Akhlaq Beda Ijtihad Fiqih Corona

Sebenarnya perbedaan ijtihad dalam fiqih sesuatu yang biasa saja. Yang menjadi luar biasanya saat ini karena kasusnya saja yang baru yakni pandemi Corona jenis Covid-19. Perbedaan perspektif antara “ulama negeri” dan “ulama kampung” menjadi fenomena yang baru juga. Akibatnya fatwa para “ulama negeri” dalam realisasinya di kampung di-fiqih-kan ulang oleh para “ulama kampung”. Semua pihak sudah tentu harus tetap menjunjung tinggi akhlaq dalam menyikapi perbedaan ijtihad fiqih ini.


Tidak bisa disangkal ada banyak fiqih baru yang diterima masyarakat terkait pandemi Corona saat ini. Meski dasar dalilnya tetap sama; al-Qur`an dan sunnah, tetapi fenomena baru yang dialami masyarakat dunia ini memunculkan juga fatwa-fatwa fiqih yang baru; mulai dari penutupan masjid; peniadaan shalat wajib berjama’ah di masjid atau pemberlakukan shalat berjama’ah shaf renggang; peniadaan shalat Jum’at di masjid yang memunculkan fatwa shalat zhuhur atau shalat Jum’at di rumah;  peniadaan kegiatan majelis ta’lim, dzikir, dan tadarus; peniadaan shalat Tarawih, ifthar jama’i, dan berlanjut sampai shalat ‘Id; dan pemercepatan pembayaran zakat.
Sebagaimana lumrahnya fiqih, selalu ada ragam pendapat dalam menyikapi fatwa-fatwa fiqih turunannya. Umat Islam sudah barang tentu tidak boleh mengabaikan aspek akhlaq dalam menyikapinya agar tidak terjerumus pada keretakan sosial dan perpecahan. Sebab solusi menjaga kerukunan dalam fiqih bukan dengan menyeragamkan fiqih—sebab secara sunnatul-‘Llah dan sunnatur-Rasul hal itu mustahil—melainkan dengan menjunjung tinggi akhlaq menghormati dan menghargai perbedaan pendapat.
Terlebih saat ini umat Islam di dunia sedang menjalankan shaum Ramadlan. Shaum Ramadlan adalah ibadah yang tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas taqwa (QS. al-Baqarah [2] : 183). Taqwa yang berkualitas itu sendiri dijelaskan dalam al-Qur`an tercermin dalam kesiapan untuk ta’aruf; saling mengenal dan memahami ragam perbedaan suku bangsa, ras, kelompok sosial, sampai kelompok fiqih dan pemikiran. Wujudnya adalah tidak saling merendahkan, tidak saling menghina, tidak saling menyematkan panggilan yang buruk, tidak saling berburuk sangka, dan tidak saling mencari-cari kejelekan dan ghibah (QS. al-Hujurat [49] : 11-13). Maka sungguh sangat disayangkan jika shaum Ramadlan yang dijalankan saat ini semakin merendahkan ketaqwaan pada titik nadir dengan tidak adanya sikap toleran, saling merendahkan, menghina, menyematkan panggilan yang buruk, berburuk sangka, dan saling mencari-cari kejelekan dan ghibah hanya disebabkan ketidaksiapan menerima perbedaan fiqih terkait Corona ini.
Nabi saw sudah dari sejak awal mengingatkan bahwa ketaqwaan itu ada dalam hati. Sampai tiga kali beliau menegaskan demikian. Wujudnya adalah jangan saling hasud, saling benci, saling membelakangi, dan saling berbuat zhalim. Maka shaum Ramadlan yang sedang dijalankan saat ini juga harus sampai menanamkan taqwa ke dalam hati.

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا. وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Janganlah kalian saling dengki, saling menipu dalam harga barang jualan, saling membenci, saling membelakangi, dan jangan pula sebagian dari kalian menjual di atas penjualan sebagiannya lagi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu saudara muslim lainnya, jangan pernah menganiayanya, menelantarkannya, dan menghinanya. Taqwa itu di sini—kata Abu Hurairah: Beliau sambil menunjuk dadanya tiga kali—Cukuplah seorang muslim merasa berdosa ketika menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram; darahnya, hartanya, dan kehormatannya (Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab tahrim zhulil-muslim no. 6706).
Semua ulama yang berfatwa dalam fiqih dasarnya pasti ijtihad. Ijtihad itu sendiri sebagaimana Nabi saw sabdakan akan selalu ada di antara dua; tepat dan tidak tepat. Akan tetapi yang mana pun itu adanya, Nabi saw menjamin kedua-duanya akan tetap berpahala. Maka sesuatu yang ceroboh jika seseorang berani menghina satu fiqih yang Nabi saw sendiri menjamin pahalanya.

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

Apabila seseorang yang memutuskan hukum telah menetapkan satu hukum dan ia berijtihad, maka jika ia benar dapat dua pahala, dan jika ia menetapkan keliru maka dapat satu pahala (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326).
Imam an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M) dalam pengantar kitab fiqihnya, al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, menuliskan satu fasal khusus tentang larangan merendahkan ‘ulama fiqih.

فَصْلٌ فِي النَّهْيِ الْأَكِيدِ وَالْوَعِيدِ الشَّدِيدِ لِمَنْ يُؤْذِي أَوْ يَنْتَقِصُ الْفُقَهَاءَ وَالْمُتَفَقِّهِينَ وَالْحَثُّ عَلَى إكْرَامِهِمْ وَتَعْظِيمِ حُرُمَاتِهِمْ

Fashal: Larangan dan ancaman keras bagi orang yang menyakiti atau merendahkan fuqaha, dan anjuran untuk menghormati dan memuliakan kehormatan mereka.
Beliau mendasarkannya pada firman Allah swt: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS. al-Ahzab [33] : 58). Di samping itu hadits Nabi saw dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Allah awj menyerukan:

مَنْ آذَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

Siapa yang menyakiti wali-Ku maka Aku mengumumkan perang kepadanya.
Di antara wali itu menurut Imam an-Nawawi sudah barang tentu para ulama dan fuqaha. Maka siapa saja yang merendahkan mereka berarti telah menantang perang dengan Allah swt dan sudah pasti ia akan binasa.
Sementara itu Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitabnya, Kitabul-‘Ilmi, pada bab adab thalibil-‘ilmi, menjelaskan:

فَيَجِبُ أَنْ لاَ نَأْخُذَ مِنْ هَذَا الْخِلاَفِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ سَبَبًا لِلشِّقَاقِ وَالنِّزَاعِ؛ لِأَنَّنَا كُلَّنَا نُرِيْدُ الْحَقَّ وَكُلَّنَا فَعَلَ مَا أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ، فَمَا دَامَ هَكَذَا فَإِنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ نَتَّخِذَ مِنْ ذَلِكَ سَبَبًا لِلْعَدَاوَةِ وَالتَّفَرُّقِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ لِأَنَّ الْعُلَمَاءَ لَمْ يَزَالُوْا يَخْتَلِفُوا حَتَّى فِي عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ

Sudah semestinya kita tidak menjadikan perbedaan pendapat di antara ‘ulama sebagai sebab perpecahan dan perselisihan. Sebab kita semua menginginkan al-haq, dan masing-masing dari kita hanya mengerjakan apa yang sesuai ijtihadnya. Selama itu berlangsung demikian maka tidak boleh kita menjadikan hal tersebut penyebab permusuhan dan perpecahan di antara ahli ilmu, sebab para ‘ulama senantiasa berbeda pendapat meski itu di zaman Nabi saw sekalipun.

إِذَنْ فَالْوَاجِبُ عَلَى طَلَبَةِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُوْنُوْا يَدًا وَاحِدَةً، وَلاَ يَجْعَلُوا مِثْلَ هَذَا الْخِلاَفِ سَبَبًا لِلتَّبَاعُدِ وَالتَّبَاغُضِ، بَلِ الْوَاجِبُ إِذَا خَالَفْتَ صَاحِبَكَ بِمُقْتَضَى الدَّلِيْلِ عِنْدَكَ، وَخَالَفَكُمْ هُوَ بِمُقْتَضَى الدَّلِيْلِ عِنْدَهُ أَنْ تَجْعَلُوا أَنْفُسَكُمْ عَلَى طَرِيْقٍ وَاحِدٍ، وَأَنْ تَزْدَادَ الْمَحَبَّةُ بَيْنَكُمَا

Oleh sebab itu wajib bagi setiap pengkaji ilmu untuk bersatu dan tidak menjadikan perbedaan seperti ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan membenci. Semestinya jika anda berbeda pendapat dengan sahabat anda dengan dalil yang benar menurut anda, dan ia berbeda pendapat dengan anda dengan dalil yang benar menurutnya, anda semua menjadikan diri anda dalam satu jalan yang sama. Sepantasnya kecintaan bertambah di antara anda.
Syaikh ‘Abdullah ibn ‘Abdirrahman al-Bassam menuliskan hal yang sama dalam kitabnya, Taudlihul-Ahkam Syarh Bulughul-Maram. Di awal pengantarnya untuk kitabnya tersebut, Syaikh al-Bassam menegaskan bahwa kajian fiqih itu tujuannya hanya untuk mencari yang paling tepat berdasarkan ilmu yang dimiliki. Setelah itu saling menghargai di antara sesama dan tidak saling merendahkan. Jadi kajian ilmunya ada, pengamalan akhaqnya pun ada:

وَالَّذِي أَنْصَحُ إِخْوَانِي وَأَخَوَاتِي وَأَبْنَائِي وَبَنَاتِي بِهِ: أَنْ يَحْرِصُوْا عَلَى جَمْعِ الْكَلِمَةِ، وَتَوْحِيْدِ الصَّفِّ وَلَمِّ الشَّمَلِ، وَلاَ يَكُوْنُ ذَلِكَ إلاَّ بِتَنَاسِي الْخِلاَفَاتِ الْفَرْعِيَّةِ فِي الْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ. فَلاَ يَكُنْ بَحْثُهُمْ لَهَا مَصْدَرُ عَدَاوَةٍ وَبَغْضَاءَ، وَإِنَّمَا يَكُوْنُ بَحْثُ اسْتِفَادَةٍ وَوُصُوْلٍ إِلَى الْحَقِّ: فَإِنْ وَصَلُوْا إِلَى إِجْمَاعٍ بَيْنَهُمْ عَلَيْهَا، فَذَاكَ، وَإِلاَّ عَمِلَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِمَا أَوْصَلَهُ إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُ بِلاَ عَدَاوَةٍ وَلاَ بَغْضَاءَ، وَلاَ تَهَاجُرٍ وَلاَ تَقَاطُعٍ؛ فَقَدْ سَبَقَهُمْ إِلَى الْخِلاَفِ فِيْهَا عُلَمَاءٌ أَجِلاَّءُ، فَلَمْ يَحْدُثْ بَحْثُهُمْ فِيْهَا وَنِقَاشُهُمْ مَسَائِلَهَا عَدَاوَةً وَلاَ بَغْضَاءَ، وَإِنَّمَا كُلٌّ مِنْهُمْ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ، وَمَا رَأَى أنَّهُ الْحَقُّ.

Saya ingin memberi nasihat kepada saudara-saudaraku dan anak-anakku: Hendaklah mereka bersemangat untuk menyatukan kekuatan, merapikan barisan, dan menghimpun yang berserakan. Hal itu tidak bisa diwujudkan kecuali dengan mengabaikan perbedaan furu’ (fiqih) dalam masalah-masalah ijtihad. Tidak boleh kajian mereka terkait fiqih menjadi sumber permusuhan dan kebencian. Kajian itu harusnya sebatas mencari ilmu dan kebenaran. Jika mereka sampai pada ijma’ (kesepakatan) maka itulah yang diharapkan. Tetapi jika tidak, masing-masing silahkan beramal sesuai yang ditemukan oleh ijtihadnya, tanpa ada permusuhan dan kebencian, tanpa ada saling menjauhi dan memutuskan silaturahmi. Sungguh sebelum mereka juga para ‘ulama besar saling berbeda pendapat, tetapi kajian dan pembahasan mereka dalam setiap persoalan tidak menjadikan mereka bermusuhan dan saling membenci. Masing-masing beramal sesuai porsinya masing-masing dan sesuai dengan pilihan yang menurutnya benar.
Wal-‘Llahul-Muwaffiq