinkan membaca al-Qur`an. Konsekuensinya, hafalan al-Qur`an pun akan terlepas kembali seperti halnya unta. Jika demikian, maka itulah yang dikritik pedas oleh Nabi saw dalam hadits di awal.
Nabi saw menyamakan hafalan al-Qur`an dengan unta, menurut Ibn Hajar, karena memang unta adalah hewan jinak yang paling mudah kabur. Jadi artinya Nabi saw menggambarkan bahwa hafalan al-Qur`an itu mudah kaburnya, maka dari itu harus dirutinkan. Jika tidak rutin, hafalan al-Qur`an otomatis akan hilang.

فَمَا زَالَ التَّعَاهُدُ مَوْجُودًا فَالْحِفْظُ مَوْجُودٌ، كَمَا أَنَّ الْبَعِيرَ مَا دَامَ مَشْدُودًا بِالْعِقَالِ فَهُوَ مَحْفُوظٌ

Selama rutinitas menghafal ada, maka hafalan pun akan selalu ada. Sebagaimana halnya seekor unta, selama ia diikat maka ia tidak akan lepas (Fathul-Bari).
Cara menghafal al-Qur`an yang dimaksud adalah dengan melakukan muraja’ah (mengulang-ulang) pada shalat, baik shalat malam atau siang. Jika seseorang berstatus ma`mum, maka muraja’ah pada shalat siang bisa diamalkan pada shalat-shalat yang sir atau shalat sunat. Hadits di atas, dalam sanad yang lain menyebutkan sabda Nabi saw sebagai berikut:

وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ

Apabila penghafal al-Qur`an itu qiyam (shalat) dan membacanya di waktu (shalat) malam dan siang, maka ia akan mengingatnya. Jika ia tidak shalat dengannya, ia akan melupakannya (Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an no. 1876).
Maksud “shahibul-Qur`an”, menurut Imam an-Nawawi, adalah seseorang yang alifahu; sudah lembut menyertai al-Qur`an atau mampu menjinakkan al-Qur`an. Caranya adalah selalu menjadi sahabat atau menyertai al-Qur`an. Jadi ia tidak pernah jauh dari al-Qur`an; selalu membacanya dan mengulang-ulang hafalannya.
Fakta bahwa al-Qur`an mudah lepas dari ingatan jika tidak dihafal sepanjang hayat, adalah pengakuan Nabi saw sendiri:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ  يَسْتَمِعُ قِرَاءَةَ رَجُلٍ فِى الْمَسْجِدِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِى آيَةً كُنْتُ أُنْسِيتُهَا

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Nabi saw pernah sengaja menyimak bacaan seseorang di masjid. Beliau lalu bersabda: “Semoga Allah merahmatinya. Sungguh ia telah mengingatkanku satu ayat yang aku dijadikan lupa atasnya.” (Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an no. 1874).
Tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa lupanya Nabi saw di atas itu adalah lupa manusiawi pada saat bukan tabligh (menyampaikan ajaran). Sebab pada saat tabligh, Nabi saw dijamin tidak lupa satu huruf sekalipun (QS. al-Qiyamah [75] : 16-19). Adanya kemungkinan lupa secara manusiawi inilah yang menyebabkan Nabi saw mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk selalu menghafal al-Qur`an sepanjang hayat. Salah satu caranya adalah dengan menyengajakan diri menyimak bacaan al-Qur`an orang lain seperti Nabi saw contohkan di atas.
Saking harusnya menghafal al-Qur`an, Imam an-Nawawi sampai mengaitkan kemalasan orang-orang menghafal al-Qur`an dengan ayat berikut:

قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ ١٢٦

Allah berfirman: “Demikianlah (kamu buta karena), telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan” (QS. Thaha [20] : 126).
Imam an-Nawawi menjelaskan, yang termasuk lupa dalam ayat di atas adalah orang yang pernah menghafal al-Qur`an, lalu ia lalai, sehingga melupakan ayat-ayatnya lagi (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an).
Wal-‘Llahu a’lam wa Huwal-Musta’an.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *