Adab Lebaran

Lebaran tinggal menghitung hari. Nabi saw mengajarkan adab-adab khusus untuk menyambut hari raya ini agar diamalkan oleh umatnya. Seringkali perhatian pada “merayakan” hari raya ‘Idul-Fithri menyebabkan masyarakat abai dari adab-adab ini. Meski lebaran selalu berulang setiap tahunnya, masih saja ada masyarakat yang tidak memperhatikan adab-adabnya.


Ada beberapa adab terkait lebaran yang harus diamalkan sebagai sebuah kewajiban dan beberapa di antaranya ada yang sebatas sunat. Adab utamanya adalah saling berbagi kebahagiaan, bukan pamer kebahagiaan di hadapan orang lain dan secara sengaja mempertontonkan kesenjangan sosial.
 
Zakat Fithri vs Kesenjangan Sosial
Hal pertama dan utama adalah menunaikan kewajiban zakat fithri.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Rasulullah saw mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi yang shaum dari perbuatan sia-sia dan perkataan tidak senonoh, juga sebagai pemberian makanan (thu’mah) bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Idul Fithri maka itu zakat yang diterima. Tetapi siapa yang menunaikannya sesudah shalat, maka itu shadaqah biasa.” (Sunan Abi Dawud bab zakatil-fithri no. 1611)
Nilai ibadah zakat fithri sebagai thu’mah; pemberian makanan kepada faqir miskin, menunjukkan bahwa dalam momentum hari raya ini harus memperhatikan faqir miskin. Ini pantas untuk ditekankan, sebab sepanjang sejarah umat manusia, hari raya selalu identik dengan pesta pora dan ajang memamerkan status sosial yang lebih tinggi daripada orang lain. Model hari raya seperti ini tidak dikehendaki oleh syari’at, maka dari itu Nabi saw menekankan keharusan saling berbagi. Berbagi makanan artinya juga berbagi kebahagiaan dan berbagi perasaan, bukan mempertontonkan kebahagiaan pribadi di hadapan orang lain semata.
 
Takbiran dari Malam Lebaran
Al-Qur`an sudah mengisyaratkan sunnah ini lewat firman-Nya:

وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ  ١٨٥

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS. al-Baqarah [2] : 185).
Atsar-atsar berikut ini menjelaskan tuntunan pengamalan ayat di atas:

قَالَ ابْنُ زَيْدٍ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ إِذَا نَظَرُوا إِلَى هِلَالِ شَوَّالٍ أَنْ يُكَبِّرُوا اللهَ حَتَّى يَفْرُغُوا مِنْ عِيدِهِمْ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذِكْرُهُ يَقُولُ: {وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}.

Ibnu Zaid berkata: Ibn ‘Abbas berkata: “Satu kemestian bagi kaum muslimin apabila mereka melihat hilal Syawwal untuk bertakbir sampai mereka selesai dari ‘Id mereka, karena Allah yang Mahatinggi Dzikrnya berfirman: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.

قَالَ ابْنُ زَيْدٍ: يَنْبَغِي لَهُمْ إِذَا غَدَوْا إِلَى الْمُصَلَّى كَبَّرُوا، فَإِذَا جَلَسُوا كَبَّرُوا، فَإِذَا جَاءَ الْإِمَامُ صَمَتُوا، فَإِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ كَبَّرُوا، وَلَا يُكَبِّرُونَ إِذَا جَاءَ الْإِمَامُ إِلَّا بِتَكْبِيرِهِ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ وَانْقَضَتِ الصَّلَاةُ فَقَدِ انْقَضَى الْعِيدُ

Ibnu Zaid menjelaskan: “Sudah semestinya apabila orang-orang pergi ke mushalla (tempat shalat ‘Id) bertakbir. Jika mereka duduk juga bertakbir. Jika imam datang baru mereka diam. Jika imam bertakbir, maka mereka bertakbir. Jangan bertakbir kecuali dengan mengikuti takbir imam. Apabila sudah selesai dan shalat juga sudah dilaksanakan, maka selesailah ‘Id.”

عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمَ يَقُولُ: {وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ} قَالَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ فَالتَّكْبِيرُ مِنْ حِينَ يَرَى الْهِلَالَ حَتَّى يَنْصَرِفَ الْإِمَامُ فِي الطَّرِيقِ وَالْمَسْجِدِ إلَّا أَنَّهُ إِذَا حَضَرَ الْإِمَامُ كُفَّ فَلَا يُكَبَّرُ إِلَّا بِتَكْبِيرِهِ

Dari Dawud ibn Qais, ia berkata: Aku mendengar Zaid ibn Aslam (‘ulama Tabi’in wafat 136 H) berkata tentang firman Allah “dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”, ia berkata: “Apabila seseorang melihat hilal (Syawwal) maka takbir dimulai dari sejak melihat hilal hingga imam datang ke jalan dan masjid. Kecuali apabila imam sudah hadir maka takbir dihentikan, dan tidak bertakbir kecuali dengan mengikuti takbir imam.” (Tafsir at-Thabari)
Atsar-atsar di atas jelas menuntun bahwa takbiran dimulai sejak malam ‘Idul-Fithri, berlanjut terus sampai esok harinya ketika keluar rumah menuju tempat shalat ‘Id, ketika di tempat shalat ‘Id bersama imam, dan sampai dimulai shalat ‘Idul-Fithri. Tentunya tidak perlu diamalkan semalaman suntuk, sebab hadits yang menuntunkannya dla’if, terlebih hadits-hadits Nabi saw yang umum menganjurkan agar setiap muslim tetap ada istirahat di waktu malamnya di samping ibadah, kecuali untuk 10 hari terakhir Ramadlan yang memang dianjurkan terjaga semalaman. Meski ada ulama madzhab yang menganjurkannya, tentu mengumandangkan takbir tidak lewat pengeras suara lebih bijak mengingat banyak masyarakat yang membutuhkan istirahat untuk menyambut hari lebaran esok harinya.
 
Makan Sebelum Shalat ‘Idul-Fithri
Sebelum berangkat shalat ‘Idul-Fithri, Nabi saw selalu membiasakan makan dahulu, berbeda dengan ‘Idul-Adlha yang sebaliknya. Ini merupakan sunnah yang harus diteladani.

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ

Dari Buraidah, ia berkata: Nabi saw tidak keluar pada hari ‘Idul-Fithri sehingga makan terlebih dahulu. Dan tidak makan pada hari ‘Idul-Adlha sehingga selesai shalat (Sunan at-Tirmidzi bab al-akl yaumal-fithr qablal-khuruj no. 542).
 
Membedakan Jalan Pergi dan Pulang
Harus selalu diusahakan agar jalan ketika pergi dan pulang dibedakan, sebab ini sunnah Nabi saw. Hikmahnya, memperluas syi’ar Islam dan penyebaran salam.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: Nabi saw pada hari ‘Id selalu membedakan jalan (pergi dan pulang) (Shahih al-Bukhari bab man khalafa at-thariq idza raja’a yaumal-‘id no. 986).
 
Tidak Ada Shalat Lain di Tempat Shalat ‘Id
Jika tempat shalat ‘Id yang digunakan seperti di zaman Rasul saw yakni mushalla; lapang atau tempat terbuka, maka tidak ada shalat sunat apapun sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Tidak ada juga adzan dan iqamat, ataupun seruan as-shalata jam’iah sebelum shalat ‘Id dilaksanakan.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا

Dari Ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi saw keluar pada hari Fithri lalu langsung shalat dua raka’at. Beliau tidak shalat apapun sebelum dan sesudahnya.” (Shahih al-Bukhari bab as-shalat qablal-‘id wa ba’daha no. 989).

قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِىُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِينَ يَخْرُجُ الإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلاَ نِدَاءَ وَلاَ شَىْءَ لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ

Jabir ibn ‘Abdillah berkata: “Tidak ada adzan untuk shalat pada hari Fithri ketika imam keluar, tidak juga setelah imam keluar. Demikian juga tidak ada iqamah, tidak ada seruan, tidak ada sesuatu apapun, tidak ada seruan pada hari itu, tidak ada juga iqamah.” (Shahih Muslim kitab shalatil-‘idain no. 2086).
Akan tetapi jika pelaksanaan shalat ‘Id di masjid, maka kembali pada hadits umum tentang adanya sunnah shalat tahiyyatul-masjid ketika masuk masjid. Adapun adzan, iqamat, dan seruan as-shalata jam’iah tetap tidak disyari’atkan.
 
Shalat Dua Raka’at Setelah Pulang ke Rumah
Tidak ada syari’at shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id sebagaimana disinggung hadits Ibn ‘Abbas di atas adalah ketika di tempat shalat ‘Id. Tetapi ketika pulang ke rumah, Nabi saw mencontohkan shalat sunat dua raka’at. Artinya disunatkan shalat dua raka’at sepulang dari shalat ‘Id dan itu dilaksanakannya di rumah.

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ لاَ يُصَلِّي قَبْلَ الْعِيدِ شَيْئًا فَإِذَا رَجَعَ إِلَى مَنْزِلِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Rasulullah saw tidak shalat apapun sebelum shalat ‘Id. Tetapi apabila beliau pulang ke rumahnya beliau shalat dua raka’at (Hadits Abu Sa’id dalam Sunan Ibn Majah bab ma ja`a fis-shalat qablal-‘id wa ba’daha no. 1293. Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini hasan dalam Bulughul-Maram bab shalatil-‘idain).
 
Semua Harus Hadir ke Tempat Shalat ‘Id
Saking pentingnya syi’ar shalat ‘Idul-Fithri, maka Nabi saw memerintahkan wanita yang sedang haidl sekalipun untuk mendatanginya. Tentunya bukan untuk ikut shalat, tetapi menghadiri jama’ah dan syi’ar da’wahnya. Jika memang tidak punya pakaian yang layak, maka teman, tetangga, atau kerabatnya harus meminjamkannya.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتْ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata: Kami diperintah mengeluarkan wanita yang sedang haidl dan yang jarang keluar rumah untuk menyaksikan jama’ah dan da’wah kaum muslimin. Tetapi wanita yang haidl memisahkan diri dari tempat shalat. Seorang wanita ada yang berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak punya jilbab?” Jawab Nabi saw: “Kerabat/tetangganya hendaklah meminjamkan jilbabnya.” (Shahih al-Bukhari baba wujubis-shalat fits-tsiyab no. 351)
 
Tidak Ada Kewajiban Ziarah Kubur dan Halal Bi Halal
‘Idul-Fithri selalu identik juga dengan ziarah kubur dan halal bi halal. Untuk dua amaliah ini tidak ada dalil yang menuntunnya. Artinya jangan dianggap kewajiban atau syari’at yang jika ditinggalkan dipandang berdosa. Tetapi bukan berarti juga haram, sebab ziarah kubur pada prinsipnya bisa dilaksanakan kapan pun, termasuk ketika lebaran. Demikian juga saling menghalalkan, membebaskan, atau mengampuni dosa adalah perbuatan baik yang tidak hanya dilakukan ketika lebaran saja.
 
Bukan Minal-‘Aidin
Minal-‘Aidin wal-Faizin artinya bukan ‘mohon maaf lahir batin’, tetapi ‘semoga kita termasuk orang-orang yang layak ‘Id dan yang berbahagia’. Ungkapan ini bukan dari al-Qur`an atau hadits, tetapi pepatah orang-orang bijak. Bukan merupakan sunnah atau syari’at yang harus diucapkan setiap datang lebaran. Yang diamalkan para shahabat ketika bertemu dengan sesamanya pada hari lebaran adalah:

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك

Dari Jubair ibn Nufair, ia berkata: Para shahabat Rasulullah saw apabila bertemu pada hari ‘Id, masing-masingnya mengatakan kepada sesamanya: “Semoga Allah menerima amal kami dan anda.” (Fathul-Bari. Al-Hafizh Ibn Hajar menilai sanadnya hasan)
 
Shaum Syawwal
Selepas ‘Idul-Fithri disunnahkan shaum Syawwal selama enam hari. Pahalanya sama dengan shaum satu tahun. Hitungannya 1 amal kebaikan dihitung minimal 10 kali lipat pahala. 1 bulan Ramadlan dihitung 10 bulan, dan 6 hari dihitung 60 hari, jadi genap hitungannya sama dengan shaum 1 tahun.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa yang shaum Ramadlan kemudian menyertakannya dengan enam hari di bulan Syawwal maka ia seperti shaum setahun (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab istihbab shaum sittah ayyam min Syawwal ittiba’an li Ramadlan no. 2815-2817).
Para ulama madzhab Syafi’i umumnya menganjurkan agar shaum Syawwal langsung diamalkan sejak tanggal 2 Syawwal, karena Nabi saw menganjurkannya untuk “menyertakan langsung”. Meski tentu dibolehkan mengakhirkannya sampai akhir Syawwal (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim). Salah satu hikmahnya, jika pelaksanaan shaum Syawwal diawalkan, maka shaum sunat lainnya semisal Senin-Kamis atau shaum tengah bulan (tanggal 13, 14, 15 bulan Hijriyyah) sudah bisa dilaksanakan dari sejak bulan Syawwal. Demikian juga perut masih kondusif untuk shaum, dibanding langsung menikmati makanan-makanan hidangan Lebaran, sehingga umumnya menimbulkan penyakit karena perut belum kuat dibawa kembali mengonsumsi makanan dalam jumlah berlebih.
Wal-‘Llahul-Muwaffiq